Plt Kepala BI Fintech Office, Junanto : Industri Fintech Berpotensi Tumbuh Pesat
Nilai transaksi industri fintech Indonesia tahun ini diperkirakan tumbuh 27,5 persen menjadi US$ 18,5 miliar
Nilai transaksi industri fintech Indonesia tahun ini diperkirakan tumbuh 27,5 persen menjadi US$ 18,5 miliar
Bareksa.com – Nilai transaksi industri teknologi keuangan (financial technology/fintech) di Indonesia diperkirakan bisa tumbuh 27,5 persen tahun ini menjadi US$ 18,5 miliar (sekitar Rp 241 triliun) dibandingkan tahun lalu yang sebesar US$ 14,5 miliar (sekitar Rp 189 triliun). Bahkan empat tahun lagi, nilai transaksi fintech di Tanah Air diperkirakan bisa menyentuh US$ 37 miliar (sekitar Rp 482 triliun).
Besarnya potensi nilai transaksi di sektor ini telah menarik minat para investor. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, Otoritas Jasa Keuangan hingga Bank Indonesia berkolaborasi untuk mendorong pertumbuhan dan mengawasi industri ini, serta memitigasi secara dini resikonya.
Apa saja yang telah dan akan dilakukan oleh regulator untuk merespons pesatnya pertumbuhan industri ini di masa mendatang? Dalam wawancara tertulis dengan Abdul Malik dari Bareksa pada Sabtu, 10 Juni akhir pekan lalu, Pelaksana Tugas Kepala BI Fintech Office, Junanto Herdiawan, memaparkan kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan pemerintah guna mendorong daya saing industri fintech di Indonesia. Berikut kutipan wawancaranya;
Promo Terbaru di Bareksa
Bagaimana tren perkembangan industri fintech di Indonesia tahun ini dan tahun-tahun mendatang setelah pada 2016 diperkirakan membukukan nilai transaksi US$ 14,5 miliar?
Kami melihat bahwa perkembangan teknologi finansial di Indonesia memiliki potensi untuk dapat tumbuh lebih baik lagi ke depan. Kalau kita lihat ke belakang, transaksi fintech di Indonesia tumbuhnya signifikan. Dari di bawah US$ 10 miliar beberapa tahun lalu, menjadi seperti saat ini. Menurut data Statista, pada 2017 ini transaksi fintech dapat mencapai US$ 18,5 miliar. Bahkan pada 2021 mendatang, nilainya diperkirakan mencapai US$ 37 miliar.
Ini sebuah potensi besar yang tentunya diharapkan dapat berdampak pada perekonomian nasional. Meski jumlah transaksi tersebut saat ini relatif kecil dibandingkan dengan nilai transaksi perekonomian secara keseluruhan, pertumbuhan yang signifikan dalam lima tahun terakhir perlu menjadi perhatian. Fintech ini adalah soal inovasi masa depan yang pertumbuhannya bisa jadi eksponensial.
Karakter industri fintech di Indonesia seperti apa jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga?
Satu hal menarik dari industri fintech di tanah air adalah inovasi yang mencoba menjawab permasalahan-permasalahan lokal. Kita lihat sendiri bahwa jenis-jenis fintech seperti itu yang lebih cepat besar. Masalah lokal seperti apa? Soal kemudahan membayar, melayani unbanked population atau mendorong inklusi finansial, mengatasi masalah ketahanan pangan, hingga berbagai layanan lain yang menawarkan efisiensi. Teknologinya mungkin masih sederhana, tapi ide dan model bisnis yang ditawarkan baru dan menjawab masalah lokal. Misalnya fintech yang memberi pinjaman pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) atau pedagang yang tidak terlayani bank, atau jenis pembayaran untuk membeli barang, makanan, jasa, cukup hanya melalui smartphone. Hal ini berbeda dengan karakter fintech di negara maju yang umumnya lebih pada inovasi teknologi, seperti artificial intelligence, robo-advisor. Meski demikian, dalam waktu dekat mungkin berbagai teknologi itu akan mulai menjamur di Indonesia.
Apa saja daya saing atau kelemahan industri fintech di Indonesia?
Ada beberapa hal yang menjadi faktor pendorong atau daya saing fintech di Indonesia. Kita melihat saat ini sekitar 42 persen penduduk Indonesia adalah generasi muda dan netizen yang sangat melek pada penggunaan digital. Selain itu jumlah penduduk yang belum terlayani oleh jasa keuangan (unbanked population) juga masih besar. Ini merupakan peluang bagi tumbuhnya fintech. Jumlah bank per 100 ribu penduduk di Indonesia saat ini juga masih rendah sehingga fintech memiliki ruang besar untuk bertumbuh. Di sisi pembangunan ekonomi, kita juga menghadapi credit gap to GDP yang masih tinggi. Hal ini berarti kita masih membutuhkan pembiayaan besar untuk mendorong ekonomi. Dari sisi pengguna, jumlah pengguna smartphone di Indonesia juga tinggi, mencapai lebih dari 300 juta pengguna. Dari berbagai kondisi tersebut, fintech memiliki potensi besar untuk tumbuh.
Namun di sisi lain, kita juga menghadapi tantangan. Pertama, infrastruktur. Kita masih memerlukan optimalisasi ketersediaan infrastruktur di rentang negara yang besar ini. Hal ini sudah menjadi perhatian pemerintah, dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Ekonomi 14 serta Peta Jalan e-Dagang, pemerintah menunjukkan keseriusan untuk mendorong ekonomi digital. Pemerintah juga punya program 1000 startups pada 2020. Ini bagus sekali dalam mendukung tumbuhnya fintech. Kedua, tentunya tantangan regulasi. Luasnya area fintech memiliki wilayah-wilayah yang membutuhkan koordinasi antar instansi dalam meregulasinya. Ada Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia yang perlu terus menerus melakukan koordinasi dalam menelurkan kebijakan terkait fintech.
Seperti apa peluang-peluang yang ada di industri fintech di Indonesia? Model bisnis seperti apa yang bisa dikembangkan oleh calon investor?
Kami melihat peluang fintech untuk berkembang di Indonesia cukup besar. Saat ini Bank Indonesia mengadopsi konsep dari Financial Stability Board (FSB) mengenai kategorisasi fintech. Ada yang bergerak di bidang pinjam meminjam dana (deposit, lending, and capital raising), sistem pembayaran, kliring, dan penyelesaian akhir (payment clearing and settlement), pengumpulan data pasar (market provisioning), maupun pengelolaan investasi dan risiko (risk and investment management). Dari keempat kategorisasi tersebut, sebagian besar fintech di Indonesia bergerak di bidang pembayaran dan pinjam meminjam (seperti peer to peer lending/p2p lending). Kita juga melihat model bisnis market provisioning mulai tumbuh signifikan. Hal ini bisa menjadi perhatian dari para calon investor.
Seperti apa minat investor untuk berinvestasi di sektor ini?
Tumbuh signifikannya fintech di Indonesia dengan sendirinya meningkatkan minat investor untuk menanamkan investasinya. Secara global kita melihat bahwa investasi di sektor fintech tumbuh secara signifikan. Sebuah riset yang dilakukan oleh Accenture mengungkapkan investasi global dalam pasar fintech selama lima tahun naik hingga tiga kali lipat dari US$ 928 juta menjadi US$ 2,97 miliar, dan diprediksi terus meningkat pada 2018 berkisar pada US$ 6 - 8 miliar. Sedangkan studi yang dilakukan di wilayah Asia Pasifik, nilai investasi di dalam bidang fintech di 2015 sudah mencapai US$ 3,5 miliar atau hampir empat kali lebih besar dari investasi sepanjang 2014 yang mencapai US$ 880 juta. Angka tersebut mengindikasikan tingginya minat investor untuk berinvestasi di sektor fintech.
Menurut Bapak nantinya ke mana arah perkembangan fintech di Indonesia? Apa saja yang akan dilakukan oleh regulator dalam hal ini BI maupun OJK untuk memitigasi risiko transaksi digital maupun mendorong pertumbuhan industri ini?
Fintech akan terus berkembang pesat di Indonesia. Ini seperti saat kedatangan internet dan smartphone, yang kedatangannya tak terhindarkan. Untuk ini, regulator punya peran penting. Sebagai bagian dari ekosistem fintech, regulator perlu menyeimbangkan antara inovasi di satu sisi dengan faktor risiko dan perlindungan konsumen di sisi lain. Tentu kita tidak ingin kalau fintech tumbuh besar tapi tidak terarah dan merugikan konsumen. Untuk itu, beberapa peraturan telah dikeluarkan oleh BI. Tahun 2016 lalu, BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Dalam ketentuan tersebut, fintech yang bergerak sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran maupun penunjangnya, seperti memiliki dompet elektronik, switching, payment gateway, harus mendapatkan izin dari BI. Ini penting karena dengan demikian, kami dapat memantau operasi dari penyelenggara fintech tersebut. Kita juga melihat OJK telah mengeluarkan Peraturan OJK tentang pinjam meminjam berbasis digital yang lebih ditujukan pada penyelenggara p2p lending.
Apa saja skema insentif yang disiapkan untuk mendorong industri ini dalam rangka turut menopang pertumbuhan ekonomi digital?
Kita menyadari bahwa inovasi di bidang fintech ini sangat dinamis dan tumbuh pesat. Untuk menampung dan tetap mendorong inovasi, dan tetap menjaga risiko serta perlindungan konsumen, dalam waktu dekat BI akan mengimplementasikan ketentuan mengenai regulatory sandbox. Ini adalah semacam insentif untuk mendorong inovasi fintech tanpa harus khawatir terlebih dahulu pada ketentuan yang ketat. Regulatory sandbox adalah semacam ruang uji coba bagi pelaku fintech untuk mencoba terlebih dahulu inovasi mereka, dengan pengawasan BI, sebelum mendapatkan lisensi atau izin. Umumnya yang masuk ke regulatory sandbox adalah fintech yang inovatif dan belum sepenuhnya masuk ke wilayah perizinan.
Sejak BI Fintech Office didirikan pada November 2016, apakah sudah dilakukan pemetaan mengenai potensi, kekuatan, dan kelemahan dari industri fintech di Indonesia? Seperti apa target jangka panjang (peta jalan) dari pengembangan industri ini di masa depan?
Sejak didirikan pada November 2016, salah satu fungsi BI Fintech Office adalah sebagai fasilitator dan katalisator bagi berkembangnya fintech. Salah satu yang kami lakukan adalah melakukan pemetaan pada seluruh pelaku fintech. Setiap pekannya, pada Rabu dan Kamis, BI Fintech Office membuka diri pada pelaku fintech untuk melakukan konsultasi. Dari pertemuan tersebut, kami membuat semacam laporan dan mendata berbagai fintech tersebut. Kami juga memberikan advise pada beberapa fintech yang misalnya sudah harus masuk wilayah perizinan. Untuk yang inovatif dan belum berizin, kami catat sebagai fintech yang memiliki potensi masuk ke dalam regulatory sandbox. Dari catatan tersebut juga kami akan membuat kajian terkait potensi, kekuatan, dan kelemahan industri fintech di Indonesia.
Dalam jangka menengah panjang, tentunya BI berharap bahwa fintech dapat tumbuh sehat, memberi manfaat pada perekonomian, dengan tetap memerhatikan kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Peta jalan tentunya kami akan selaraskan dengan peta jalan ekonomi digital, karena fintech adalah sebuah ekosistem yang luas, mencakup pelaku, investor, teknologi, startups, lembaga keuangan, inkubator/akselerator, dan regulator (*)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.385,6 | 0,21% | 4,12% | 7,77% | 8,02% | 19,27% | 38,33% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,56 | 0,20% | 4,14% | 7,20% | 7,44% | 2,99% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.085,51 | 0,57% | 4,03% | 7,67% | 7,80% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.854,58 | 0,55% | 3,90% | 7,24% | 7,38% | 17,49% | 40,84% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.288,82 | 0,81% | 4,14% | 7,41% | 7,53% | 19,89% | 35,81% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.