Tingkatkan Literasi Keuanganmu! Ini Cara Kenali Ciri-ciri Reksadana Bermasalah
Investor juga jangan mudah tergoda janji-janji pemasaran menyangkut jaminan imbal hasil investasi tetap atau pasti
Investor juga jangan mudah tergoda janji-janji pemasaran menyangkut jaminan imbal hasil investasi tetap atau pasti
Bareksa.com - Tahun 2019 terbukti menjadi tahun yang berat bagi pasar saham Tanah Air. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang menjadi acuan pasar modal Indonesia, hanya bisa naik tipis sepanjang tahun lalu.
Kondisi tersebut menekan kinerja investasi berbasis saham termasuk reksadana saham dan reksadana campuran, bahkan cukup banyak yang mengalami pergerakan ekstrem.
Sepanjang 2019, kurang lebih 45 Reksadana yang didominasi jenis saham dan campuran mengalami koreksi ekstrem dengan penurunan nilai aktiva bersih (NAB) per unit di atas 50 persen. Padahal, di waktu yang sama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat tipis 1,7 persen.
Promo Terbaru di Bareksa
Bila dihitung per Juni 2019 (sebelum terkoreksi tajam), total NAB reksadana yang terpengaruh koreksi ekstrem sekitar Rp35 triliun, atau 6,8 persen total NAB industri reksadana yang sebesar Rp513 triliun.
Reksadana bermasalah ini umumnya berinvestasi pada saham-saham berkapitalisasi kecil dengan fundamental lemah, likuiditas rendah, valuasi mahal, dan pergerakan harga ekstrem. Saham-saham seperti ini dikenal sebagai “saham gorengan”.
OJK memang menerapkan regulasi dan pengawasan yang ketat atas manajer investasi (MI) dan reksadana. Namun, MI dengan mudah memenuhi ketentuan aturan tersebut dan sementara tetap melakukan investasi yang berisiko sangat tinggi.
Sumber: website OJK
Sebagai contoh, berdasarkan pasal 6 ayat 1 poin d PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2016 TENTANG REKSADANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF, sebuah reksadana konvensional/syariah dilarang memiliki efek dari sebuah emiten lebih dari 10 persen dari NAB reksadana pada setiap saat.
Maka MI bisa mematuhi aturan OJK tersebut dengan membuat reksadana yang berisikan 5-10 saham gorengan saja. Bahkan bisa saja 5-10 "saham gorengan" tersebut dari satu group terafiliasi.
Ciri-Ciri Reksadana Bermasalah
Salah satu penyebab investor terjebak dalam reksadana saham gorengan adalah karena investor mudah tertarik pada kinerja investasi jangka pendek, dalam rentang sekitar beberapa bulan sampai dengan 1 tahun.
Investor juga jangan mudah tergoda janji-janji pemasaran menyangkut jaminan imbal hasil investasi tetap atau pasti, sesuatu yang padahal sangat dilarang oleh OJK.
Agar terhindar dari jebakan reksadana saham gorengan, investor harus melakukan analisis sederhana atas saham-saham dalam portofolio reksadana, mencakup fundamental, likuiditas, valuasi, dan manajemen risiko, khususnya diversifikasi portofolio.
Mengutip Beimediahariini, ciri-ciri portofolio saham gorengan yang menjadi isi sebuah reksadana bermasalah sebenarnya cukup mudah dideteksi, antara lain.
Pertama, sebagian besar portofolio reksadana (di atas 50 persen NAB) terdiri dari saham-saham berkapitalisasi pasar kecil (yaitu di bawah Rp10 triliun menurut kriteria MSCI Indonesia Small Cap Index) dan kinerja fundamentalnya lemah.
Kedua, portofolio reksadana saham gorengan adalah kenaikan harga saham ekstrem yang tidak berdasarkan kinerja fundamental. Sebagai contoh, saham NIKL dan INAF yang diduga termasuk "saham gorengan" masing-masing sempat naik 9.800 persen dan 3.770 persen sepanjang periode 2016-2018.
Memang NIKL meraih laba pada 2016-2017, dari sebelumnya merugi pada 2014-2015. Namun perbaikan kinerja NIKL tidak cukup besar untuk menopang kenaikan harga saham yang sangat di luar akal sehat hingga mencapai 9.800 persen.
Kasus INAF justru lebih mengherankan lagi, karena harga sahamnya meningkat tajam saat perusahaan mengalami rugi Rp17,4 miliar pada 2016, dari sebelumnya laba Rp6,6 miliar pada 2015. Sepanjang 2017 dan 2018, kerugian INAF membengkak menjadi Rp46 miliar dan Rp68 miliar, namun harga saham malah tetap naik.
Satu-satunya yang memungkinkan kenaikan harga saham ekstrem tersebut adalah likuiditas saham yang sangat rendah, yang merupakan ciri ketiga saham gorengan.
Ternyata, kedua saham yang mengalami kenaikan harga paling ekstrem ini juga memiliki kapitalisasi pasar (market cap) sangat kecil di akhir 2015, yaitu Rp126 miliar untuk NIKL dan Rp521 miliar untuk INAF.
Otomatis kapitalisasi pasar efektif hanya sekitar puluhan atau ratusan miliar rupiah. Likuiditas yang sangat rendah tersebut membuat harga saham sangat mudah dinaikkan oleh “bandar” sesuai dengan keperluannya menggunakan modal yang relatif kecil.
Akhirnya, kenaikan harga saham yang tidak sesuai dengan kinerja fundamental perusahaan menyebabkan valuasi saham gorengan menjadi sangat mahal.
Valuasi yang sangat mahal terlihat dari rasio harga terhadap nilai buku (PBV) dan rasio harga terhadap laba (PER) dari saham gorengan, yang masing-masing di atas 3x dan 30x. Valuasi mahal saham gorengan tersebut jauh di atas rata-rata PBV dan PER IHSG yang masing-masing sekitar 2x dan 17x.
Meskipun sebuah reksadana melakukan diversifikasi yang sangat luas, misalnya 30 saham atau lebih di antara saham gorengan, tetap saja reksadana tersebut berisiko sangat tinggi. Hal tersebut dikarenakan saham gorengan yang memiliki fundamental lemah, valuasi mahal, dan likuiditas rendah sangat mudah mengalami koreksi harga sampai 70 persen hingga 90 persen.
Korelasi harga antara saham gorengan juga sangat tinggi, sehingga diversifikasi tidak efektif mengurangi risiko. Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa reksadana saham gorengan dengan mudah terkoreksi hingga di atas 50 persen pada 2019, setelah tahun-tahun sebelumnya stabil naik.
Meski pemerintah menerapkan regulasi dan pengawasan yang ketat atas industri finansial, tanggung jawab atas keamanan investasi tetap ada di tangan investor sendiri. Selanjutnya, investor harus memilih MI yang paling dapat dipercaya sebagai pihak yang akan mengelola kekayaannya.
Untuk itu investor ritel sudah saatnya meningkatkan literasi finansial dan mencermati fundamental, valuasi, likuiditas, dan diversifikasi dari strategi manajer investasi dan struktur portofolio reksadana yang dipilihnya.
Reksadana ialah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi, atau deposito.
Selain itu, reksadana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka
.(KA01/AM)
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,65 | 0,56% | 4,26% | 7,54% | 8,69% | 19,21% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.093,4 | 0,43% | 4,43% | 6,99% | 7,44% | 2,54% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,4 | 0,60% | 3,98% | 7,06% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,45 | 0,53% | 3,89% | 6,66% | 7,38% | 17,02% | 40,39% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.270,42 | 0,81% | 3,88% | 6,54% | 7,20% | 20,19% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.