Perkembangan Pasar Obligasi dan Tips Investasi versi Manajer Investasi MAMI
MAMI masih melihat potensi yang menarik di pasar obligasi didukung oleh adanya potensi pemangkasan suku bunga
MAMI masih melihat potensi yang menarik di pasar obligasi didukung oleh adanya potensi pemangkasan suku bunga
Bareksa.com - Pasar obligasi mencatat pelemahan di bulan April. Lah apa yang mempengaruhi kinerja pasar obligasi? Laras Febriany, Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) dalam ulasan pasar obligasi terbaru bertajuk Seeking Alpha Edisi Mei 2024 dari PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), menyampaikan pemicu utamanya adalah data inflasi AS yang lebih tinggi dari ekspektasi di mana inflasi umum AS cenderung meningkat di periode Januari hingga Maret 2024.
"Imbasnya, The Fed mengindikasikan masih butuh waktu lebih lama untuk lebih yakin lagi bahwa inflasi domestiknya sudah benar-benar dalam tren penurunan, sebelum melakukan pemangkasan. Kondisi ini sempat meningkatkan volatilitas di pasar saham, obligasi, dan mata uang secara global, Asia, hingga Indonesia, yang kemudian mendorong pasar untuk menyesuaikan kembali ekspektasinya terkait suku bunga," kata Laras dalam keterangan tertulisnya.
Namun kabar baik terakhir, ia melanjutkan bahwa Ketua The Fed atau Bank Sentral Amerika, mengemukakan bahwa walaupun suku bunga belum akan turun secepat ekspektasi pasar sebelumnya, potensi kenaikan lebih lanjut pun sangat kecil, sehingga langkah berikutnya ke depan adalah pemotongan suku bunga. Hal ini dapat dipahami karena sebenarnya mayoritas komponen inflasi AS telah mereda, kecuali komponen shelter dan transportasi yang memang masih cukup tinggi.
Promo Terbaru di Bareksa
Lalu, di tengah ekspektasi suku bunga yang dinamis, bagaimana sebetulnya kondisi ekonomi global? Apakah resesi masih menjadi ancaman di era suku bunga tinggi saat ini? Laras menyampaikan IMF memproyeksikan ekonomi global tahun ini tumbuh 3,2%. Penopang utamanya adalah kawasan negara berkembang yang diproyeksikan tumbuh 4,2%, disusul oleh kawasan negara maju yang tumbuh 1,7%.
"Yang menarik, semua angka-angka ini lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang dirilis bulan Januari lalu, sehingga kekhawatiran resesi sepertinya sudah tidak menjadi skenario di pasar," kata Laras. Menurut dia, optimisme pertumbuhan ini didukung oleh tingkat permintaan yang kuat, tabungan era pandemi yang masih lebih dari cukup, dan juga dampak positif stimulus pemerintah. Ekonomi yang resilien juga terjadi bersamaan dengan tren disinflasi, didukung oleh pemulihan rantai pasok global, ketersediaan tenaga kerja, dan turunnya harga energi.
"Tapi memang benar, walaupun inflasi global sudah menjinak, bank sentral dunia belum dapat menurunkan suku bunga, karena cenderung menunggu langkah The Fed. Masalahnya, The Fed memberi sinyal masih butuh waktu untuk lebih yakin lagi bahwa inflasi domestiknya sudah benar-benar dalam tren penurunan, sebelum melakukan pemangkasan," kata Laras.
Ia menjelaskan bahwa Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25% di bulan April. Tapi, apakah ini langkah yang tepat, atau justru suku bunga tinggi dapat memukul ekonomi dan daya beli masyarakat? "Menurut kami BI mengambil langkah tepat dengan menaikkan suku bunga untuk menjaga stabilitas Rupiah. Depresiasi Rupiah yang signifikan dapat menyebabkan risiko imported inflation (kenaikan harga barang dan bahan baku yang diimpor karena pelemahan Rupiah) yang membebani dunia usaha dan daya beli masyarakat dalam jangka pendek," paparnya.
Selain itu, ia melanjutkan bahwa stabilitas Rupiah juga penting untuk menarik dana investor asing masuk ke pasar Indonesia. "Kami melihat pasar juga mengapresiasi keputusan BI, terlihat dari nilai tukar Rupiah yang membaik dan stabil di kisaran 16.000, imbal hasil SBN 10Y berhasil turun dari puncaknya di 7,25% ke level saat ini di bawah 7%, dan investor asing mulai kembali masuk ke pasar obligasi di bulan Mei," kata Laras.
Bagaimana outlook kebijakan BI? Apakah ada potensi BI kembali menaikkan suku bunga? Laras menyampaikan bahwa outlook kebijakan BI akan bergantung pada kondisi pasar global yang dapat mempengaruhi stabilitas Rupiah. Apabila data ekonomi dan inflasi AS mereda, kondisi ini dapat mengurangi tekanan penguatan Dolar AS sehingga BI tidak perlu menaikkan suku bunga.
"Selain dari tekanan Rupiah kami melihat tidak ada faktor lain yang dapat memicu BI untuk menaikkan suku bunga, terutama karena inflasi domestik masih terjaga. Saat ini pasar masih memperkirakan ada potensi pemangkasan Fed Funds Rate satu hingga dua kali, sehingga kami memperkirakan BI Rate dapat berada di kisaran 5,75% - 6,25% di akhir tahun,' kata Laras.
Lalu bagaimana pasar obligasi di tengah dinamika ketidakpastian kebijakan suku bunga saat ini? Menurut Laras, kuartal dua 2024 memang diawali perubahan-perubahan ekspektasi, yang kemudian diikuti dengan volatilitas tinggi dan sentimen pasar yang kurang kondusif. Namun dengan berjalannya waktu, pasar pun melakukan penyesuaian, volatilitas terlihat mereda, dan sentimen mulai pulih.
"Yang perlu kita ingat, secara keseluruhan perekonomian global tahun ini diperkirakan masih bertumbuh, dan inflasi global pun dalam tren menurun. Di Indonesia sendiri, fundamental ekonomi masih terjaga kuat, dan katalis-katalis penopang dan potensi pasar finansial pun masih sangat cukup," jelasnya.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa baiknya kita fokus pada peluang jangka menengah panjang, dan jadikan volatilitas jangka pendek sebagai peluang yang belum tentu datang kembali, terutama dengan pandangan pemangkasan suku bunga yang masih dapat terjadi.
Bagaimana strategi pengelolaan portofolio reksadana obligasi MAMI dalam kondisi ini? Laras menyampaikan bahwa MAMI masih melihat potensi yang menarik di pasar obligasi didukung oleh adanya potensi pemangkasan suku bunga. Namun memang perlu dicermati dalam jangka pendek volatilitas masih dapat terjadi karena faktor ketidakpastian suku bunga The Fed.
"Oleh karena itu, kami selalu mengelola portofolio secara aktif, bergerak dinamis antara defensif dan agresif untuk membentuk portofolio yang optimal. Strategi portofolio akan disesuaikan berdasarkan tinjauan makroekonomi terkini serta fokus pada manajemen durasi, kas dan pemilihan efek untuk membentuk portofolio yang dapat bergerak dengan lincah," jelas Laras.
(Martina Priyanti)
***
Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.385,82 | 0,23% | 4,09% | 7,79% | 8,03% | 19,38% | 38,35% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,66 | 0,21% | 4,11% | 7,21% | 7,45% | 2,88% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.085,69 | 0,58% | 3,99% | 7,68% | 7,82% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.854,91 | 0,57% | 3,86% | 7,26% | 7,40% | 17,49% | 40,87% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.289,21 | 0,83% | 4,10% | 7,42% | 7,55% | 19,87% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.