Bareksa.com - Bagaimana potensi dampak pengetatan kebijakan moneter ketat Amerika Serikat (The Fed) dan dampak konflik Rusia – Ukraina terhadap pasar modal, serta apa yang sebaiknya dilakukan investor reksadana?
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAM) atau Manulife AM Indonesia, Katarina Setiawan dalam Investment Note Manulife Aset Manajemen Indonesia pada Jumat pekan lalu (18/3/2022) memberikan ulasan berikut.
Dalam rapat yang berlangsung tanggal 15-16 Maret 2022, The Fed menaikan suku bunga acuan Federal Funds Rate 25 basis poin (bps). Menurut Katarina pernyataan The Fed menegaskan intensi untuk menjaga stabilitas harga di tengah tingginya inflasi yang diperparah dengan konflik Rusia - Ukraina.
The Fed mengubah perkiraan inflasi tahun 2022 menjadi 4,3 persen dari prediksi yang dikemukakan pada Desember 2021 yang sebesar 2,6 persen. Saat bersamaan, The Fed juga mengubah proyeksi kenaikan Federal Funds Rate menjadi 1,9 persen pada akhir 2022 dan 2,8 persen pada 2023.
Proyeksi itu lebih tinggi daripada prediksi yang dikemukakan pada Desember 2021 yaitu 0,9 persen untuk akhir 2022 dan 1,6 persen pada 2023, serta menyiratkan kenaikan suku bunga sebanyak 7 kali pada 2022 dan 4 kali pada 2023.
Dalam pernyataan The Fed juga disebutkan rencana pengurangan pembelian aset akan dimulai pada rapat mendatang. Ketua The Fed menyatakan perekonomian AS sangat kuat dalam menghadapi siklus pengetatan moneter.
Menurut Katarina, kenaikan suku bunga The Fed 25 bps dan proyeksi kenaikan suku bunga 7 kali untuk 2022 ini mengomunikasikan kebijakan yang lebih agresif, namun hal tersebut sudah sesuai dengan perkiraan pasar. Karena itu, secara umum pasar bereaksi netral.
Di sisi lain imbal hasil US Treasury 10 tahun juga bergerak dalam rentang sempit.
Sementara itu Bank Indonesia (BI) juga mengadakan rapat dewan gubernur dan memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 3,5 persen. Gubernur BI menekankan kembali sikap BI untuk tidak menaikkan suku bunga sampai terlihat tanda-tanda kenaikan inflasi inti secara fundamental, bukan kenaikan headline inflation, bukan kenaikan sementara karena konflik Rusia - Ukraina dan bukan karena kenaikan administered prices misalnya harga bahan bakar minyak.
"Kebijakan BI tersebut sudah sesuai perkiraan pasar, dan karenanya pasar Indonesia juga bergerak netral," kata Katarina dalam Investment Note.
Di sisi lain, konflik Rusia-Ukraina menurut Katarina, memiliki dampak global yang besar, meliputi dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung datang dari perdagangan dan investasi, sedangkan dampak tidak langsung berasal dari inflasi karena harga energi, logam dan pertanian terus meningkat akibat terhambatnya pasokan karena perang.
"Dampak langsung untuk Indonesia terbatas karena Indonesia memiliki hubungan perdagangan yang relatif rendah dengan Rusia dan Ukraina," ucapnya.
Data per kuartal 3 tahun 2021 menunjukkan impor dari Rusia diperkirakan sekitar 0,2 persen dari total impor Indonesia. Investasi langsung dari Rusia juga rendah, sekitar 0,08 persen dari total Foreign Direct Investment/FDI ke Indonesia.
"Dampak tidak langsung dalam bentuk kenaikan harga komoditas lebih relevan. Rusia adalah produsen utama dari minyak bumi, gas, berbagai logam serta produk agrikultur," katanya.
Ia melanjutkan disrupsi pasokan dari Rusia karena konflik Rusia-Ukraina mendorong kenaikan harga berbagai komoditas tersebut dan meningkatkan inflasi di berbagai kawasan.
Katarina mengatakan untuk Indonesia, inflasi masih rendah, di bulan Februari 2022 pada angka 2,06 persen.
"Tahun ini inflasi akan meningkat karena harga-harga komoditas masih tinggi, dampak kenaikan PPN dan kemungkinan kenaikan harga berbagai produk oleh produsen yang selama ini belum menaikkan harga jual walaupun harga bahan baku dan biaya produksi meningkat," paparnya.
Selain itu, ia mengatakan ada kemungkinan harga BBM akan meningkat jika harga minyak terus tinggi dalam waktu yang lebih panjang. "Namun secara keseluruhan inflasi masih akan terkendali, dengan pengawasan ketat dari pemerintah dan BI," ujarnya.
Menurutnya sebagai produsen/eksportir komoditas dalam skala besar, Produk Domestik Bruto atau PDB, Transaksi Berjalan dan pendapatan pemerintah Indonesia kemungkinan besar akan diuntungkan dari kenaikan harga komoditas.
Ia mencatat di tengah kenaikan harga minyak 56,8 persen setahun terakhir, harga minyak kelapa sawit naik 56 persen, dan harga batau bara naik 271,6 persen, Indonesia sebagai eksportir terbesar dari minyak kelapa sawit dan batu bara termal (thermal coal) mendapat keuntungan dari kenaikan harga tersebut," katanya.
Katarina mengatakan Manulife Aset Manajemen Indonesia berpandangan eksposur terhadap ekonomi Indonesia akan tetap positif dan mendukung investasi jangka panjang di Indonesia.
"Investasi yang terdiversifikasi pada reksadana saham serta reksadana obligasi dapat membantu investor mendapatkan hasil optimal, yang dapat disesuaikan dengan profil risiko serta tujuan investasi masing-masing investor," ucap Katarina.
(Martina Priyanti/AM)
***
Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.