Yield Obligasi Mulai Premium, Waktu Tepat untuk Profit Taking?
Tingginya harga minyak dunia berpotensi menjadi katalis negatif bagi yield obligasi
Tingginya harga minyak dunia berpotensi menjadi katalis negatif bagi yield obligasi
Bareksa.com – Memasuki tahun 2018, sejumlah data merefleksikan kondisi ekonomi yang semakin membaik menjadi sentimen positif bagi para pelaku pasar untuk menghadapi tahun ini.
Pasar obligasi pun semakin cemerlang, tercermin dari penurunan tingkat imbal hasil yang diharapkan (yield) di Indonesia. Sebagai informasi, yield yang semakin rendah menandakan harga obligasi semakin tinggi yang berarti adanya peningkatan permintaan.
Dalam setahun terakhir, yield obligasi di Indonesia telah turun sebesar 155 basis poin (bps) atau 1,55 persen. Yield obligasi per 15 Januari 2018 sudah turun ke 6,16 persen, dibandingkan dengan 7,71 persen pada setahun sebelumnya. Hal tersebut dapat menggambarkan pasar obligasi yang bullish dalam setahun terakhir.
Promo Terbaru di Bareksa
Grafik : Pergerakan Yield Obligasi Pemerintah Tenor 10 Tahun
Sumber : Bareksa.com
Obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun kami jadikan acuan (benchmark) mengingat obligasi jenis ini termasuk yang paling ramai dan likuid di pasar, sehingga naik turunnya obligasi jenis ini secara tidak langsung menggambarkan keadaan pasar obligasi di Indonesia.
Sepanjang tahun lalu, bond yield telah menguat 20 persen. Menurut analisis Bareksa, hal tersebut membuat pergerakan obligasi di tahun ini agak sukar untuk bertumbuh lebih baik dibanding tahun 2017. Mengapa?
Yield Obligasi AS dan Jerman Telah Melemah
Sumber : Investing.com
Dalam setahun terakhir, seperti terlihat di dalam grafik, obligasi Indonesia telah bertumbuh atau menguat 20 persen, hal itu tergambarkan dengan laju yield terus bergerak ke bawah (garis biru tua). Sedangkan arah obligasi pasar global di pasar Amerika Serikat dan Jerman sudah bergerak melemah masing-masing 2,3 persen (garis ungu muda) dan 26,8 persen (garis ungu tua) yang tergambarkan dengan laju yield terus bergerak ke atas.
Oleh karena itu, sangat wajar apabila banyak kalangan menilai level yield obligasi Indonesia saat ini sudah tergolong mahal atau premium, mengingat jarak antara yield obligasi Indonesia dan AS sudah sangat lebar, apalagi jarak antara yield obligasi Indonesia dan Jerman.
Yield Jerman kami jadikan sebagai acuan ekonomi di Uni Eropa, mengingat Jerman menjadi negara dengan penyumbang ekonomi terbesar di Uni Eropa.
Katalis Negatif
Seperti yang kita ketahui, mengawali tahun 2018, harga minyak mentah naik ke level pembukaan Januari tertinggi sejak 2014. Peningkatan harga baik untuk minyak jenis Brent dan WTI terdorong oleh pemangkasan produksi oleh negara eksportir minyak serta permintaan yang tinggi. (Baca Juga : Membuka Tahun 2018, Harga Minyak Tembus US$60 per Barel)
Gambar : Pertumbuhan Harga Minyak Dunia (US$/Barrel)
Sumber : Marketwatch.com
Singkatnya, cepat atau lambat pemerintah berpotensi akan menaikkan harga BBM, khususnya jenis yang tidak disubsidi yakni Pertamax dan Pertalite. Hal tersebut juga akan berdampak pada adanya kemungkinan lonjakan inflasi di tahun ini, setelah pada tahun lalu pemerintah berhasil memenuhi target inflasi tahunan di bawah 4 persen. (Baca Juga : Harga Minyak Terus Naik Tembus US$70 per Barel, Ini Dampaknya ke APBN 2018)
Tentu semakin besar inflasi menandakan risiko berinvestasi di negara tertentu juga semakin besar, sehingga membuat tingkat imbal hasil yang diharapkan (yield) semakin besar atau melemah, misal dari 6 persen menjadi 6,5 persen.
Bisakah yield obligasi Indonesia menjadi kurang dari 6 persen?
Menurut analisa kami, kemungkinan itu tetap ada di tengah keterbatasan penguatan seperti yang telah kami jabarkan di atas. Selain kebijakan fiskal yang semakin disiplin, postur APBN 2018 yang semakin ramping, dan current account deficit (CAD) yang semakin terjaga diharapkan mampu menopang rasa optimisme para pelaku pasar. (Baca juga 2018, Tahun Penuh Tantangan Untuk Pasar Obligasi)
Sementara itu, pelaku pasar juga masih menunggu dua lembaga rating lainnya yakni Moody's dan S&P untuk memberikan upgrade pada peringkat utang Indonesia. Jika dugaan ini benar, maka bisa diprediksi sentimen ini dapat memperkuat kepercayaan investor baik lokal maupun asing untuk masuk ke pasar obligasi Indonesia. (hm)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksa dana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksa dana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.