BeritaArrow iconBerita Ekonomi TerkiniArrow iconArtikel

Dana Program Restrukturisasi Perbankan Bisa Mencapai Rp248 Triliun

Bareksa26 Mei 2017
Tags:
Dana Program Restrukturisasi Perbankan Bisa Mencapai Rp248 Triliun
Plt. Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan usai melakukan pertemuan tertutup dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (16/9/2015). (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

Sejumlah bankir menilai besaran PRP tidak perlu mencapai 2-3% dari PDB

Bareksa.com - Industri perbankan akan dikenai iuran untuk mengantisipasi bila terjadi krisis, sesuai dengan Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Dana yang disebut untuk program restrukturisasi perbankan (PRP) ini ditargetkan mencapai 2-3 persen dari produk domestik bruto (PDB), meski sejumlah bankir menilai angkanya tidak perlu sebesar itu.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai, dana untuk PRP umumnya berkisar 2-3 persen dari PDB. Apabila merujuk pada nilai PDB pada 2016 yang mencapai Rp12.406 triliun, maka dana PRP bisa mencapai sekitar Rp248,12 triliun hingga Rp372,128 triliun.

Direktur Eksekutif LPS Fauzi Ichsan menjelaskan, kisaran 2-3 persen dari PDB berdasarkan atas perhitungan historis yang sudah dikeluarkan LPS dalam menyelamatkan bank. "Kita kan punya pengalaman krisis di tahun 1998 saat banyak bank perlu diselamatkan," jelasnya di Jakarta, Rabu (24 Mei 2017).

Sementara itu, mengenai besaran premi PRP yang dikenakan kepada perbankan, Fauzi mengatakan masih dalam pembahasan. "Premi PRP akan dikeluarkan dalam bentuk peraturan pemerintah, namun diskusinya harus melibatkan BI, OJK dan juga DPR," terangnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR sebelumnya menjelaskan, di dalam UU PPKSK disebutkan, dana untuk program restrukturisasi perbankan berasal dari bank dan kontribusi perbankan. Sementara premi untuk program restrukturisasi tersebut ditetapkan dalam peraturan pemerintah (PP).

"Di dalam UU tersebut juga dijelaskan mengenai premi. Ini harus dikonsultasikan dahulu kepada DPR sebelum ditetapkan dalam peraturan pemerintah," katanya.

Adapun besaran premi untuk PRP, pihaknya merujuk pada praktik yang ada di luar negeri. Di Swedia, metode yang ditetapkan adalah flat rate, sedangkan di Jerman berdasarkan ukuran bank. Selanjutnya, di Uni Eropa, premi didasarkan pada risiko bank, Jepang dan Korea berdasarkan flat rate, serta Hungaria dan Austria menganut konsep berjenjang.

Menanggapi hal ini, Direktur PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) Iman Nugroho Soeko mengungkapkan, penetapan premi PRP tidak melalui diskusi dengan perbankan.

"Sepertinya tidak ada diskusi, mereka langsung saja menetapkan,” katanya.

Iman berpendapat, pada setahun pertama dana yang diperlukan untuk PRP tidak langsung mencapai 2-3 persen dari PDB. “Karena kita tidak mengharapkan krisis terjadi dalam waktu dekat. Pokoknya kami ingin serendah mungkin," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan saat ini sudah berada di atas batas minimal yang ditentukan, yakni 22 persen. Dengan nilai tersebut, permodalan perbankan cukup memadai untuk mengantisipasi berbagai risiko.

Selain itu, LPS saat ini memiliki dana untuk menjamin dana masyarakat sekitar Rp60-70 triliun. Dana itu pun, menurutnya, sudah cukup untuk menanggulangi risiko kegagalan bank saat ini. "Risiko sistemik juga tidak terlalu besar saat ini," katanya.

Kartika, atau yang akrab disapa Tiko, memahami pasca terbitnya UU PPKSK, bank dituntut untuk menyusun recovery plan dan menganut sistem bail-in apabila terjadi risiko kegagalan bank. (Baca juga: Mengenal Bank Perantara Sebagai Alternatif Penanganan Bank Gagal)

"Dengan kondisi ini, ada dana penjaminan LPS dan juga menganut sistem bail-in atau pemilik dituntut menunjukkan komitmennya apabila terjadi kegagalan bank, maka apa perlu ada dana PRP?" ujarnya.

Lebih lanjut, Direktur Utama PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk yang juga merupakan Ketua Umum Himpunan Bank Negara (Himbara) Maryono mengungkapkan, tingkat suku bunga perbankan saat ini masih tinggi karena bank harus menutup biaya overhead yang besar akibat kondisi geografis Indonesia. Belum lagi, perbankan juga dipungut biaya premi penjaminan LPS, iuran OJK dan kewajiban penempatan giro wajib minimum (GWM) yang tanpa bunga.

Menurut dia, apabila premi ini bisa disatukan, maka bisa membuat tingkat efisiensi perbankan meningkat. Apalagi, OJK saat ini juga mengemban tugas yang sebelumnya berasal dari BI dan Kementerian Keuangan sehingga seharusnya bisa mengurangi iuran yang dikenakan. "Kalau preminya digabung, baru dibagi sesuai kebutuhan tentunya akan menjadi lebih efisien," tegasnya. (K09)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A

1.384,88

Up0,21%
Up4,05%
Up7,72%
Up8,08%
Up19,46%
Up38,34%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.095,38

Up0,14%
Up4,09%
Up7,18%
Up7,47%
Up3,23%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

autodebet

1.084,98

Up0,55%
Up4,00%
Up7,61%
Up7,79%
--

Capital Fixed Income Fund

autodebet

1.853,59

Up0,53%
Up3,86%
Up7,19%
Up7,36%
Up17,82%
Up41,07%

Insight Renewable Energy Fund

2.287,69

Up0,82%
Up4,11%
Up7,35%
Up7,53%
Up19,98%
Up35,83%

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua