Benarkah Ekspor Timah Diperketat Lantaran Nilai Ekspor Ilegalnya Rp 50 Triliun?
Sejumlah pengolah timah diduga mengakali produknya untuk memanipulasi harmonized system (HS) di Bea dan Cukai
Sejumlah pengolah timah diduga mengakali produknya untuk memanipulasi harmonized system (HS) di Bea dan Cukai
Bareksa.com – Pemerintah terus memperketat ekspor timah. Tujuannya mengurangi kerusakan lingkungan akibat penambangan bijih timah, sekaligus menekan praktik ekspor ilegal.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 33/M-Dag/ PER/5/2015 yang merupakan revisi dari peraturan menteri perdagangan No. 44/M-Dag/PER/7/2014 tentang Ketentuan Ekspor Timah. Aturan baru mulai berlaku efektif 1 Agustus tahun ini.
Sesuai aturan baru, nantinya jenis timah yang dapat diekspor hanya menjadi tiga kategori dari sebelumnya ada empat kategori. Kategori pertama, timah murni batangan dengan kandungan stannum (Sn) paling rendah 99,9 persen. Kedua, timah solder dengan kandungan Sn paling tinggi 99,7 persen untuk menyolder dan mengelas.
Promo Terbaru di Bareksa
Ketiga, barang terbuat dari timah dengan kandungan Sn paling tinggi 96 persen. Selain memperketat kategori, pemerintah tetap mengharuskan ekspor dilakukan melalui bursa berjangka nasional.
Apa latar belakang munculnya kebijakan tersebut?
Indonesia merupakan produsen timah terbesar nomor dua di dunia, dengan kontribusi sebesar 26% dari total produksi timah global. Indonesia juga tercatat sebagai eksportir (pengapal) timah terbesar di dunia, menyumbang 25-30% dari total kebutuhan global.
Ironisnya, Indonesia belum bisa sepenuhnya memengaruhi harga komoditas timah di pasar global. Para pedagang dan spekulanlah pengendali harga timah di pasar dunia.
Jangan heran bila akhirnya harga timah di pasar dunia masih relatif rendah. Saat ini harga timah di London Metal Exchange sekitar US$ 15.000 – 16.000 per ton. Padahal harga timah pernah mencapai US$ 25.000 per ton. (lihat grafis)
Grafik Harga Timah di London Metal Exchange
Sumber : London Metal Exchange
Sejatinya Indonesia sudah mewajibkan ekspor timah melalui bursa berjangka sejak 2012. Pasar berjangka timah nasional INATIN sudah terbentuk di PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI). Kewajiban produsen timah nasional mengekspor melalui bursa berjangka logikanya akan memengaruhi persediaan komoditas logam tersebut di pasar global, sekaligus mempengaruhi harganya. Secara teoritis, pasokan timah dari Tanah Air ke pasar dunia tidak akan sebanyak bila tak ada aturan ekspor melalui bursa.
Anehnya persediaan timah global tak berkurang signifikan. Data Bareksa menunjukkan pada 1 Agustus 2013, stok timah di dunia mencapai 13.845 metrik ton. Saat ini stok persedian timah global di LME sekitar 8.390 metrik ton. Artinya stok timah dunia hanya menyusut 5.445 metrik ton pasca pemberlakuan kewajiban mengekspor timah melalui bursa.
Tampaknya ada yang salah dengan kondisi pertimahan di Tanah Air. Diduga kuat masih ada timah ilegal mengalir ke luar negeri dari Indonesia. Peraturan-peraturan menteri perdagangan sebelumnya diharapkan bisa menutup semua peluang keluarnya timah putih Indonesia dalam bentuk lain dan solderan.
Beberapa perusahaan pengolah timah diduga sengaja mengubah bentuk timah putih menjadi solderan atau bentuk lainnya untuk memanipulasi harmonized system (HS) di Bea dan Cukai. Dengan cara ini, perusahaan-perusahaan tersebut tidak perlu membayar royalti kepada negara.
“Selama ini HS Code diakali seolah-olah misalnya dibuat menjadi asbak atau bentuk lain. Lalu di sana (negara tujuan) akhirnya diolah kembali," kata Menteri Perindustrian Saleh Husin, 19 Mei 2015 seperti dikutip dari Liputan6.com
Penjualan timah solderan hanya menguntungkan negara lain, dan merugikan Indonesia karena nilai tambahnya rendah. Efeknya kualitas timah asal Indonesia dianggap buruk. Selain itu, pasar internasional pun menjadi kebanjiran timah dan membuat pasokannya melimpah sehingga kenaikan harga logam ini cenderung lambat.
Sinyalemen tersebut sejalan dengan temuan Indonesian Corruption Watch (ICW). Lembaga swadaya masyarakat ini pernah mengeluarkan laporan berjudul ‘Membongkar Mafia Ekspor Timah Ilegal’ pada awal Mei 2014.
ICW menelusuri data resmi Bea dan Cukai dari 22 negara pengimpor timah, kemudian dibandingkan dengan data resmi ekspor pada Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi, dan Badan Pusat Statistik (BPS).
ICW mengelompokkan timahnya menjadi dua: timah tidak ditempa (unwrought tins, dengan nomor HS 8001) dan timah batang, profil dan kawat timah (tins bar, rod, profiles and wire, dengan nomor HS 8003). Data yang ditelusuri pada periode 2004-2013.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dan BPS, total ekspor timah tidak ditempa (HS 8001) pada 2004-2013 sebanyak 1.009.037 metrik ton. Sebaliknya berdasarkan data pembelinya (importir) timah tidak ditempa dari Indonesia sebanyak 1.240.307 metrik ton, sehingga ada selisih data ekspor sebanyak 231.270 metrik ton.
Timah batang, profil dan kawat timah ditempa sama saja kasusnya. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dan BPS, total ekspor timah batang, profil dan kawat timah pada 2004-2013 sebanyak 20.509 metrik ton.
Sementara berdasarkan data pembelinya (importir) timah batang, profil dan kawat timah dari Indonesia sebanyak 91.309 metrik ton, sehingga ada selisih data ekspor sebanyak 70.530 metrik ton.
Walhasil, secara keseluruhan ada selisih sebesar 301.800 metrik ton timah antara pencatatan oleh BPS dan Kementerian Perdagangan dengan negara pengimpor.
Berarti, volume ekspor timah ilegal per tahunnya mencapai sekitar 300.000-an metrik ton. Nilai ekspor timah ilegal ini sekitar Rp 50,121 triliun, dengan asumsi harga timah dunia US$ 22.159 per ton pada 2013. Angka itu sangat besar karena volume ekspor timah Indonesia per tahun rata-rata hanya 80.000-100.000 metrik ton.
Ekspor timah ilegal itu mengakibatkan kerugian negara akibat kehilangan pembayaran iuran royalti timah senilai US$ 130,7 juta, potensi kerugian negara dari kehilangan penerimaan pajak penghasilan badan sebesar US$ 231,9 juta.Total, potensi kerugian negara akibat ekspor timah ilegal selama 2004 – 2013 sekitar US$ 362,7 juta (Rp 4,171 triliun).
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.385,6 | 0,21% | 4,12% | 7,77% | 8,02% | 19,27% | 38,33% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,56 | 0,20% | 4,14% | 7,20% | 7,44% | 2,99% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.085,51 | 0,57% | 4,03% | 7,67% | 7,80% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.854,58 | 0,55% | 3,90% | 7,24% | 7,38% | 17,49% | 40,84% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.288,82 | 0,81% | 4,14% | 7,41% | 7,53% | 19,89% | 35,81% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.