Darmin Nasution: Atasi Gejolak Rupiah, Jangan Takut Berpredikat "Ganggu Pasar"
Intervensi menyeluruh guna meredam gejolak nilai tukar rupiah perlu dilakukan, termasuk dengan membeli surat berharga.
Intervensi menyeluruh guna meredam gejolak nilai tukar rupiah perlu dilakukan, termasuk dengan membeli surat berharga.
Bareksa.com – Pemerintah harus segera melakukan intervensi untuk menahan gejolak pelemahan Rupiah yang hingga siang ini masih berkisar di rentang Rp13.180-13.300 per dolar Amerika, ungkap Darmin Nasotion, mantan Gubernur Bank Indonesia periode September 2010 sampai Mei 2013..
Dalam wawancara eksklusif dengan Bareksa.com akhir minggu lalu, Darmin menyebutkan bahwa pelemahan rupiah tidak bisa diatasi hanya dengan satu kebijakan tapi juga harus di support dengan kebijakan yang lain. Rupiah pagi ini diperdagangkan di 13.232 terhadap dolar, atau turun sekitar 0,4 persen.
“Pemerintah sekarang kelihatannya tidak konvergen, tidak fokus untuk meyakinan pasar bahwa ini akan berjalan lebih baik,” katanya.
Promo Terbaru di Bareksa
Pelemahan nilai tukar rupiah sudah terjadi sejak akhir tahun 2011 akibat mulai defisitnya neraca berjalan di Indonesia. Artinya sudah dari era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu tidak diatasi dengan baik.
Pemangkasan secara signifikan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) baru terjadi ketika Presiden Joko Widodo mulai menjabat. Tetapi efeknya tidak begitu terasa karena harga minyak mentah dunia turun, yang menyebabkan penerimaan negara dari ekspor minyak mentah pun turun.
Sayangnya ketika Jokowi telah memperoleh momentum perubahan aturan akan subsidi, tidak diikuti dengan kebijakan lain untuk mendukung perbaikan neraca berjalan.
Ada dua perbaikan mendasar yang menurut Darmin perlu dilakukan pemerintah. Pertama, mengeluarkan kebijakan yang mendukung industrialisasi melalui hilirisasi. Ekspor kita mengandalkan pada komoditas sementara harga komoditas selalu ada siklusnya. Perkebunan di Indonesia menghasilkan kelapa sawit dengan jumlah terbesar di dunia, sementara untuk karet alam, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand.
Indeks Komoditas Bloomberg kemarin menyentuh level 97,58, atau terendah selama 12 tahun terakhir, disebabkan oleh naiknya daya tarik investasi dalam instrumen keuangan berdenominasi dolar AS di tengah tanda-tanda perbaikan ekonomi negeri Paman Sam. Sementara itu banyak komoditas dunia yang sekarang ini mengalami kelebihan pasokan, sehingga harga tertekan.
Industri manufaktur yang ada di Indonesia saat ini semakin mengandalkan pasar dalam negeri bukan ekspor, karena bahan bakunya yang masih impor membuat biaya produksi mahal sehingga kalah bersaing di pasar ekspor.
Hal kedua yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengurangi ketergantungan terhadap modal asing melalui usaha-usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat di perbankan.
“Kredit terhadap GDP di Indonesia hanya 30 persen. Bandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang sudah lebih dari 100 persen,” tambah Darmin.
Ini menegaskan bahwa ekonomi Indonesia tidak cukup menggunakan dana perbankan, yang artinya banyak pinjaman dari asing . Repotnya jika dana asing terlalu banyak, sedikit saja goyangan dari eksternal dengan mudah dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi kita.
Grafik Kepemilikan Investor Asing Di Pasar Saham & Obligasi Pemerintah (Periode Desember 2013-Februari 2015)
Sumber: DJPU, KSEI
Solusi Jangka Pendek
Sedangkan untuk jangka pendek, pemerintah harus berani melakukan intervensi.
“Jangan takut dibilang mengganggu mekanisme pasar. Selama fungsinya meredam gejolak pasar. Jangan menyalahkan penguatan dolar, lalu kita tidak melakukan apa-apa,” tegas Darmin.
Pasar selalu terganggu sendiri oleh banyaknya persoalan. Mekanisme pasar bukanlah hal yang tabu sehingga tidak boleh dilakukan intervensi.
Memang pelemahan nilai tukar yang disebabkan oleh faktor eksternal tidak bisa dihilangkan. “Ya, intervensi pasti ada batas kemampuannya”.
Itu sebabnya intervensi harus dilakukan terukur dan tidak hanya dilakukan di pasar valas tetapi juga dikombinasikan dengan pembelian surat berharga.
Bahkan di negara-negara Eropa dan Jepang, mereka melakukan intervensi ke pasar saham mengingat tata kelola perusahaan di sana juga sudah baik.
Di Indonesia masih banyak saham abal-abal, dan pemerintah juga jadi ekstra hati-hati melakukan penyelamatan di pasar keuangan karena takut disebut membela kepentingan tertentu.
Terlebih sejak kasus Bank Century yang belum terselesaikan membuat pemerintah juga belum selesai membuat aturan jelas mengenai mekanisme penyelamatan.
Selain kebijakan moneter, dalam mengatasi pelemahan rupiah dalam jangka pendek pemerintah juga harus memberikan kepercayaan investor dengan proyeksi-proyeksi yang masuk akal.
Kemarin dalam APBN-P 2015, pemerintah menargetkan pendapatan pajak tumbuh 8 persen menjadi Rp1.493 triliun yang dinilai terlalu tinggi. “Orang gak percaya ini tercapai nanti. Kalau tidak ada kepercayaan bagaimana penilaiannya terhadap kita?”. (Baca juga: Darmin Nasution: Target Pendapatan Pajak APBNP Terlalu Tinggi)
Pemerintah harus memberikan target-target yang masuk akal dan benar dijalankan. “Harus konsisten, semua harus dikerjakan. Jangan saat tidak bergejolak, kita lupa”. (qs)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,65 | 0,56% | 4,26% | 7,54% | 8,69% | 19,21% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.093,4 | 0,43% | 4,43% | 6,99% | 7,44% | 2,54% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,4 | 0,60% | 3,98% | 7,06% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,45 | 0,53% | 3,89% | 6,66% | 7,38% | 17,02% | 40,39% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.270,42 | 0,81% | 3,88% | 6,54% | 7,20% | 20,19% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.