Stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional Rp150 Triliun, Akankah Efektif?
Krisis ini diawali dengan Covid dan diakhiri dengan Covid juga
Krisis ini diawali dengan Covid dan diakhiri dengan Covid juga
Bareksa.com - Pandemi virus corona Covid-19 tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga ekonomi secara global. Ekonomi Indonesia juga tidak luput dari dampak wabah ini sehingga Pemerintah perlu mengambil langkah pemberian stimulus untuk mengatasinya.
Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa Covid-19 membawa dampak bagi ekonomi global. Bagi Indonesia, hal ini tercermin dari menyusutnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal pertama tahun ini.
Secara aktual, pertumbuhan PDB Indonesia kuartal pertama 2020 hanya 2,97 persen. Angka tersebut menyusut jauh dibandingkan kuartal sebelumnya di 4,97 persen dan sebelumnya di kisaran 5 persen.
Promo Terbaru di Bareksa
Grafik PDB Indonesia per Kuartal
Sumber: tradingeconomics.com
"Kontributor penurunan ini paling berat di konsumsi. Pertumbuhan PDB kuartal kedua akan makin buruk, disertai dengan tambahan ketidakpastian di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia," ujar Febrio dalam DIM Webinar Series on Economic Update, 12 Mei 2020.
Untuk mendorong kembali daya beli dan konsumsi masyarakat, tentunya Pemerintah Indonesia harus menyiapkan stimulus. Dana stimulus ini akan diambil dari penghematan, realokasi APBN 2020 serta pembiayaan yang berpotensi memperbesar defisit menjadi hingga 5 persen dari PDB.
Grafik Outlook Pelebaran Defisit APBN
Sumber: Presentasi BKF
Febrio menjelaskan bahwa Pendapatan Negara tahun ini diperkirakan Rp1.760,9 triliun, hanya 78,9 persen dari target APBN 2020 yang sebesar Rp2.233,2 triliun.
Sementara itu, sisi Belanja Negara diproyeksikan membengkak menjadi Rp2.613,8 triliun, dibandingkan dengan target APBN Rp2.540,4 triliun.
Akibatnya ada pelebaran Rp545,8 triliun yang menjadikan outlook (perkiraan) defisit menjadi Rp853,0 triliun atau setara 5,07 PDB. Angka ini membengkak dari defisit Rp307,2 triliun yang ditetapkan APBN, setara dengan 1,76 persen PDB.
Sementara itu, ada tambahan belanja sebesar Rp255,1 triliun yang tertera dalam Perppu 1/2020. Angak tersebut berisikan Rp75 triliun untuk dukungan anggaran kesehatan, Rp110 triliun perluasan social safety net, dan Rp70,1 triliun untuk dukungan usaha/industri. Ditambah lagi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan anggaran sekitar Rp150 triliun.
Untuk menyeimbangkan pengeluaran ini, pemerintah akan melakukan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19, sebesar Rp190 triliun dari penghematan belanja negara dan Rp54,6 triliun dari realokasi belanja negara. Outlook kebutuhan pembiayan akan ditutupi dengan pembiayaan non-utang sebesar Rp108,9 triliun dan Pembiayaan utang Rp654,5 triliun.
Pembiayaan non utang termasuk pembiayaan dalam rangka PEN Rp150 triliun dan tambahan pembiayaan pendidikan Rp18,6 triliun memenuhi alokasi anggaran pendidikan 20 persen. Adapun pembiayaan utang akan dipenuhi dari penerbitan SBN domestik dan global, penarikan pinjaman dan penerbitan SBN yang akan dibeli Bank Indonesia di pasar primer.
Febrio mengatakan bahwa urutan prioritas stimulus ini adalah kesehatan, jaring pengaman sosial, lalu dukungan usaha. Setelah itu, baru BUMN dan bisnis korporasi. Program PEN masuk di dalam dukungan dunia usaha dengan stimulus total Rp220 triliun seperti dalam grafik.
Grafik Prioritas Stimulus Mitigasi Covid-19 dan Dampaknya
Sumber: Presentasi BKF
"Dalam kuartal kedua, yang disiapkan pemerintah adalah bansos untuk dorong lebih banyak daya beli masyarakat," kata Febrio.
Pemulihan Ekonomi
Fund Manager Victoria Asset Management, Putu Wahyu Suryawan, menanggapi bahwa stimulus yang diambil oleh pemerintah saat ini berbeda dengan ketika menghadapi krisis di tahun 1998 dan 2008.
Di 2008, pemerintah perlu menjaga Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang menyumbang PDB hingga 40 persen untuk Indonesia. Pada saat itu, dengan menyelamatkan UMKM agar tetap buka, ekonomi bisa tumbuh 4 persen.
"Tetapi kini, yang diperlukan stimulus langsung ke masyarakat dengan bantuan sosial. Sebab, tidak ada pemasukan kelas menengah ke bawah," ujar Putu dalam video conference bersama Bareksa 13 Mei 2020.
Setelah bansos diberikan, stimulus selanjutnya adalah dukungan bagi UMKM. Bila hal ini bisa diatasi, Putu memperkirakan dalam tiga hingga empat bulan ekonomi bisa kembali berjalan normal.
Dia berharap stimulus yang digelontorkan oleh pemerintah dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp150 triliun bisa efektif mendorong pergerakan ekonomi. Bila terbukti ekonomi bisa berjalan normal kembali, sektor keuangan bisa bangkit lebih dulu.
"Kalau stimulus efektif dan terkonfirmasi, sektor keuangan bisa leading, kembali lebih cepat," jelasnya.
Chief Investment Officer Syailendra Capital Ahmad Solihin menilai bahwa beban ekonomi ini akan ditanggung APBN sangat berat. Bahkan, dia memperkirakan defisit anggaran bisa lebih besar daripada yang diproyeksikan pemerintah.
"Budget defisit diperkirakan pemerintah 5 persen, saya rasa lebih, bisa 7-8 persen dari PDB. Penerimaan pajak pasti turun, penerimaan migas juga turun karena harga minyak yang rendah. Meski pengeluaran juga turun, kalau tidak ada penerimaan tentu defisit bisa melebar," ujar Solihin dalam Webinar Syailendra, 14 Mei 2020.
Menanggapi stimulus yang diambil pemerintah, Solihin menilai bahwa secara umum arah kebijakan sudah benar untuk mengatasi pelemahan akibat wabah, tetapi terkadang kurang konsisten dan kurang koordinasi.
"Berbeda dengan krisis 2008, [krisis akibat pandemi] ini mulanya dari sektor riil, baru kena ke keuangan. Maka dari itu, harus ada dana bansos, dana desa, dan PKH. Sayangnya, data pemerintah yang kurang reliable," katanya.
Pria yang biasa disapa Ollie ini juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua bisa negatif hingga 3 persen. Alasannya, pembatasan sosial akibat Covid-19 ini dipastikan menghantam sektor riil, yang tercermin sebagian di akhir kuartal pertama 2020.
Dia pun memproyeksikan bila benar pertumbuhan kuartal kedua negatif, dan kuartal ketiga sampai keempat mulai bangkit, pertumbuhan setahun penuh bisa mencapai hanya 1 persen. "Bismillah. Semoga ekonomi bisa buka kembali setelah Juni," katanya.
Ollie menyimpulkan bahwa krisis ini diawali dengan Covid-19 dan harus diakhiri juga dengan mengatasi Covid-19 tersebut. "Krisis ini diawali dengan Covid dan diakhiri dengan Covid juga. Kuncinya adalah obat antivirus dan vaksin. Ketika ekonomi dibuka dan angka Covid tidak loncat, berarti bisa recovery," ucapnya.
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,65 | 0,56% | 4,26% | 7,54% | 8,69% | 19,21% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.093,4 | 0,43% | 4,43% | 6,99% | 7,44% | 2,54% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,4 | 0,60% | 3,98% | 7,06% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,45 | 0,53% | 3,89% | 6,66% | 7,38% | 17,02% | 40,39% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.270,42 | 0,81% | 3,88% | 6,54% | 7,20% | 20,19% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.