Ulasan Pasar Obligasi Terbaru versi Manulife Aset Manajemen Indonesia
Tingkat risiko portofolio sangat penting untuk dijaga oleh investor
Tingkat risiko portofolio sangat penting untuk dijaga oleh investor
Bareksa.com - Memasuki paruh kedua tahun ini, kita melihat ada beberapa pandangan awal mengenai kondisi makro global 2024 ternyata tidak sesuai ekspektasi, terutama yang berkaitan dengan inflasi arah suku bunga Fed Funds Rate (FFR). Apa yang terjadi? Berikut penjelasan Laras Febriany, Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) dalam ulasan pasar obligasi terbaru - Seeking Alpha Edisi Juli 2024 dari PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), yang disampaikan secara tertulis, Kamis (11/7/2024).
Laras Febriany menyampaikan di awal tahun, kita berekspektasi bahwa ekonomi global akan tumbuh moderat dibarengi inflasi yang semakin jinak. Dari Amerika Serikat (AS), data-data ekonomi menunjukkan sinyal bahwa inflasi berangsur turun dan sektor ketenagakerjaan juga mulai menunjukkan pelemahan. Nah hal ini, kata Lara melanjutkan membuat The Fed atau bank sentral AS, lebih dovish dan memproyeksikan 3 kali penurunan Federal Funds Rate (FFR). Namun setelah setengah tahun berlalu, yang terjadi adalah sebaliknya.
"Ekonomi global tumbuh lebih kuat dari proyeksi dan mengalami revisi kenaikan, mencerminkan ekspansi ekonomi yang kuat. Selain itu inflasi AS yang diharapkan turun malah berangsur naik - sempat mencapai 3,5% YoY di bulan Maret – membuat Fed Chairman Jerome Powell yang awalnya optimis pemangkasan FFR dapat dimulai di kuartal kedua kembali terlihat ragu-ragu," kata Laras.
Promo Terbaru di Bareksa
Dia melanjutkan bahwa hal lain yang juga lebih baik dari ekspektasi adalah sektor perdagangan. Ketegangan geopolitik yang diperkirakan berpotensi menghambat rantai pasok untungnya tidak terjadi, dan perdagangan global masih dapat melanjutkan pemulihannya dengan baik.
Menarik sekali jika kita lihat bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun ini terus direvisi naik, di tengah inflasi yang masih persisten. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Laras menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi global 2024 direvisi naik ke 2,6%, mencerminkan 3 tahun pertumbuhan yang cukup stabil sejak puncak pandemi berakhir di 2021. Revisi kenaikan di tengah tensi geopolitik yang meningkat ini lebih ditopang oleh ekspansi perdagangan dan investasi.
"Walaupun suku bunga global masih cenderung ketat, sebenarnya inflasi global sudah menunjukkan tren penurunan. Beberapa bank sentral lain sudah mulai atau setidaknya sudah berencana melakukan pemangkasan," katanya.
Ia melanjutkan bahwa bank sentral Eropa sudah memangkas suku bunga 25bps di bulan Juni, bank sentral Swiss sudah memangkas dua kali pada tahun ini, dan bank sentral Inggris diperkirakan dapat mulai memangkas suku bunga di kuartal ketiga. "Namun memang wajar jika investor sering kali lebih terfokus pada inflasi dan suku bunga FFR yang menjadi poros perekonomian global dan tidak melihat kondisi global melalui sudut pandang ‘helicopter view’," jelasnya.
Menyambung terkait inflasi dan suku bunga AS, apa pandangan Anda ke depannya?
Laras berpendapat bahwa penundaan pemangkasan FFR disebabkan oleh data-data ekonomi yang masih ‘mixed signal’. Walaupun sudah terlihat pelemahan pada sektor konsumsi dan keyakinan konsumen, inflasi dianggap belum turun secara konsisten menuju target The Fed sebesar 2%.
Lebih lanjut dia menyampaikan kalau kondisi ini membuat pandangan pejabat The Fed terpecah, terlihat dari dot plot terakhir di mana pandangan 1 kali atau 2 kali pemangkasan di tahun 2024 ternyata cukup imbang. Pada akhirnya ekspektasi pemangkasan FFR tahun 2024 lebih konservatif (lebih sedikit di 2024, lebih banyak di 2025).
"Namun seperti yang juga disampaikan oleh pejabat The Fed, kemungkinan kenaikan FFR ke depannya sangat minim, yang harus kita tunggu adalah seberapa lama FFR akan bertahan sebelum akhirnya pejabat The Fed benar-benar yakin tren penurunan inflasi memang sudah konsisten," kata Laras.
Dengan ekspektasi pemangkasan FFR tahun ini yang lebih konservatif, bagaimana pandangan Anda terhadap Asia?
Menurut Laras, Asia menjadi salah satu pilar pertumbuhan global 2024. Mengacu pada publikasi World Bank, tahun ini China diproyeksikan tumbuh 4,8%, Indonesia tumbuh 5,0%, dan India tumbuh 6,6%. Dia mengatakan bahwa penurunan inflasi dan pelonggaran moneter global serta perbaikan perdagangan dunia menjadi katalis positif bagi Asia. Sejak tahun 2023, aktivitas ekspor di Asia terus bertumbuh pesat. Pertumbuhan ini didominasi oleh performa industri di China dan India. Selain itu sentimen pasar terhadap China menunjukkan perbaikan, tercermin dari outlook pertumbuhan ekonomi China yang terus direvisi naik mencapai 5%.
"Investor asing juga menunjukkan minat mereka kembali ke pasar China yang terlihat dari arus modal asing yang semakin meningkat dibandingkan akhir tahun 2023. Namun memang tidak bisa dipungkiri, pandangan higher for longer FFR dan penguatan USD memang menjadi ‘ganjalan’ jangka pendek bagi pasar Asia, dan kuncinya kembali lagi pada sinyal yang diberikan oleh The Fed," paparnya.
Beralih ke Indonesia, adakah hal-hal di luar ekspektasi yang Anda cermati selama paruh pertama 2024 ini?
Menurut Laras, sejalan dengan ekspektasi awal tahun, perekonomian Indonesia setengah tahun ini tumbuh relatif stabil ditopang oleh tingkat konsumsi rumah tangga, inflasi yang terjaga, dan peningkatan belanja pemerintah. Namun – sama seperti kebanyakan negara kawasan – nilai tukar Rupiah anjlok di luar perkiraan menghadapi penyesuaian ekspektasi arah FFR.
"Ditambah dengan faktor musiman kenaikan permintaan valas oleh korporasi (termasuk untuk repatriasi dividen), serta persepsi terhadap kesinambungan fiskal, akhirnya Rupiah anjlok melewati level psikologis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS/IDR Rp16.000 per dolar AS," kata Laras.
Merespons hal ini, Laras melanjutkan bahwa BI menaikkan suku bunga ke level 6,25% sebagai salah satu upaya pre-emptif menopang nilai tukar Rupiah. Saat ini BI menyatakan bahwa stabilitas Rupiah menjadi prioritas utama, dan percaya nilai fundamental Rupiah di <Rp16.000 didukung inflasi domestik yang terjaga dan stabilitas ekonomi. "Dapat kita simpulkan di paruh kedua tahun ini – setidaknya dalam jangka pendek - nilai tukar Rupiah akan tetap menjadi fokus pasar," ucap Laras.
Segala dinamika yang ada akhir-akhir ini membuat imbal hasil obligasi pemerintah AS dan Indonesia kembali naik. Di akhir Juni, imbal hasil UST 10 tahun tercatat di kisaran 4,4%, dan imbal hasil SUN 10 tahun kembali menembus 7%. Bagaimana potensi pasar obligasi di paruh kedua 2024 ini?
Menurut Laras, perubahan ekspektasi suku bunga global, pelemahan Rupiah, dan sentimen terkait outlook fiskal juga menekan pasar obligasi Indonesia. Walaupun mengalami tekanan, kami melihat peluang valuasi yang menarik di pasar obligasi Indonesia.
Saat ini selisih imbal hasil obligasi pemerintah dan UST berada pada level tertinggi dalam satu tahun terakhir, menciptakan potensi investasi menarik di siklus akhir menjelang pemangkasan suku bunga. "Jika kita bandingkan dengan negara di kawasan Asia, selisih imbal hasil obligasi Indonesia menjadi yang tertinggi, bahkan di atas India. Ditambah lagi, CDS 5 tahun yang menggambarkan persepsi risiko bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia sudah terlihat stabil," jelasnya.
Laras menyampaikan bahwa Manulife melihat pasar obligasi tetap memiliki potensi, terutama jika inflasi AS turun dengan stabil sehingga FFR dapat diturunkan tahun ini, diiringi dengan stabilisasi Rupiah. "Kami melihat skenario ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Berikutnya, kejelasan tentang outlook fiskal, anggaran APBN, dan kabinet ekonomi pemerintahan baru dapat menciptakan tambahan katalis bagi pasar obligasi ke depannya," jelasnya.
Pertanyaan terakhir, menyikapi skenario yang diharapkan tersebut, tapi di saat yang sama juga memitigasi risiko yang belum hilang sepenuhnya, bagaimana Anda mengelola portofolio obligasi saat ini?
Laras mengatakan bahwa di tengah kondisi pasar yang masih bergejolak dan sensitif terhadap perubahan sentimen baik dari global maupun domestik, tingkat risiko portofolio sangat penting untuk dijaga oleh investor. "Menerapkan diversifikasi pada portofolio investasi dapat menjadi salah satu strategi bagi investor dalam menjaga tingkat risiko investasi," ucap Laras.
Nah, dia melanjutkan bahwa reksadana obligasi dapat dipertimbangkan oleh investor untuk memanfaatkan karakteristik defensif dari kelas aset obligasi. Kondisi imbal hasil obligasi yang tinggi saat ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk 'mengunci yield' di level yang menarik dan juga dapat menikmati potensi capital gain ketika suku bunga mulai beranjak turun.
"Kami melihat potensi pemangkasan suku bunga di tahun 2024 ini masih dapat terjadi, tentunya didukung dengan makroekonomi yang kuat serta Rupiah yang stabil. Kami mengelola portofolio secara aktif dan fokus kepada manajemen durasi serta pemilihan efek yang diharapkan dapat menjadi penopang kinerja portofolio di tahun ini," papar Laras.
Selain itu, dia melanjutkan bahwa Manulife juga terus mencermati likuiditas dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terkendali.
Klik untuk Beli Reksadana Sekarang
(Martina Priyanti)
***
Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.