MAMI : Perkembangan dan Strategi Portofolio Pasar Obligasi untuk Investasi Reksadana
Reksadana obligasi menawarkan profil risk-return lebih agresif dibanding SBN Ritel dan keduanya dapat memiliki tempat dalam portofolio investor tergantung pada profil risiko dan kebutuhan finansial
Reksadana obligasi menawarkan profil risk-return lebih agresif dibanding SBN Ritel dan keduanya dapat memiliki tempat dalam portofolio investor tergantung pada profil risiko dan kebutuhan finansial
Bareksa.com - Pasar obligasi turut mempengaruhi kinerja portofolio investor terutama yang instrumen investasinya merupakan produk-produk obligasi. Nah, berikut ini ulasan mengenai perkembangan pasar obligasi berikut potensi pasar obligasi dan kaitannya dengan reksadana pendapatan tetap.
Berikut penjelasan Syuhada Arief, Senior Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) atau Manulife AM Indonesia mengenai pasar obligasi dalam Seeking Alfa MAMI Februari 2023. Syuhada Arief mengajak membahas perkembangan dan potensi pasar obligasi, dengan melihat arah kebijakan moneter dunia di tahun ini yang akan mempengaruhi pasar obligasi. Sebelumnya, pada tahun lalu atau 2022, pasar obligasi tertekan oleh kenaikan suku bunga yang terjadi secara global.
Syuhada menjelaskan MAMI melihat tren kebijakan moneter global di tahun ini dalam periode transisi menuju ke arah kebijakan yang lebih akomodatif seiring dengan tekanan inflasi global yang mulai mereda. Tahun lalu, ia menyampaikan bahwa bank sentral global terpaksa melakukan pengetatan moneter secara agresif untuk menahan laju inflasi yang melonjak. Namun, ia menyampaikan seiring dengan turunnya harga energi dan ekspektasi normalisasi rantai pasok dunia pasca-pembukaan ekonomi China, tingkat inflasi global diperkirakan sudah melewati puncaknya dan akan mereda tahun ini.
Promo Terbaru di Bareksa
Syuhada mengatakan mayoritas bank sentral secara gradual sudah mulai melakukan transisi kebijakan ke arah yang lebih akomodatif dengan mengurangi besaran kenaikan suku bunga atau bahkan sudah mengindikasikan tidak ada kenaikan suku bunga. "Kebijakan moneter yang lebih akomodatif berpotensi menghasilkan iklim yang lebih kondusif bagi pasar finansial," kata Syuhada keterangannya secara tertulis, Selasa (1/3/2023).
Ketua The Fed atau bank sentral Amerika Serikat mengindikasikan suku bunga masih perlu berada pada level tinggi untuk menahan laju inflasi. Nah, bagaimana arah kebijakan The Fed dan dampaknya pada pasar obligasi?
"Kami melihat terdapat pandangan yang berbeda antara pasar dan The Fed terhadap arah kebijakan moneter ke depannya," ujar dia. Ia menyampaikan The Fed melihat bahwa tekanan inflasi baru mulai mereda dan proses penurunan inflasi akan terjadi secara gradual.
Menurutnya salah satunya terlihat dari data inflasi AS tahunan di bulan Januari yang masih tinggi yaitu 6,4% atau lebih tinggi dari konsensus prediksi ekonomis pada angka 6,2%. Namun demikian, ia menjelaskan bahwa ini adalah bulan ke 7 secara berturut-turut inflasi AS mengalami penurunan dari level tertinggi di Juni 2023 sebesar 9,1%. Selain itu, The Fed juga melihat bahwa sektor tenaga kerja Amerika masih pada level sangat kuat yang dapat memberi tekanan inflasi.
Syuhada Arief menjelaskan salah satunya terlihat dari perubahan data US Non-Farm-Payroll yang dikeluarkan Februari berada pada 517 ribu atau di atas konsensus prediksi analis sebesar 189 ribu. "Oleh karena itu The Fed memiliki pandangan suku bunga masih harus naik walaupun tidak sebesar kenaikan FFR di 2022 hingga terlihat bukti tekanan inflasi turun secara konsisten," lanjut dia.
Di sisi lain, ia menjelaskan bahwa pasar melihat kenaikan suku bunga yang tinggi sudah mulai terlihat dampaknya terhadap ekonomi, di mana beberapa sektor seperti konsumsi masyarakat, properti, dan manufaktur melemah.
Efek tertunda dari kenaikan suku bunga akan semakin terasa di ekonomi Amerika tahun ini yang dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. Oleh karena itu pasar melihat terdapat potensi The Fed dapat mulai memangkas suku bunga di kuartal empat tahun ini untuk mendukung ekonomi," kata Syuhada.
Nah dengan pandangan yang berbeda ini, ia menjelaskan bahwa implikasinya bagi pasar adalah adanya potensi volatilitas di periode rilis data ekonomi atau rapat FOMC Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Federal Reserve AS.
"Walau demikian, kami melihat kondisi ini sebagai volatilitas sementara karena secara top-down diperkirakan momentum pergerakan The Fed akan semakin gradual dan akomodatif ke depannya sehingga lebih kondusif bagi pasar obligasi. Volatilitas jangka pendek dapat menjadi peluang bagi investor untuk berinvestasi di tingkat yield yang menarik," papar Syuhada.
Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga 225bps sejauh ini, apakah masih ada potensi kenaikan suku bunga lebih lanjut?
Syuhada menjelaskan bahwa MAMI melihat potensi kenaikan suku bunga BI lebih lanjut cenderung terbatas. Tingkat inflasi domestik sudah mereda dari puncaknya 5,95% di September 2022 ke 5,28% di Januari 2023 dan diperkirakan tingkat inflasi akan terus melandai karena efek dari kenaikan harga BBM bersubsidi di tahun lalu semakin memudar.
Menurut dia nilai tukar Rupiah juga sudah membaik dibandingkan pelemahan yang terjadi tahun lalu sehingga mengurangi tekanan bagi BI untuk terus menaikkan suku bunga. Sementara itu Gubernur BI Perry Warjiyo juga menyatakan akumulasi kenaikan suku bunga diperkirakan memadai untuk menjangkar ekspektasi inflasi, mengindikasikan potensi kenaikan suku bunga sudah terbatas. "Ekspektasi kami suku bunga acuan BI akan berada di level 5,75% - 6% tahun ini," kata Syuhada.
Indonesia mencatat rekor surplus dagang di 2022, namun cadangan devisa terus tergerus. Apa yang terjadi dan apakah ini menjadi faktor risiko bagi pasar obligasi?
Syuhada menjelaskan terdapat tekanan dari sisi neraca transaksi modal dan finansial di 2022 yang menyebabkan cadangan devisa tergerus. Kondisi ini terutama terlihat di kuartal tiga, di mana walaupun terdapat surplus dagang yang besar, Indonesia mencatat defisit neraca pembayaran US$1,3 miliar.
Menurutnya hal tersebut terutama terjadi karena defisit transaksi finansial yang mencapai US$6,1 miliar, dikontribusi oleh keluarnya dana asing dari pasar obligasi dan juga penempatan aset swasta pada instrumen keuangan di luar negeri.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa ketidakpastian kebijakan moneter global yang terjadi tahun lalu menyebabkan keluarnya investor asing dari pasar obligasi, sementara selisih suku bunga yang melebar di Indonesia dengan di luar negeri juga menjadi pemicu keluarnya dana dari Indonesia untuk mencari suku bunga lebih menarik.
"Ke depannya menurut kami risiko dari sisi transaksi finansial akan semakin berkurang didukung arah kebijakan moneter global yang lebih akomodatif, tingkat suku bunga domestik yang telah naik," kata Syuhada.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa pemerintah telah mengesahkan Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Peraturan tersebut mewajibkan eksportir untuk menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) lebih lama di dalam negeri, dan penerbitan instrumen operasi moneter BI yaitu term deposit valas DHE yang menawarkan suku bunga dolar Amerika, lebih kompetitif dibandingkan luar negeri yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dana keluar dari Indonesia.
Tahun 2022 merupakan tahun penuh tantangan bagi pasar obligasi. Bagaimana potensi pasar obligasi tahun ini?
Syuhada menjelaskan bahwa kondisi inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga yang agresif memang bukan iklim yang suportif bagi pasar obligasi Indonesia di tahun ini.
"Namun kita perlu apresiasi ketahanan pasar obligasi Indonesia yang kuat di mana ini tercermin dari kinerja pasar obligasi Indonesia yang tetap positif di tahun 2022 (Bloomberg Bond Indonesia Index naik 3,5% dan IBPA Bond Index naik 3,47%) walaupun suku bunga naik sangat tinggi dan terdapat tekanan jual asing," papar Syuhada.
Menurut dia, ketahanan ini berkat dukungan investor domestik yang semakin besar dan solid sehingga mengurangi dominasi investor asing yang di akhir 2022 persentasenya kepemilikannya turun menjadi 14,36% dari 19,05% di tahun lalu. "Selain itu, ketahanan pasar obligasi juga didukung oleh kebijakan pemerintah dan BI yang positif," ujar Syuhada.
Untuk 2023, Syuhada menilai iklim pasar obligasi dapat lebih suportif, di mana inflasi diperkirakan dapat melandai dan bank sentral tidak lagi menaikkan suku bunga secara agresif. Dari sisi fiskal, kondisi Indonesia juga lebih baik dari ekspektasi, di mana target mengembalikan defisit fiskal ke bawah 3% Produk Domestik Bruto (PDB) dapat terpenuhi satu tahun lebih cepat dari harapan.
Menurut dia efektivitas pengelolaan fiskal negara serta diversifikasi ekspor dari hilirisasi industri juga merupakan hal positif yang dapat menjadi faktor utama potensi meningkatnya peringkat Indonesia dari BBB menjadi BBB+. Potensi ini juga terlihat dari spread yield Indonesia terhadap yield US Treasury yang konsisten turun dalam 3 bulan terakhir pada rata-rata 321 bps yaitu di bawah rataan 1 tahun terakhir di 386 bps dan 3 tahun terakhir di 498 bps.
Syuhada menjelaskan penyusutan spread ini berarti investor asing semakin percaya pada peningkatan kualitas kredit pemerintah Indonesia yang bermuara pada potensi kenaikan rating oleh lembaga pemeringkat utang global.
Awal tahun ini pemerintah menerbitkan SBN Ritel dengan tingkat kupon yang menarik. Apakah obligasi ritel (SBN Ritel) dapat mempengaruhi minat investor terhadap reksadana obligasi?
SBN ritel Saving Bond Ritel atau SBR seri SBR012 (terbit pada 19 Januari 2023) menawarkan tingkat kupon yang menarik. Namun SBN Ritel kurang fleksibel dalam hal pencairan dana karena kita tidak bisa mencairkan dana sewaktu-waktu.
Sementara, kata dia, reksadana obligasi memiliki keunggulan dari sisi fleksibilitas di mana investor dapat mencairkan dananya kapan saja sehingga memudahkan untuk perencanaan keuangan. Menurutnya reksadana obligasi memang tidak memberi kepastian tingkat imbal hasil layaknya SBN Ritel karena dipengaruhi oleh pergerakan pasar, namun dapat memberikan potensi imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan SBN Ritel.
Sebagai gambaran, ia menjelaskan bahwa mengacu pada indeks BINDO per Desember 2022, pasar obligasi dapat menghasilkan kinerja rata-rata 7,78% untuk periode 3 tahun, walau pasar sempat dibayangi kondisi pandemi maupun kenaikan suku bunga agresif.
"Jadi pada dasarnya produk reksadana obligasi menawarkan profil risk-return yang lebih agresif dibanding SBN Ritel. Keduanya dapat memiliki tempat dalam portofolio investor tergantung pada profil risiko dan kebutuhan finansial masing-masing," kata Syuhada.
Lalu bagaimana strategi portofolio reksadana obligasi yang dilakukan Manulife AM?
Syuhada Arief menyampaikan dari perspektif makroekonomi, MAMI melihat kondisi yang lebih kondusif bagi pasar obligasi seiring ekspektasi kebijakan moneter global dan domestik sudah mendekati puncaknya. Di sisi lain, ia melanjutkan kondisi pasar saat ini tetap dinamis karena terdapat perbedaan pandangan arah kebijakan moneter The Fed serta data ekonomi yang fluktuatif.
"Oleh karena itu pengelolaan portofolio yang lincah menjadi kunci untuk memanfaatkan kondisi pasar," ujarnya. Untuk membentuk portofolio yang optimal, Syuhada Arief menyampaikan MAMI memperhatikan beberapa faktor:
• Duration management
Pengelolaan aktif dengan durasi portofolio yang dinamis. Penentuan durasi portofolio ditentukan dari kondisi pasar terkini terutama dengan pendekatan top-down analysis baik dari global maupun domestic macro backdrop.
• Relative valuation
Alokasi pada obligasi tenor tertentu yang menawarkan spread imbal hasil menarik dan alokasi pada seri obligasi pemerintah off-the-run yang menawarkan imbal hasil lebih besar dibandingkan on-the-run series namun dengan menjaga risiko likuiditas yang terukur.
• Yield enhancement
Optimalisasi potensi imbal hasil pada obligasi korporasi yang memiliki kualitas kredit yang pruden dan terpercaya berdasarkan analisa komprehensif tim analis kredit di Indonesia yang dibantu oleh analis kredit global.
Raih Financial Freedom dengan Investasi di Reksadana, Klik di Sini
(Martina Priyanti/hm)
***
Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,96 | 0,58% | 4,31% | 7,57% | 8,73% | 19,20% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.094,08 | 0,44% | 4,48% | 7,05% | 7,51% | 2,61% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,18 | 0,60% | 3,97% | 7,04% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,13 | 0,53% | 3,89% | 6,64% | 7,38% | 16,99% | 40,43% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.269,81 | 0,81% | 3,87% | 6,51% | 7,19% | 20,23% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.