BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Rights Issue RIMO, Berujung Seperti BWPT Atau DNET?

03 Juni 2016
Tags:
Rights Issue RIMO, Berujung Seperti BWPT Atau DNET?
Dua karyawan mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/4). Perdagangan IHSG pada akhir pekan ditutup naik 11,65 poin atau 0,24 persen menjadi 4.914,73. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Aksi korporasi RIMO menargetkan dana Rp7,5 triliun dan belum mendapat pernyataan efektif dari OJK.

Bareksa.com - Sudah hampir setahun perusahaan ritel PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO) mengumumkan rencana untuk menambah modal melalui skema penerbitan saham baru dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue. Namun, hal ini belum juga terlaksana. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak kunjung memberikan pernyataan efektif, padahal batas paling lambat adalah bulan Juni ini.

Rencana rights issue ini termasuk besar, dengan target raihan dana hingga Rp7,5 triliun--inipun sudah direvisi dari target sebelumnya yang Rp8,1 triliun. Dana tersebut jauh di atas kapitalisasi pasar RIMO saat ini yang hanya Rp65 miliar. Menurut prospektusnya, target penerbitan saham baru maksimal 28,39 miliar saham dengan harga penawaran Rp265 per saham.

Dalam rights issue ini, pemegang dua saham lama mendapatkan 167 HMETD untuk membeli saham baru. Bila pemegang saham lama tidak mengeksekusi haknya, maka kepemilikannya di RIMO akan terdilusi hingga 98,81 persen. Selain itu, sudah ada 17 pembeli siaga yang siap menggelontorkan dana bila pemegang saham lama tidak mengeksekusi haknya.

Promo Terbaru di Bareksa

Yang menarik, tujuan rights issue tersebut adalah untuk mengakuisisi perusahaan properti bernama PT Hokindo Mediatama. Aksi ini membuka jalan bagi Hokindo untuk masuk ke bursa saham, tanpa harus melakukan penawaran perdana--atau yang biasa disebut dengan backdoor listing. Nilai aset Hokindo jauh lebih besar dibanding RIMO, yang saat ini hanya memiliki satu gerai ritel di Pasar Baru, Jakarta.

Menguntungkan investor?

Rencana rights issue RIMO ini memiliki kemiripan dengan aksi korporasi beberapa emiten sebelumnya. Ada yang berhasil, tapi ada juga yang tidak membawa perbaikan kinerja keuangan ataupun kenaikan harga saham, dan ujungnya merugikan investor lama.

Contoh yang dianggap gagal adalah PT Eagle High Plantation Tbk (BWPT) yang dulu bernama PT BW Plantation Tbk. Perusahaan kelapa sawit ini melakukan right issue pada dengan rasio satu saham lama berhak memperoleh enam saham baru, dengan harga Rp400 lembar saham dengan total raihan dana hingga Rp11 triliun. Aksi ini menggelembungkan nilai kapitalisasi pasar perseroan lima kali lipat dari Rp2,7 triliun menjadi sekitar Rp14 triliun.

Aksi korporasi ini dijadikan 'kuda troya' bagi Grup Rajawali untuk memasukkan perusahaan sawitnya--dengan luasan lahan yang merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia--ke bursa saham. Namun, backdoor listing pada akhir 2014 ini justru berujung petaka. Pada 2015, BWPT merugi hingga Rp297 miliar, berbalik dari posisi untung Rp190 miliar pada 2014.

Grafik: Kinerja Laba/Rugi BWPT 2011-15

Illustration

Sumber: Laporan Keuangan BWPT

Investor tak pelak kena imbasnya. Jika diasumsikan investor A pada tanggal 11 September 2014 membeli 1.000 saham BWPT di harga Rp950 per saham dan tidak menjualnya hingga tanggal pelaksanaan HMETD, maka pada saat pembelian awal ia harus mengeluarkan dana sebesar Rp950 ribu.

Sementara itu, BWPT mengumumkan akan melakukan right issue dengan rasio 1 : 6 di mana setiap 1 saham lama berhak atas 6 saham baru. Dengan demikian, investor A yang memiliki 1000 saham lama berhak untuk membeli sebanyak 6000 saham baru di harga yang ditetapkan perusahaan, yakni sekitar Rp400.

Untuk mengeksekusi HMETD BWPT, investor A harus mengeluarkan tambahan dana sebesar Rp2,4 juta (6.000 saham baru x Rp400). Dengan demikian dari nilai investasi awal sebesar Rp950 ribu, investor perlu mengeluarkan tambahan dana sebesar Rp2,4 juta untuk mengeksekusi HMETD tersebut.

Lalu, bagaimana jika investor tidak mengeksekusi haknya?

Sebagaimana ditulis dalam prospektus right issue BWPT, jika pemegang saham lama tidak melaksanakan haknya untuk membeli saham baru yang ditawarkan, maka akan mengalami penurunan presentase kepemilikan saham (dilusi) dalam jumlah maksimum sebesar 85,71 persen.

Karena dilusi tersebut, tentunya penerimaan dividen investor A atas saham BWPT akan berkurang. Tahun 2013, BWPT membagi dividen sebesar Rp46 miliar dengan jumlah saham beredar saat itu sebanyak 4,4 miliar saham. Dengan demikian nilai dividen BWPT di tahun 2013 sebesar Rp10,43 per lembar (Rp46 miliar/4,4 miliar saham).

Jika saja investor A sudah memegang 1.000 saham BWPT sejak 2013 dan tidak melepaskannya hingga pembagian dividen, maka ia akan mendapat dividen sebesar Rp10.431,83.Tetapi, setelah proses right issue akan ada tambahan jumlah saham beredar sekitar 27,02 miliar saham baru sehingga total jumlah saham beredar BWPT menjadi sekitar 31 miliar saham (27 miliar saham + 4 miliar saham).

Oleh karena itu, investor A hanya akan mendapatkan dividen sebesar Rp1,75 per saham (asumsikan dividen BWPT tumbuh sesuai rata-rata pertumbuhan tahunan sebelum adanya backdoor listing). Jika dikalikan dengan total jumlah saham yang dimiliki investor A sebanyak 1.000 saham, maka dividen yang ia terima hanya sebesar Rp1.751,15 atau turun 83,21 persen jika dibandingkan dengan penerimaan dividen sebelum right issue.

Selain itu dari sisi harga saham, rights issue yang jauh di bawah harga pasar pada saham BWPT juga mengakibatkan anjloknya harga saham. Sebelumnya pada bulan september 2014, saham ini masih berada di level Rp1.035 tapi setelah muncul harga eksekusi rights issue, harga saham BWPT di pasar terjun mendekati harga eksekusi.

Apalagi kinerja harga komoditas sawit yang tidak kunjung membaik membuat saham milik taipan Peter Sondakh ini hanya tersisa Rp250 per lembar pada penutupan perdagangan kemarin, 2 Juni 2016. Angka tersebut menciut hanya tinggal kurang dari seperempat harga saham di pasar reguler sebelum rights issue.

Grafik: Kinerja Saham BWPT 2014-16

Illustration

Sumber: Bareksa.com

Rights Issue DNET

Contoh lain adalah PT Dyviacom Intrabumi Tbk (DNET) yang kini berubah nama menjadi PT Indoritel Makmur Internasional Tbk. DNET pada 2013 melakukan rights issue dengan melepas sebanyak-banyaknya 14 miliar saham biasa dengan nilai nominal Rp250, dengan harga pelaksanaan Rp500 per saham. Total dana yang diraih dari rights issue tersebut sekitar Rp7 triliun.

Dalam pelaksanaan PUT I dengan HEMTD ini setiap pemegang 23 saham lama yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham (DPS) pada 5 Juni 2013 berhak atas 1.750 HMETD. Dengan setiap satu HMETD memberikan hak pemegangnya untuk membeli sebanyak satu saham baru.

Dana hasil pelaksanaan rights issue ini digunakan untuk membeli saham ritel dan konsumer milik Grup Salim, yaitu perusahaan pemilik waralaba Kentucky Fried Chicken (KFC) dan Sari Roti yang sudah tercatat di bursa saham. Selain itu, digunakan juga untuk membeli saham operator gerai Indomaret yang belum tercatat di bursa, sehingga bisa dikatakan sebagian backdoor listing. Sisa dana diperuntukkan bagi modal kerja perseroan yang sebelumnya masih bergerak di bidang jasa internet dan operasional situs OgahRugi.com.

Tabel: Rincian Penggunaan Dana Rights Issue DNET

Illustration

Sumber: Prospektus Rights Issue

Rights issue berskala besar ini berhasil mendongkrak kinerja perusahaan, terlihat dari kenaikan laba perusahaan yang naik ratusan kali lipat, seiring dengan perubahan lini bisnis perseroan. Laba DNET pada tahun 2013 saja naik menjadi Rp192 miliar dari sebelumnya hanya Rp200 juta. Bahkan pada akhir tahun 2015, perusahaan berhasil mengantongi keuntungan Rp415 miliar.

Grafik: Kinerja Laba/Rugi DNET 2011-15

Illustration

Sumber: Laporan Keuangan DNET

Peningkatan laba yang signifikan didorong oleh laba entitas asosiasi, yaitu FAST, ROTI, dan Indomarco yang berhasil menyumbang keuntungan hingga Rp416 miliar pada tahun 2015. (kd)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A

1.385,6

Up0,21%
Up4,12%
Up7,77%
Up8,02%
Up19,27%
Up38,33%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.095,56

Up0,20%
Up4,14%
Up7,20%
Up7,44%
Up2,99%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

autodebet

1.085,51

Up0,57%
Up4,03%
Up7,67%
Up7,80%
--

Capital Fixed Income Fund

autodebet

1.854,58

Up0,55%
Up3,90%
Up7,24%
Up7,38%
Up17,49%
Up40,84%

Insight Renewable Energy Fund

2.288,82

Up0,81%
Up4,14%
Up7,41%
Up7,53%
Up19,89%
Up35,81%
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua