Berita Hari Ini : Harga Emas Tertekan Ambil Untung, Asing di SBN Berpeluang Meningkat
Pelonggaran kuantitatif BI Rp662,1 triliun, rupiah terdepresiasi 6,42 persen YtD, BRI luncurkan 6 fintech baru
Pelonggaran kuantitatif BI Rp662,1 triliun, rupiah terdepresiasi 6,42 persen YtD, BRI luncurkan 6 fintech baru
Bareksa.com - Berikut adalah perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Jumat, 18 September 2020 :
Harga Emas
Harga emas berjangka jatuh pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), menyusul aksi ambil untung dari kenaikan selama tiga hari berturut-turut, setelah Federal Reserve (Fed) AS memupus harapan investor untuk lebih banyak stimulus guna mendukung ekonomi yang dilanda Virus Corona.
Promo Terbaru di Bareksa
Dilansir Antara, kontrak harga emas paling aktif untuk pengiriman Desember di divisi COMEX New York Mercantile Exchange, anjlok US$20,6 atau 1,05 persen menjadi ditutup pada US$1.949,9 per ounce. Sehari sebelumnya, Rabu (16/9/2020), emas berjangka naik US$4,3 atau 0,22 persen menjadi US$1.970,5.
Harga emas berjangka juga naik US$2,5 atau 0,13 persen menjadi US$1.966,2 pada Selasa (15/9/2020), setelah terangkat US$15,8 atau 0,81 persen menjadi US$1.963,7 pada Senin (14/9/2020), dan jatuh US$16,4 atau 0,83 persen menjadi US$1.947,90 pada Jumat lalu (11/9/2020).
Pernyataan Fed yang dirilis setelah penutupan pasar pada Rabu (16/9/2020) menunjukkan suku bunga akan tetap mendekati nol hingga 2023 guna membantu ekonomi AS. Para analis pasar berpendapat ini mungkin membuktikan bullish untuk emas dalam jangka panjang, tetapi investor mungkin menjual emas untuk mengambil untung karena pandangan ekonomi yang lebih baik dari Federal Reserve.
"Terlepas dari kenyataan bahwa Fed cukup dovish, tampaknya untuk pasar emas itu tidak cukup dovish," kata Kepala Strategi Komoditas TD Securities, Bart Melek. “Ada kekhawatiran dengan tidak ada lagi Pelonggaran Kuantitatif, mungkin hanya ada sedikit momentum untuk emas.”
Dilansir CNBC Indonesia, harga emas dunia masih bergerak volatil kendati masih dalam tren menguat dan menuju US$2.000 per troy ounce. Melansir data Refinitiv, pada pukul 17:12 WIB Rabu kemarin, harga emas diperdagangkan di kisaran US$1.965,96 per troy ounce di pasar spot.
Meski belum sanggup lagi mencapai US$2.000, namun Bloomberg Intelligence memprediksi harga emas masih akan terus menguat bahkan tidak menutup kemungkinan mencapai US$4.000 per troy ounce di 2023. Selain itu, Bloomberg Intelligence juga menyatakan pergerakan harga emas juga diprediksi akan lebih unggul dari perak yang belakangan ini juga mencuri perhatian pelaku pasar.
"Kondisi saat ini, di mana bank sentral terus menerapkan kebijakan moneter longgar menjadi fondasi yang solid bagi emas, tetapi kurang berdampak untuk perak dan tembaga. Logam untuk industri lebih terkait dengan stimulus fiskal dan bangkitnya perekonomian ekonomi global," kata Mike McGlone, ahli strategi senior komoditas di Bloomberg Intelligence, sebagaimana dilansir Kitco, dikutip Kamis (17/9/2020).
SBN
Porsi kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara (SBN) diperkirakan mampu pulih ke atas 30 persen ketika volatilitas dunia akibat pandemi Covid-19 mereda. Pasalnya, Indonesia merupakan salah satu tempat bagi investor nonresiden memanen return yang menarik dibandingkan negara berkembang lainnya.
Dilansir Bisnis.com, CIO Fixed Income Manulife Aset Manajemen Ezra Nazula menilai kembalinya investor asing ke pasar obligasi domestik akan mendorong yield SUN bertenor 10 tahun menuju ke 6 persen dari level sekarang pada kisaran 6,8-6,9 persen.
Adapun, harapan penemuan vaksin Covid-19 dan kepastian Pemilu AS yang dapat meredakan volatilitas global bakal menjadi alasan bagi investor asing kembali ke Indonesia. Apalagi ketika aset di negara maju seperti AS sudah semakin mahal, asing akan condong beralih ke aset di negara berkembang.
“Selama kurs rupiah lebih terjaga, kelihatannya akan terjaga di Rp15.000 per dolar AS untuk bottom-nya, itu mereka akan lebih berani untuk masuk ke pasar obligasi kita,” ujar Ezra.
Menurut Ezra, saat ini investor asing lebih banyak yang underweight terhadap pasar obligasi Indonesia dan masih menunggu momentum untuk masuk. Apabila sudah mendapatkan momentum, misalnya dari sisi nilai tukar dan mode risk on sudah kembali, bukan tidak mungkin kepemilikan asing di SBN bisa kembali ke atas 30 persen.
Bank Indonesia
Bank Indonesia telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan sekitar Rp662,1 triliun hingga 15 September 2020. Nilai itu terutama bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 491,3 triliun.
"Kondisi likuiditas lebih dari cukup sehingga terus mendorong penurunan suku bunga dan kondusif bagi pembiayaan perekonomian," kata Perry dalam dalam siaran virtual keputusan Rapat Dewan Gubernur, Kamis, 17 September 2020 dilansir Tempo.co.
Menurut dia, longgarnya kondisi likuiditas mendorong tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yakni 29,22 persen pada Agustus 2020 dan rendahnya suku bunga PUAB overnight, sekitar 3,31 persen pada Agustus 2020.
Longgarnya likuiditas serta penurunan suku bunga kebijakan (BI7DRR), kata dia, berkontribusi menurunkan suku bunga deposito dan kredit modal kerja pada Agustus 2020 dari 5,63 persen dan 9,47 persen pada Juli 2020 menjadi 5,49 persen dan 9,44 persen.
Sementara itu, imbal hasil SBN 10 tahun pada Agustus-September 2020 meningkat dari 6,83 persen pada Juli 2020 menjadi 6,87 persen pada Agustus 2020 dan 6,92 persen per 15 September 2020 sejalan proses penyesuaian pelaku asing di pasar keuangan domestik.
Rupiah
Nilai tukar rupiah hingga kini masih mengalami gejolak yang tinggi. Bank Indonesia (BI) mencatat, hingga 16 September 2020, nilai tukar rupiah terdepresiasi 6,42 persen bila dibandingkan dengan posisi akhir Desember 2019. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pergerakan nilai tukar rupiah hingga pertengahan September 2020 ini bila dibandingkan dengan akhir Juli 2020, tercatat mengalami depresiasi 1,58 persen secara point to point.
"Pelemahan rupiah pada Agustus 2020 dan September 2020 antara lain dipengaruhi oleh masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan, baik karena faktor global maupun sejumlah risiko domestik," kata Perry, Kamis (17/9) dilansir Kontan.
Meski begitu, Perry mengatakan kalau bank sentral optmistis kalau nilai tukar rupiah bakal berpotensi kembali menguat. Hal ini seiring dengan tingkat fundamental yang masih undervalued didukung oleh sejumlah faktor. Seperti inflasi yang rendah, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang juga akan menyempit, daya tarik aset keuangan Indonesia yang tinggi, dan premi risiko yang akan menurun ke depannya.
Selain itu, bank sentral juga akan sigap dalam memperkuat kebijakan stabilitas pengelolaan nilai tukar rupiah, sesuai dengan fundamentalnya. Selain itu, BI juga akan bekerja dalam mekanisme pasar, lewat penguatan efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar.
Fintech
Beradaptasi dengan kebutuhan perbankan selama pandemi, Bank BRI berhasil meluncurkan total enam produk fintech online dalam rentang waktu antara dua minggu hingga dua bulan. Peluncuran produk-produk ini diharapkan bisa memberikan masyarakat layanan keuangan terbaik tanpa harus mendatangi kantor cabang.
Enam fitur fintech yang diluncurkan BRI yaitu, Platform Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk pengajuan pinjaman, Ceria Cashout untuk pencairan pinjaman melalui aplikasi, Ceria Modal Kerja untuk pengajuan pinjaman modal kerja, Briguna untuk pinjaman mikro perseorangan, Dashboard UMI untuk memonitor status usaha mikro yang menjadi debitur, dan Pasar Digital UMK.
Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI Indra Utoyo mengungkapkan, penggarapan dan pengembangan produk digital di masa pandemi ini merupakan langkah yang strategis dan vital untuk memudahkan nasabah. Hal ini dikarenakan akibat perlambatan ekonomi tak sedikit masyarakat yang membutuhkan pinjaman untuk memulai usaha kecil atau tambahan modal untuk mempertahankan usahanya.
“BRI senantiasa memprioritaskan penyelamatan pelaku UMKM di saat pandemi. Kami meyakini bahwa setiap institusi finansial mampu melakukan eksekusi dan adaptasi dengan cepat, tanpa mengorbankan kualitas. Dalam waktu singkat, keenam produk baru ini sudah melayani ribuan nasabah,” ungkapnya dilansir Bisnis.com.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada April 2020, jumlah akumulasi penyaluran pembiayaan fintech mencapai Rp106 triliun, naik signifikan sebesar 185,64 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Karena itu, produk-produk fintech dari BRI akan sangat bermanfaat bagi pelaku UMKM di Indonesia, terutama karena pengajuan pinjaman bisa diakses di mana saja dan kapan saja.
(AM)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.