FGV & Rajawali Kaji Rencana Akuisisi; Harga BWPT Anjlok ke Level Terendah
Laporan keuangan BWPT pun membukukan rugi bersih pada periode sembilan bulan 2015.
Laporan keuangan BWPT pun membukukan rugi bersih pada periode sembilan bulan 2015.
Bareksa.com - Rencana akuisisi 37 persen saham PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT) senilai US$680 juta oleh Felda Global Ventures Holdings Bhd (FGV), produsen sawit asal Malaysia kembali tertunda. FGV dan Rajawali Corpora sedang mendiskusikan ulang aksi korporasi tersebut di tengah melemahnya pasar sawit dan depresiasi mata uang ringgit.
Di saat proses itu, harga saham BWPT kembali tertekan setelah laporan keuangan pada periode sembilan bulan pertama 2015 membukukan rugi bersih.
FGV, produsen sawit terbesar ketiga dunia, kemarin (Senin, 30 November 2015), mengumumkan sedang mendiskusi kembali rencana mengakuisisi BWPT. Perjanjian yang telah diteken oleh FGV dan Rajawali senilai US$680 juta pada Juni 2015 pun disebut-sebut batal.
Promo Terbaru di Bareksa
Namun, Rajawali Corpora yang saat ini mengendalikan mayoritas saham BWPT, menegaskan bahwa rencana akuisisi tersebut tidaklah urung. Akan tetapi, kedua belah pihak tengah mencari struktur investasi yang pas. Hal itu dilakukan setelah selesainya proses uji kelayakan (due diligence) yang diperpanjang hingga kemarin.
"Kami sedang membahas struktur alternatif, mencari yang terbaik bagi kedua belah pihak, bagi kedua perusahaan, pemegang saham maupun stakeholder lainnya," ujar Managing Director Rajawali Corpora Darjoto Setyawan melalui pesan singkat kepada Bareksa.
Pada 12 Juni 2015, FGV mengumumkan akan mengakuisisi 37 persen saham BWPT dari Rajawali Corpora milik taipan Peter Sondakh, dengan uang tunai dan tukar guling saham. Sebanyak 30 persen saham BWPT akan dibayar dengan tunai, sementara sisanya 7 persen akan ditukar dengan saham FGV yang tercatat di bursa Malaysia.
Meskipun kedua pihak sudah meneken perjanjian, FGV perlu melakukan uji kelayakan terhadap target akuisisi tersebut, yang seharusnya selesai sekitar September. Akan tetapi, uji kelayakan tersebut memakan waktu yang lebih lama dari perkiraan -- salah satu penyebabnya adalah skandal di Malaysia yang menyeret Perdana Menteri Najib Razak -- dan diperpanjang hingga 30 November 2015.
Celakanya lagi, selama lima bulan masa uji kelayakan tersebut, terjadi gejolak ekonomi global sehingga mata uang dolar AS menguat terhadap mata uang Asia, termasuk ringgit Malaysia. Hal itu mendorong harga transaksi melonjak bila dikonversikan ke mata uang ringgit. Selain itu, harga minyak sawit mentah (CPO) global dalam ringgit juga tidak banyak meningkat.
Berdasarkan data transaksi spot, nilai tukar ringgit melemah 18,5 persen ke titik terendahnya pada 29 September 2015 ke level 4,457 ringgit per dolar AS dibanding 3,761 per dolar AS pada saat penandatangan MoU antara Rajawali dan FGV pada 12 Juni 2015.
Grafik: Pergerakan Nilai Tukar Ringgit Terhadap Dolar AS
Sumber: Bloomberg.com diolah Bareksa
Depresiasi terhadap ringgit tersebut tentunya juga mendorong nilai akuisisi membengkak bagi perusahaan asal Malaysia tersebut. Dengan ringgit yang melemah 18,5 persen terhadap dolar AS, nilai akuisisi pun melonjak menjadi sekitar 3 miliar ringgit dibanding sebelumnya 2,56 miliar ringgit. Perbedaan nilai transaksi sebesar 473 juta ringgit itu tentunya menjadi beban bagi FGV.
Di sisi lain, harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang merupakan sumber pendapatan utama FGV tidak banyak bergerak selama empat bulan terakhir. Per Oktober, harga CPO sebesar 2.270 ringgit per ton, sama seperti harga pada Juni. Bahkan, harga CPO sempat anjlok menjadi 1.970 ringgit per ton pada Agustus.
Pergerakan Harga Saham BWPT
Yang lebih parah, harga saham BWPT di Bursa Efek Indonesia juga terus tersungkur. Sejak perjanjian diteken pada 12 Juni, saham BWPT terus longsor. Pada pembukaan perdagangan hari ini (Selasa, 1 Desember 2015) harganya menyentuh Rp137 per lembar, anjlok 70 persen dari level Rp450 dalam lima bulan terakhir. Harga perdagangan hari ini juga merupakan titik terendah sepanjang masa BWPT tercatat di bursa.
Grafik: Pergerakan Harga Saham BWPT
Sumber: Bareksa.com
Seiring dengan merosotnya harga saham, kapitalisasi pasar BWPT juga semakin menciut. Dengan harga saham hanya Rp137, nilai market cap menjadi hanya sekitar Rp4,32 triliun, anjlok 70 persen dibandingkan dengan nilai pada saat MoU diteken sekitar Rp14 triliun. Kalau dibandingkan dengan valuasi berdasarkan harga akuisisi, harga saham sudah minus 82 persen di bawah harga penawaran akuisisi tersebut yang sekitar Rp777 per saham.
Menanggapi tertundanya rencana akuisisi BWPT oleh FGV, CIMB Research menilai kecil kemungkinannya kolaborasi antara kedua pihak dapat berlanjut--tanpa didorong kenaikan harga CPO dalam jangka pendek atau perbaikan kinerja keuangan BWPT.
"Kabar ini tidak mengejutkan bagi kami karena memang sebelumnya perseroan melaporkan bahwa Grup sedang mengkaji kembali proposal untuk transaksi ini," demikian ditulis analis CIMB Maureen Natasha dalam riset yang sudah dibagikan kepada nasabah.
Oleh sebab itu, CIMB menilai bahwa harga saham BWPT harus kembali disesuaikan sesuai fundamentalnya. CIMB pun mengubah metode penghitungan valuasi BWPT dari EV/Ha (enterprise value/hectare) menjadi P/E (price earning ratio).
Target harga valuasi BWPT pun berubah dari US$10.000 (sesuai harga rata-rata transaksi terakhir) menjadi 12 kali P/E tahun 2017. Angka P/E tersebut 25 persen lebih rendah dibanding harga PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) yang merupakan pemimpin industri. "Target harga kami sekarang mencerminkan EV/ha sebesar US$7.800, setara dengan rata-rata industri," demikian ditulis dalam laporan riset itu.
Dengan merosotnya harga saham sebesar 65 persen sejak awal tahun, BWPT sekarang bernilai 0,65 kali P/BV atau setara US$6.600 EV/Ha. "Hal ini menunjukkan pasar sudah menyesuaikan harga dengan berita itu. Dengan potensi penaikan harga CPO, kami menetapkan rekomendasi 'Tambah' karena kami menilai diskon EV/ha perseroan dibanding industri harus semakin kecil seiring dengan tren penaikan harga CPO," demikian tertulis di laporan riset CIMB.
Sepanjang sembilan bulan tahun ini, BWPT mencatatkan rugi bersih meski membukukan kenaikan penjualan dan pendapatan usaha. Hal itu terjadi seiring dengan menciutnya keuntungan selisih kurs dan melonjaknya beban keuangan.
Berdasarkan laporan keuangan periode Januari - September 2015, BWPT membukukan pendapatan Rp2,06 triliun, naik 17,7 persen dibanding Rp1,75 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Beban pokok penjualan juga meningkat 25 persen menjadi Rp1,5 triliun dari sebelumnya Rp1,2 triliun.
Beban keuangan perseroan melonjak 52,6 persen menjadi Rp336,5 miliar dibanding Rp95,44 miliar. Pada saat yang sama, keuntungan selisih kurs mata uang asing menyusut 94 persen menjadi Rp1,56 miliar dibanding sebelumnya Rp27,85 miliar.
Oleh sebab itu, perseroan pun mencatat rugi bersih yang dapat diatribusikan ke entitas induk sebesar Rp82,19 miliar, membalikkan laba bersih Rp177,38 miliar pada periode sama tahun lalu. (kd)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah | 1.379,53 | 1,02% | 5,18% | 7,30% | 8,82% | 19,45% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.089,71 | 0,44% | 5,40% | 6,62% | 7,08% | 2,64% | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.837,78 | 0,53% | 3,93% | 6,27% | 7,42% | 17,19% | 40,03% |
STAR Stable Amanah Sukuk | 1.075,16 | 0,66% | 3,97% | 6,64% | - | - | - |
Insight Renewable Energy Fund | 2.257,46 | 0,72% | 3,68% | 5,94% | 6,95% | 19,66% | 35,50% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.