Faisal Basri: Tidak Perlu Melarang Ekspor Bauksit, Kenakan Saja Bea Keluar
Faisal Basri menilai ada konflik kepentingan di balik penerapan kebijakan larangan ekspor bauksit
Faisal Basri menilai ada konflik kepentingan di balik penerapan kebijakan larangan ekspor bauksit
Bareksa.com – Kebijakan larangan ekspor mineral mentah, khususnya bijih nikel dan bauksit kembali memanas. Ekonom Faisal Basri, mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas menuding ada konflik kepentingan di balik kebijakan tersebut.
Bagaimana sebenarnya persoalan kebijakan yang sudah berlaku pada 12 Januari 2014 tersebut?. Berikut wawancara analis dan wartawan Bareksa.com dengan ekonom senior yang akrab dipanggil “Bang Faisal” ini di Jakarta, Kamis, 28 Mei 2015.
Mengapa Anda melihat larangan ekspor bijih nikel dan bauksit itu lebih menguntungkan perusahaan asing (Rusia) ketimbang masyarakat Indonesia, khususnya produsen nasional?
Membangun smelter di Indonesia butuh dana miliaran dolar. Perusahaan swasta yang membangun juga perlu membuat infrastruktur sendiri, seperti pelabuhan dan pembangkit listrik. Jadi biayanya lebih mahal dan tidak kompetitif dibanding China dan Australia.
Kalau kita membangun sendiri butuh biaya $376 per ton, sedangkan di China dan Australia bisa lebih murah hanya $355 per ton dan $320 per ton. Rugi lah kita. Jadi tidak feasible untuk membangun smelter.
Tapi, jika dilarang bukankah justru bisa mendorong produsen untuk mempercepat pembangunan smelter?
Kalau pemerintah mau mendorong pembangunan smelter guna menambah nilai industri bauksit dan bijih nikel, tidak dengan cara melarang ekspor.
Bagaimana para penambang bisa membangun smelter jika tidak punya pendapatan (dari mengekspor). Padahal para penambang itu sudah berencana ingin membangun smelter. Pembangunan smelter oleh Harita Grup penyelesaian tahap pertamanya sudah sampai 48 persen. PT Bintan Alumina Indonesia sudah 20 persen. PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) sudah selesai melakukan feasibility study.
UC Rusal (Rusia) yang bilang akan membangun smelter jika pemerintah melarang ekspor bauksit dan bijih nikel malah belum ada kemajuan apa pun hingga saat ini. (Baca juga: Faisal Basri Vs Hatta Rajasa; Benarkah Rusal Rusia Diuntungkan?)
Tabel Rencana & Realisasi Pembangunan Industri Alumina Indonesia
Sumber: Presentasi Erry Sofyan, Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I)
Jadi sebetulnya industri dalam negeri mana yang dibela pemerintah? Yang ada ekspor 55 juta ton bauksit kita hilang. Produsen nasional tidak memperoleh penjualan ekspor. Bagaimana harus membayar utang untuk membayar pembangunan smelter?
Saya dibilang “neolib” membela kepentingan China karena pasokan berkurang. Justru siapa yang membela asing?. Kita tidak mampu membangun smelter akhirnya justru mendorong China masuk investasi ke sini (Indonesia). Lalu saat ini yang memperoleh rekomendasi untuk tetap ekspor siapa? Freeport dan Newmont!. Padahal mereka baru hanya (lisan) menyampaikan akan membangun smelter.
Harita Grup yang sudah jelas-jelas membangun smelter malah tidak boleh mengekspor. Bahkan ada yang baru memperoleh IUP pada 2012. Baru ngerok-ngerok (tambang) setahun sudah dilarang mengekspor. Jika memang akan dilarang kenapa dikasih izin?.
Pemerintah berharap adanya nilai tambah bagi Negara dengan adanya paksaan membangun smelter. Bagaimana pendapat Anda?
Nilai tambah itu didapat dari penjualan harga alumina dikurangi harga bauksit. Harga alumina yang lebih tinggi tersebut didapatkan dengan melakukan investasi. Dari investasi itu, ada komponen laba, upah pekerja, dan mungkin pajak. Namun, seperti kita tahu investasi smelter butuh dana besar dan (sementara ini) hanya investor asing yang punya modal besar. Jadi China yang masuk. Pengusaha Indonesia hanya petambang, beda dengan industri. Mereka modalnya dari mana?
Membangun smelter bauksit butuh miliaran dolar sehingga investor China datang. Pengusaha Indonesia hanya punya konsesi tambang bauksit, sedangkan para investor asing yang membangun industrinya. Jadi investor China bisa punya 90 persen saham di smelter. Kita cuma seuprit. Labanya 90 persen juga masuk ke mereka (investor China). Nilai tambahnya gede tapi untungnya masuk ke asing. Di mana nilai tambah untuk dalam negeri?
Rumusnya seperti ini: Nilai Tambah = Output Alumina dikurangi Output Bauksit. Dalam hal ini berarti modal, upah, bunga, sewa lahan dan pajak. Dari segi modal pabrik smelter 90 persen milik China, sedangkan produsen tambang lokal hanya 10 persen karena hanya punya konsesi tambang.
Lalu upah, pabrik smelter paling hanya akan menyerap 600 karyawan, di mana 100 karyawannya pasti diisi oleh buruh-buruh dari China. Industri ini menyerap tenaga kerja sedikit, hanya ratusan orang, tidak terlalu banyak karena memiliki teknologi tinggi (high-tech).
Bunga juga yang akan menerima adalah perbankan China karena yang melakukan pembiayaan perusahaan dari negeri mereka sendiri. Sewa lahan dan pajak nilainya kecil sekali. Kita jadi tidak dapat apa pun.
Terus, hasil produksi alumina tidak akan dijual ke PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Mereka akan lebih baik jual ke China untuk pasokan industrinya. Jadi apakah nasionalisme seperti itu?
Jadi sebaiknya apa yang harus dilakukan pemerintah guna memperbaiki industri ini?
Sebaiknya pemerintah membuat kebijakan seperti produk minyak kelapa sawit (CPO), yaitu pungutan bea keluar. Tidak perlu melarang ekspor mineral mentah. Kenapa tidak dibuat seperti kebijakan untuk sawit? ekspor tidak dilarang. Kalau melarang, berarti tidak boleh memproduksi karena belum ada smelter.
Di industri sawit, sudah ada pabrik minyak goreng. Kebijakan sawit itu bagus karena CPO di dalam negeri bisa diolah menjadi minyak goreng, surfaktan biofuel dan lain-lain. Terakhir dipungut $50 per ton dan ada bea keluar sehingga harga CPO dalam negeri murah dan menguntungkan industri hilir.
Untuk bauksit, seharusnya supply dan demand diatur oleh pemerintah. Buat saja pajak ekspor. Kalau mau mengendalikan harga ada mekanismenya. Hal itu sudah diberlakukan untuk tembaga, tetapi malah tidak di bauksit.
Kenapa ini malah dikendalikan oleh negara, bukan oleh pasar? Kalau kebutuhan alumina dalam negeri sudah besar, produksi bisa dinaikan dan buatlah pajak ekspor seperti tembaga. Kenapa malah melarang ekspor bauksit?. Padahal di dalam negeri belum ada smelter bauksit satu pun.
Ilustrasi Permintaan dan Penawaran
Sumber: Penjelasan Faisal Basri, diolah Bareksa
Mekanisme pasar bisa dilihat pada ilustrasi gambar di atas ini. Permintaan bauksit dan bijih nikel dalam negeri pada harga internasional (price international) berada pada Qd1, sedangkan penawaran dari dalam negeri mencapai Qs1. Akibatnya terjadi kelebihan penawaran (over supply) bauksit dan bijih nikel sehingga produsen melakukan ekspor.
Jika pemerintah ingin menghentikan (mengendalikan) ekspor, sesungguhnya bisa menambahkan bea keluar pada ekspor bauksit dan bijih nikel, sehingga harga yang diterima produsen turun ke "Price II". Dengan begitu justru pemerintah jadi bisa memperoleh pendapatan dari bea keluar tersebut.
Atau bea keluar hanya sebesar "Price I", sehingga masih memungkinkan produsen melakukan ekspor meski jumlahnya berkurang. Dan industri dalam negeri juga masih feasible menambah serapan. Mekanisme pasar justru tidak akan menimbulkan tindak korupsi.
Aturan Peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2012 yang isinya produsen tambang boleh melakukan ekspor asalkan memperoleh rekomendasi dari menteri ataupun direktur jendral justru bisa menimbulkan korupsi. Memang rekomendasi gratis? Kalau dengan kebijakan superior, dengan cara mengatur bea keluar, secara teori tidak ada celah korupsi.
Apakah seharusnya sekarang perlu dibuka larangan ekspor itu?
Buka! Boleh mengekspor, asal bayar bea keluar. Itu salah satunya. Contoh, kuota ekspor bauksit ingin dikurangi dari 50 juta ton menjadi hanya 20 juta ton. Tinggal hitung saja bea keluarnya. Pemerintah akan mendapat penerimaan. Nanti uangnya dipakai untuk membangun smelter. Di sini akan ada mekanisme pasar.
Kalau ada larangan, tidak ada pasokan sama sekali, artinya mekanisme pasar dihentikan. Ekspor (bauksit) boleh dilarang saat smelter dalam negeri sudah banyak dan bea keluarnya besar. Jadi, pasokan bauksit akan digunakan oleh industri dalam negeri.
Dengan kebijakan mengatur pasokan dan permintaan itu, pemerintah akan lebih superior. Tidak akan ada negosiasi karena itu mekanisme pasar.
Sekarang pemerintah malah mau memberi tax holiday guna membantu industri. Ini justru merugikan negara. Padahal produsen itu awalnya tidak minta itu, asal investasi bisa berjalan lancar.
Anda tidak takut disomasi atas tuduhan ini? (Faisal menuding Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Perekonomian sebagai biang kekacauan industri bauksit nasional)
Kalau disomasi justru hikmahnya besar. Saya dorong ke masalah hukum saja. Kalau ada masalah hukum orang yang tadinya tak mau ngomong jadi mau (bicara). Banyak yang bantu, semacam solidaritas.
Pewawancara: Ni Putu Kurniasari dan Hanum Kusuma Dewi
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,65 | 0,56% | 4,26% | 7,54% | 8,69% | 19,21% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.093,4 | 0,43% | 4,43% | 6,99% | 7,44% | 2,54% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,4 | 0,60% | 3,98% | 7,06% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,45 | 0,53% | 3,89% | 6,66% | 7,38% | 17,02% | 40,39% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.270,42 | 0,81% | 3,88% | 6,54% | 7,20% | 20,19% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.