Bareksa.com - Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USDIDR) terus menunjukkan pelemahan dari awal tahun 2018. Hal ini terjadi akibat penguatan mata uang AS tersebut seiring dengan sentimen ekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS atau Fed Fund Rate (FFR).
Nilai tukar rupiah berada pada level Rp13.514 per dolar AS pada awal tahun 2018 dan pada awal bulan April berada pada level Rp13.975 per dolar AS. Hal ini lebih disebabkan karena penguatan US Dollar index (DXY) yang mengukur kekuatan dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia, seperti Euro, Yen, Pound Sterling, dolar Kanada, Swiss franc, dan Krona Swedia.
Sementara itu, penguatan nilai DXY sendiri lebih disebabkan komentar pejabat bank sentral AS atau The Fed pada pertemuan beberapa waktu lalu yang bernada hawkish. Sikap tersebut menandakan kemungkinan kenaikan FFR yang lebih cepat, bahkan lebih banyak dari yang diperkirakan.
Ekspektasi kenaikan FFR yang bisa sampai empat kali tahun ini didukung juga dengan pergerakan inflasi AS yang terus membaik, yang pada bulan Maret lalu menyentuh 2,4 persen YoY. Selain itu, tingkat pengangguran AS juga masih berada di level rendah, yaitu 4,1 persen. Semua hal ini, tentunya akan menjadi pertanda bahwa ekonomi di AS sudah mulai membaik dan hal ini akan meningkatkan optimisme dari pejabat The Fed untuk kenaikan suku bunga.
Dari dalam negeri sendiri, Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur beberapa waktu lalu memutuskan untuk menahan kebijakan suku bunganya, yakni BI 7 Days Repo Rate yang dipertahankan di level 4,25 persen. Hal ini akan semakin membuat sentimen pelaku pasar terlebih investor asing untuk lebih memilih negara yang memberi tingkat bunga yang lebih tinggi.
Sebagai informasi, pada perdagangan di pasar saham kemarin, investor asing mencatatkan jual bersih senilai Rp1,02 triliun.
Diperkirakan jika nilai tukar USDIDR terus mengalami depresiasi akan menjadi sentimen negatif bagi beberapa industri seperti tekstil, farmasi, dan besi baja yang sebagian besar bahan bakunya bergantung pada impor, karena biaya impor mereka akan meningkat. Adapun rugi selisih kurs juga akan dialami oleh perusahaan-perusahaan yang harus membayar utangnya dalam dolar sementara pendapatannya dalam bentuk rupiah. Hal ini akan menjadi sentimen negatif bagi kinerja perusahaan dengan kategori tersebut. (hm)