IHSG Mulai Rebound, Apakah Waktunya Beli Reksadana Saham?
Posisi investor asing di pasar saham Indonesia relatif minim 3 tahun terakhir
Posisi investor asing di pasar saham Indonesia relatif minim 3 tahun terakhir
Bareksa.com - Pasar saham Tanah Air sepanjang April sudah mengalami penguatan. Setelah menyentuh level terendah sejak 2012 seiring dengan pandemi virus corona Covid-19, valuasi pasar saham Indonesia bisa dibilang menarik bagi investor.
Sepanjang April, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi acuan pasar modal Indonesia terpantau naik 3,9 persen, seiring dengan pasar saham global baik di Amerika Serikat, Asia dan regional ASEAN.
Meskipun demikian, kinerja IHSG bila dilihat sejak awal tahun masih negatif, dengan penurunan sebesar 26,84 persen hingga akhir April 2020.
Promo Terbaru di Bareksa
Riset Syailendra Capital menunjukkan bahwa penurunan IHSG sejak awal tahun ini tertekan sentimen laba perusahaan akan turun akibat pandemi Covid-19. Akan tetapi, penurunan IHSG jauh lebih dalam dibandingkan dengan perkiraan penurunan laba 15,35 persen yang diprediksi pelaku pasar secara year to date (YTD).
Chief Investment Officer Syailendra Capital Ahmad Solihin mengatakan bahwa penurunan ekspektasi pasar atas pertumbuhan laba perusahaan IHSG tahun 2020 (full year) terjadi secara bertahap.
"Sebab, konsensus pasar mencoba memperkirakan seberapa besar sebenarnya dampak penyebaran virus Covid-19 terhadap pertumbuhan laba tahun 2020," ujar Solihin dalam Webinar Syailendra, 14 Mei 2020.
Grafik Pegerakan IHSG dan Ekspektasi Pertumbuhan Laba YTD*
*per 6 April 2020, Sumber: Riset Syailendra
Bila dilihat secara tahun penuh (full year) pada 2020, ekspektasi pertumbuhan laba IHSG bergerak dari 14 persen pada awal tahun menjadi minus 3,35 persen pada April. Ekspektasi berubah negatif mulai bulan April.
Grafik Konsensus Perkiraan Pertumbuhan Laba IHSG Full Year
*per 6 April 2020, Sumber: Riset Syailendra
Dengan penurunan IHSG yang lebih besar daripada penurunan laba perusahaan, apakah benar hal ini bisa membuat investasi saham menjadi lebih menarik?
Untuk menjawabnya kita perlu menghitung valuasi dari IHSG. Dalam menghitung valuasi, biasanya analis pasar menggunakan price to earning ratio (PE Ratio) dan price to book value (PBV).
PE adalah rasio antara kapitalisasi pasar dengan total laba dari seluruh anggota pasar. Investor menggunakan rasio ini untuk menentukan murah atau mahal valuasi pasar berdasarkan laba bersih.
Sementara itu, berbeda dengan PE, PBV adalah rasio antara kapitalisasi pasar dengan total nilai buku (ekuitas). Rasio di bawah 1 kali artinya kapitalisasi pasar lebih murah dibandingkan dengan total ekuitas, sedangkan rasio di atas 1 kali artinya lebih mahal.
Dalam kondisi sekarang, pria yang biasa disapa Ollie ini mengatakan sebaiknya melihat valuasi menggunakan PBV saja. Adapun rasio PE sudah tidak relevan untuk menghitung valuasi karena laba (earnings) dipastikan berubah karena tertekan akibat pandemi ini.
"Kalau lihat PBV sekarang sudah murah, nilainya mendekati level pada 2008. Ini kejadian hanya sekali dalam 20 tahun terakhir, sehingga IHSG sudah murah," katanya.
Grafik PBV IHSG
Sumber: Riset Syailendra
Seperti terlihat di dalam grafik, PBV IHSG saat ini sudah berada sekitar 1,2 kali, dan berada di bawah garis minus dua standar deviasi. Artinya, sudah sangat rendah daripada rata-rata dan mendekati valuasi pada 2008, ketika terjadi krisis keuangan global.
"Indonesia masih berada pada valuasi yang menarik dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia, Filipina, Taiwan dan India," kata Ollie.
Reksadana Saham
Syailendra melihat pasar saham Indonesia masih berpotensi kembali menguat, didukung oleh sejumlah argumen. Pertama valuasi saham menarik dengan mempertimbangkan pertumbuhan jangka menengah, sebab tidak ada perubahan fundamental terhadap ekonomi Indonesia secara jangka panjang.
Kedua, kebijakan pemerintah dalam pemberian stimulus dapat membatu perekonomian dalam waktu dekat. Di saat yang bersamaan, pemerintah tetap berencana untuk memunculkan reformasi guna menarik investasi asing, seperti omnibus law pajak dan reformasi tenaga kerja.
Ketiga, posisi investor asing di pasar saham Indonesia relatif minim dalam 3 tahun terakhir dan valuasi yang sangat atraktif berpotensi mengundang investor untuk kembali berinvestasi pada pasar saham Indonesia.
Di sisi lain terdapat juga argumen yang tidak mendukung bursa saham. Pertama, pertumbuhan ekonomi dunia dan domestik akan negatif tetapi pasar belum bisa memastikannya. Risiko penybaran Covid-19 yang berkepanjangan dapat mengakibatkan dapat ekonomi yang lebih besar dari ekspektasi pasar.
Kedua, pemerintah mempunyai andil besar terkait kebijakan stimulus ekonomi dan rencana reformasi pemerintahan. Di sisi lain, stimulus ini mengakibatkan tingkat utang meningkat dan memberikan dampak beberapa periode ke depan dalam hal dana keluar sistem perbankan, meningkatnya instrumen cukai pajak. Sehingga, pemulihan beberapa sektor dapat lebih lama dari ekspektasi pasar.
Berkaitan dengan level IHSG pada tahun ini, Ollie menjelaskan bahwa indeks acuan pasar saham itu akan bergerak seiring dengan pertumbuhan laba perusahaan. Dia memperkirakan laba korporasi bisa turun dalam kisaran 10-20 persen.
Bila laba turun, harga saham ikut turun dan rasio PE juga turun. Alhasil, IHSG bisa turun lebih rendah lagi. "Harga wajar IHSG di kisaran 5.100 hingga 5.700," katanya.
IHSG menjadi acuan bagi pasar modal Indonesia, termasuk mereka yang memilih investasi saham dan reksadana saham. Maka, investor dengan tujuan jangka panjang bisa menggunakan momen ini untuk membeli reksadana saham atau reksadana indeks saham.
Akan tetapi, perlu diingat ada risiko ketidakpastian kapan pasar akan kembali bangkit. Sehingga, investasi saham atau reksadana saham disarankan untuk investor dengan profil risiko agresif yang bisa menerima risiko tinggi (risk taker) serta untuk investasi jangka panjang (di atas lima tahun).
Sebagai informasi, reksadana adalah kumpulan dana investor yang dikelola oleh manajer investasi untuk dimasukkan ke dalam aset-aset keuangan. Adapun reksadana saham mayoritas portofolionya adalah saham, yang berisiko fluktuatif dalam jangka pendek tetapi berpotensi imbal hasil tinggi dalam jangka panjang.
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.