Antisipasi Dampak Krisis Turki dan Pelemahan Rupiah, Ini Rekomendasi Bahana
Secara fundamental, ekonomi Turki kurang sehat dengan memburuknya twin deficit yang ditaksir 9 persen dari PDB
Secara fundamental, ekonomi Turki kurang sehat dengan memburuknya twin deficit yang ditaksir 9 persen dari PDB
Bareksa.com - Pasar finansial negara berkembang, termasuk Indonesia tertekan sejak awal pekan ini. Budi Hikmat, Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management mengatakan ada dua komponen utama menjadi penyebab tertekannya kondisi pasar di Indonesia.
Pertama, menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mayoritas mata uang negara berkembang. Kedua, memburuknya sentimen terhadap negara berkembang akibat krisis mata uang Turki, Lira yang terjadi pada beberapa hari ini.
Sejak awal tahun (year to date/YtD), rupiah telah melemah 7,59 persen terhadap mata uang dolar AS. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 1,73 persen, dan ditutup pada level 5.769,88, Selasa (14 Agustus 2018).
Promo Terbaru di Bareksa
"Sementara, tingkat imbal hasil obligasi pemerintah (SUN) untuk seri acuan 10 tahun telah menembus level psikologis 8 persen, yang mengindikasikan harga tertekan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu, 15 Agustus 2018.
Budi mengatakan, dampak krisis mata uang Turki terhadap perekonomian Indonesia relatif terbatas. Sebab sejauh ini perbankan Indonesia tak memiliki eksposur terhadap surat berharga Turki. Akan tetapi, memburuknya ekonomi Turki akibat twin deficit (fiskal dan neraca berjalan) telah menyeret pasar modal Indonesia.
“Secara fundamental, ekonomi Indonesia jauh lebih prudent (hati-hati) dibanding negara lain. Kita jauh dari overheated situation, di mana pertumbuhan kredit lebih lambat tingkat inflasi kuartal 2 masih terjaga,” ungkap Budi.
Sebagai perbandingan, kondisi ekonomi Indonesia masih jauh dari situasi overheated dibandingkan Turki. Secara fundamental, pengelolaan ekonomi Turki saat ini kurang sehat dan memburuknya twin deficit yang ditaksir sekitar 9 persen dari GDP, dan berdasarkan data Bloomberg, proyeksi defisit transaksi berjalan (CAD) berkisar 6,4 persen pada akhir tahun.
Di samping itu, kondisi politik dengan Presiden Amerika Serikat semakin memperburuk situasi. Kurs mata uang lira terhadap dolar AS telah anjlok 70,99 persen, yield obligasi negara Turki meningkat hingga 22 persen sepanjang tahun berjalan.
Sementara itu, fundamental ekonomi Indonesia masih cukup baik, dengan defisit neraca berjalan (CAD) Indonesia pada kuartal II 2018 sebesar 3 persen dari Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB).
Tingkat inflasi Indonesia pun jauh lebih rendah, yakni 3,2 persen, dibandingkan tingkat inflasi Turki yang 15,9 persen. Tingkat pengangguran Indonesia 5,1 persen, sementara Turki 10,5 persen.
Akan tetapi, Budi mengingatkan agar pemerintah Indonesia harus berhati-hati dengan defisit transaksi berjalan yang telah menembus angka 3 persen terhadap PDB.
“Ini menjadi alarm untuk Indonesia, agar kembali mengaktifkan mesin pendulang valas. Jika tidak, CAD akan terus tertekan,” papar Budi.
Saat ini, lanjut Budi, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas seperti batu bara dan migas. Sementara ekspor non migas turun di tengah kenaikan harga impor bahan baku dan barang modal.
Adapun, terjadi defisit pada sektor neraca migas akibat impor migas seiring kenaikan harga minyak global dan permintaan minyak lebih tinggi selama Lebaran dan liburan sekolah.
Untuk menekan defisit transaksi berjalan, pemerintah Indonesia pekan ini mengumumkan sejumlah langkah untuk mengendalikan impor, baik pada barang konsumsi, bahan baku dan barang modal. Bahana TCW Investment Management mengapresiasi positif langkah yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki neraca pembayaran.
“Pemerintah harus mempercepat upaya untuk memanfaatkan penguatan dolar AS dan kenaikan harga energi minyak baik melalui kebijakan substitusi energi (B20 biodiesel) dan memacu pariwisata dan manufaktur yang bisa menghasilkan devisa bagi negara,” papar Budi.
Terkait Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang berlangsung pada hari ini, Budi menyarankan agar bank sentral tak perlu menaikkan suku bunga BI-7 Days Reverse Repo Rate kali ini.
“Real interest rate sudah positif, sementara pertumbuhan kredit belum sesuai harapan. Pelemahan rupiah lebih disebabkan impor minyak yang mencapai 18,6 persen yoy sejak Januari hingga Mei tahun ini,” jelasnya.
(AM)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,65 | 0,56% | 4,26% | 7,54% | 8,69% | 19,21% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.093,4 | 0,43% | 4,43% | 6,99% | 7,44% | 2,54% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,4 | 0,60% | 3,98% | 7,06% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,45 | 0,53% | 3,89% | 6,66% | 7,38% | 17,02% | 40,39% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.270,42 | 0,81% | 3,88% | 6,54% | 7,20% | 20,19% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.