Berita Hari Ini : RI-Australia Resmi Teken CEPA, Belanja Modal KRAS US$432 Juta
BUMI cicil obligasi US$ 250 juta, ASII suntik anak usaha Rp703 miliar, laba LPFF turun 42 persen, obligasi FIF Rp2,36 T
BUMI cicil obligasi US$ 250 juta, ASII suntik anak usaha Rp703 miliar, laba LPFF turun 42 persen, obligasi FIF Rp2,36 T
Bareksa.com - Berikut adalah intisari perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal, dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Selasa, 5 Maret 2019 :
PT Bumi Resources Tbk (BUMI)
PT Bumi Resources Tbk (BUMI) telah mempersiapkan pembayaran cicilan Tranche A untuk setahun penuh. Nilainya diperkirakan sekitar US$200 juta hingga US$250 juta. Nilai ini merupakan perkiraan nilai cicilan terhitung sejak 8 Januari 2019 hingga 8 Januari 2020.
Promo Terbaru di Bareksa
Sejak awal 2017, BUMI telah membayar empat cicilan. Cicilan keempat senilai US$53 juta telah ditebus pada 8 Januari lalu. Sehingga, BUMI akan membayar sisa sekitar US$147 juta hingga US$197 juta selama sisa kurun waktu tersebut.
"Cicilan kelima akan dibayar 19 April dan 19 Juli untuk cicilan keenam," ujar Direktur BUMI Dileep Srivastava kepada Kontan.co.id, Senin (4/3).
Kabar ini sekaligus merupakan update atas berita sebelumnya yang menyebut BUMI telah menyiapkan pembayaran cicilan kelima.
PT Astra International Tbk (ASII)
PT Astra International Tbk (ASII) menyuntikkan dana Rp703 miliar ke PT Samasista Karya, salah satu anak usahanya yang bergerak di bidang properti.
Head Of Investor Relations Division PT Astra International Tbk Tiara Ardianti menyebutkan suntikan dana ini untuk membantu Samadista Karya dalam mencari proyek proyek properti baru dan mengembangkannya. Namun sayang, Tira belum dapat menjelaskan proyek apa yang akan dibangun oleh Samasdita tahun ini.
Yang jelas pihaknya optimistis prospek bisnis properti di Indonesia masih sangat baik untuk jangka panjang. "Kita optimistis bisnis properti masih akan baik untuk ke depannya. Astra berinvestasi untuk jangka panjang," katanya kepada Kontan.co.id, Senin (4/3).
PT Krakatau Steel Tbk (KRAS)
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) kucurkan anggaran US$432 juta di tahun ini. Silmy Karim, Direktur Utama Krakatau Steel, dana tersebut terinci sekitar US$293 juta untuk bisnis baja, dan US$138 juta untuk bisnis non baja.
"Untuk bisnis baja kami anggarkan 293 juta dan non baja 138 juta, jadi total US$ 432 juta," tuturnya kepada Kontan.co.id, Senin (4/2) siang.
Salah satu aksi korporasi yang masuk anggaran adalah penyelesaian pabrik hot strip mill (HSM) 2 di Cilegon, Banten. Pabrik ini rencananya akan rampung pada April mendatang.
"Rencananya akan mechanical completion di bulan April. Lalu commissioning dulu sekitar dua bulan. Full produksinya mulai abis lebaran, sekitar bulan Juni," ungkap Silmy.
Selain itu, emiten berkode saham KRAS tersebut juga berencana melancarkan proses konsolidasi internal serta restrukturisasi. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan utang KRAS sekaligus menyehatkan pasar baja.
"Sekarang sedang tahap akhir restrukturisasi. Diharapkan akhir Maret bisa selesai. Sedangkan konsolidasi itu konsolidasi internal, ini penting dalam menghadapi dinamika pasar dan industri baja," jelas Silmy yang menargetkan dalam dua tahun kepemimpinannya kondisi KRAS bisa sehat.
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI)
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk terus mematangkan rencana mengakuisisi bank kecil. Saat ini, perseroan mengaku masih menyelesaikan pembicaraan dengan sejumlah bank.
Wakil Direktur Utama BNI Herry Sidharta mengatakan perseroan akan memilih satu bank dari kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU II) untuk dijadikan bank khusus digital. Menurutnya, hal ini sudah sesuai dengan saran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar Bank BUKU II memiliki fokus pengembangan digital.
"Anggaran yang sudah direncanakan sepertinya cukup karena kami tidak ingin banyak-banyak, untuk digital saja. Sekarang masih dipilih banknya," ungkap Herry kepada Bisnis, Ahad (4/3/2019).
Dia menuturkan saat ini layaknya pemain industri perbankan umumnya, kinerja BNI masih berorientasi pada laba dan rugi. Sementara itu, untuk pasar digital saat ini lebih bermain pada capital market.
PT Matahari Store Tbk (LPPF)
Perusahaan Grup Lippo, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) membukukan penurunan laba bersih sepanjang tahun lalu di tengah ketatnya kompetisi dengan e-commerce.
Laba bersih LPPF anjlok 42 persen tahun lalu menjadi Rp1,1 triliun dari tahun 2017 sebesar Rp1,91 triliun. Mengacu data laporan keuangan, pendapatan bersih anak usaha PT Multipolar Tbk (MLPL) ini naik menjadi Rp10,25 triliun dari periode tahun sebelumnya Rp10,02 triliun.
Penjualan itu ditopang pendapatan eceran naik menjadi Rp6,66 trilium dari sebelumnya Rp6,53 triliun, dan pendapatan konsinyasi Rp3,49 triliun, naik dari sebelumnya Rp3,43 triliun, sisanya pendapatan jasa. Di sisi lain, penjualan kotor LPPF mencapai Rp17,9 triliun, meningkat 2,1 persen dari Rp17,5 triliun pada 2017.
Richard Gibson, CEO dan Presiden Direktur LPPF mengatakan pada 2018 bisnis perseroan dapat tumbuh secara keseluruhan, meskipun terdapat tantangan kompetisi yang meningkat dari peritel lain, baik offline maupun online.
"Strategi inti kami adalah untuk tetap menyediakan fashion berkualitas dengan harga terjangkau untuk target kami pada segmen menengah. Kami melihat pertumbuhan yang kuat dalam bisnis online kami di Matahari.com," kata Richard dalam siaran pers yang disampaikan di Bursa Efek Indonesia, Senin (4/3/2019).
PT Federal International Finance
Anak usaha PT Astra International Tbk (ASII) di jasa pembiayaan sepeda motor, PT Federal International Finance (FIF) menerbitkan dua seri Obligasi Berkelanjutan III Federal International Finance Tahap V Tahun 2019 sebesar Rp2,36 triliun.
Dalam publikasi efek di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), obligasi ini menjadi bagian dari penerbitan Obligasi Berkelanjutan III FIF dengan target dana yang dihimpun sebanyak Rp15 triliun yang dilakukan dalam 2 tahun penerbitan.
Obligasi Tahap V ini masing-masing adalah Seri A Rp990,85 miliar dengan kupon 8 persen per tahun, jatuh tempo pada 22 Maret 2020 atau tenor 1 tahun dan Seri B Rp1,39 triliun dengan kupon 8,8 persen dan jatuh tempo 12 Maret 2022 atau 3 tahun.
Kementerian Perdagangan
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Persemakmuran Australia secara resmi menandatangani Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) di Jakarta, Senin (4/2/2019).
Berdasarkan joint press statement kedua menteri, IA-CEPA akan menghapuskan 100 persen bea impor Australia, sedangkan 94 persen bea masuk Indonesia akan dieliminasi secara bertahap.
Sejumlah sektor industri akan memperoleh keuntungan, mulai dari otomotif, tekstil, alas kaki, pertanian, makanan dan minuman serta furniture.
"IA-CEPA memberikan kemudahan akses pasar di Australia dengan komitmen pembebasan tarif bea masuknya menjadi 0 persen untuk seluruh pos tarif komoditi, pengurangan hambatan non-tarif, fasilitasi perdagangan, serta berbagai kemudahan untuk mengakses pasar jasa dan investasi di berbagai sektor," menurut pernyataan bersama itu.
(AM)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.