Versi Menkeu Capaian Pajak Bersejarah Vs Ekonom Lihat APBN Jebol. Mana Benar?
Defisit anggaran jauh lebih besar dalam 10 tahun terakhir dan hampir menyentuh batas yang diperbolehkan UU
Defisit anggaran jauh lebih besar dalam 10 tahun terakhir dan hampir menyentuh batas yang diperbolehkan UU
Bareksa.com – Pernyataan kontroversial dari Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menuai protes dari beberapa ekonom. Analis Bareksa mencoba menelusuri berdasarkan data historis APBN-P Kementerian Keuangan.
Kepada awak media, Bambang menyebut capaian penerimaan pajak per 25 Desember 2015 yang telah mencapai lebih dari Rp1000 triliun merupakan prestasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. "Ini pertama bagi Indonesia, penerimaan pajak mampu tembus Rp 1.000 triliun."
Data Kementerian Keuangan menunjukan memang penerimaan pajak di luar bea cukai belum pernah menembus angka Rp1000 triliun. Per akhir 2014, realisasinya hanya mencapai Rp996,45 triliun. Tetapi dalam 10 tahun terakhir pemerintah tidak pernah memperoleh capaian realisasi pajak di bawah 90 persen dari target.
Promo Terbaru di Bareksa
Grafik: Target Penerimaan Pajak Di luar Bea Cukai & Realisasi Periode 2005 - 2015
Sumber: Nota Keuangan APBN-P Kementerian Keuangan
* Realisasi 2015 didasarkan pada pernyataan Menteri Keuangan
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) melihat angka ini jauh dibawah target Pemerintah, bahkan lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan alamiah pendapatan pajak 15 persen per tahun. "Itu memang tembus Rp1.000 triliun, tetapi targetnya kan Rp1.306 triliun. Artinya baru mencapai 77 persen dari target APBN," katanya saat dihubungi wartawan Bareksa.
Digenjot secara maksimal pun dalam beberapa hari kedepan ini pencapaian pajak hingga akhir tahun diproyeksi Prastowo hanya bisa mencapai 85 persen dari target atau berkisar Rp1.100 triliun.
Rendahnya realisasi pajak tak pelak disebabkan tingginya target yang dibuat Pemerintah pada tahun ini. Dibanding dengan realisasi tahun sebelumnya, target penerimaan pajak di luar bea cukai dalam APBN-P 2015 melonjak 31 persen. Padahal dari tahun 2005 rata-rata target pertumbuhan pajak dibanding realisasi tahun sebelumnya hanya berkisar 20 persen.
Yang lebih mencengangkan ternyata realisasi tahun ini yang disampaikan oleh Bambang hanya tumbuh kurang dari satu persen dibandingkan dengan tahun 2014 lalu. Jika memakai angka optimis proyeksi prastowo, Rp1.100 triliun, realisasi tahun ini pun hanya tumbuh 10 persen, masih jauh di atas target Pemerintah.
Grafik: Pertumbuhan Target Penerimaan & Realisasi Pajak Di Luar Bea Cukai
Sumber: Kementrian Keuangan, diolah Bareksa.com
Tingginya target Pemerintah juga terlihat dalam RAPBN 2016. Penerimaan pajak di luar bea cukai ditargetkan naik menjadi Rp1.326 triliun. Jika dibandingkan dengan angka Rp1.000 triliun maka target 2016 ini tumbuh sekitar 32 persen -- pertumbuhan yang sama dengan yang ditargetkan pada tahun ini.
Hal ini juga disadari oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution. Beliau mengatakan Pemerintah perlu menghitung ulang target penerimaan pajak 2016. "Kita tidak bisa selalu bilang bisa tapi hasilnya lain."
((pba))
Jika Pemerintah tidak merubah target tersebut dikhawatirkan defisit anggaran akan semakin melebar. Sebelumnya pemerintah telah menaikan batas atas toleransi defisit anggaran menjadi 2,7 persen dari 2,5 persen. Menurut UU No. 17/2003 defisit anggaran tidak boleh melebihi 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). (Baca juga : Tambal Defisit Anggaran, Negara Harus Utang Bilateral Lagi?)
Hingga Oktober 2015 saja, defisit anggaran telah mencapai Rp284 triliun akibat rendahnya penerimaan pajak saat realisasi belanja subsidi BBM dan transfer ke daerah serta dana desa yang tinggi. Memakai pertumbuhan ekonomi kuartal III-2015 yang tumbuh 4,73 persen maka defisit terhadap anggaran tersebut mencapai 2,6 persen dari PDB, angka tertinggi sejak tahun 2005.
Grafik: Defisit APBN & Persentase Terhadap PDB Periode 2005 - Okt 2015
Sumber: Bareksa.com
Bengkaknya defisit akan menyulitkan Pemerintah mencari pendanaan yang tercermin dari tingginya yield obligasi pemerintah jangka waktu 10 tahun. Berdasarkan data Bareksa, yield obligasi kembali meningkat menjadi 8,71 persen dan berpotensi kembali menyentuh angka 9 persen.
Artinya kita akan kembali bergerak seperti pada masa sebelum tahun 2011 yakni saat suku bunga tinggi. Tentunya ini akan menyulitkan Indonesia yang tengah agresif dalam mengejar pembangunan infrastruktur.
Grafik: Yield Obligasi Pemerintah Jangka Waktu 10 Tahun
Sumber: Bareksa.com
Guna menambal defisit, Pemerintah akhirnya harus menekan BUMN. Menurut Tony Prasetyantoko, ekonom Universitas Atmajaya, para perusahaan pelat merah ini harus membayar pajak lebih banyak lewat berbagai skema yang dikeluarkan pemerintah seperti revaluasi aset. "Yang paling berimpak tentunya BUMN bidang perbankan," katanya kepada Bareksa.
Untungnya perbankan di Indonesia, terutama BUMN masih kuat menanggung beban pajak yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah. Tetapi jika Pemerintah juga memaksa Bank BUMN untuk memberikan setoran deviden lebih tinggi tentunya akan menghambat langkah ekspansi. (np)
*Tambahan laporan dari Alfin Tofler
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah | 1.380,2 | 1,09% | 5,00% | 7,35% | 8,50% | 19,34% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.090,33 | 0,49% | 5,21% | 6,68% | 7,14% | 2,71% | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.838,73 | 0,53% | 3,93% | 6,33% | 7,43% | 17,20% | 39,76% |
STAR Stable Amanah Sukuk | 1.075,71 | 0,66% | 3,97% | 6,69% | - | - | - |
Insight Renewable Energy Fund | 2.259,31 | 0,74% | 3,72% | 6,02% | 7,00% | 19,69% | 35,52% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.