Manulife Investment : Outlook Ekonomi dan Pasar Saham Indonesia pada 2020
Kecepatan eksekusi kebijakan reformis seperti omnibus law diharapkan mampu menjadi katalis positif pasar di tahun 2020
Kecepatan eksekusi kebijakan reformis seperti omnibus law diharapkan mampu menjadi katalis positif pasar di tahun 2020
Bareksa.com - Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diprediksi oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan tumbuh 5,05 persen year on year (YoY) atau lebih rendah ketimbang tahun lalu 5,17 persen. Perkiraan 5,05 persen dinilai optimistis di tengah ekonomi dunia yang diprediksi melemah.
Badan Moneter Internasional (IMF) telah merevisi turun target pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini jadi 3 persen, dari perkiraan sebelumnya 3,7 persen. Volume perdagangan dunia tahun ini diprediksi hanya tumbuh 1,1 persen. Pertumbuhan ini merupakan yang terendah sejak krisis ekonomi global pada 2008-2009 silam. Ekonomi global terdampak perang dagang antara Amerika Serikat dengan China.
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan sepanjang 2019 tercatat sangat fluktuatif. IHSG sampai dengan akhir November 2019 mencatatkan penurunan 2,95 persen. Meski begitu secara year to date, yakni sejak awal tahun hingga 17 Desember 2019, IHSG sudah mulai bangkit dengan naik 1 persen dari 6.181 pada penutupan 2 Januari 2019 jadi 6.244 pada 17 Desember. IHSG menyentuh level terendahnya yakni pada 17 Mei 2019 di level 5.282.
Promo Terbaru di Bareksa
Sumber : Bareksa
Namun ada kabar baik. Menjelang akhir pekan kemarin, AS dan China mengumumkan telah berhasil mencapai kesepakatan dagang tahap satu yang sudah begitu dinanti-nantikan pelaku pasar saham dunia. Dengan adanya kesepakatan tersebut, Presiden AS Donald Trump membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China pada 15 Desember. Sebagai informasi, nilai produk impor asal Negeri Tirai Bambu yang akan terdampak oleh kebijakan ini sejatinya mencapai US$160 miliar.
Tak sampai di situ, Trump juga mengatakan bahwa bea masuk bagi senilai US$120 miliar produk impor asal China yang sebesar 15 persen nantinya akan dipangkas menjadi 7,5 persen saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu. China juga membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk balasan yang sejatinya disiapkan guna membalas bea masuk dari Negeri Paman Sam pada hari Ahad.
Ketidakpastian kondisi global tersebut masih membayangi kinerja ekonomi nasional dan pasar modal Indonesia tahun depan. Bagaimana proyeksi kinerja ekonomi dan pasar saham pada 2020? Andrian Tanuwijaya, Portfolio Manager PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, menyatakan tahun depan ekonomi Indonesia akan pulih secara bertahap dan kinerja pasar saham akan lebih baik dibandingkan tahun ini sebagaimana disampaikan dalam laporan "Seeking a" Manulife Investment edisi Desember 2019. Berikut ulasannya :
Data ekonomi terkini dari berbagai negara-khususnya sektor manufaktur-menunjukkan sinyal perlambatan sepertinya sudah mulai mencapai titik terendah. Apa pandangan anda akan hal ini?
Betul, data terkini sektor manufaktur di beberapa wilayah, sebut saja seperti zona Eropa, China, Korea, Singapura dan Jepang secara serempak menunjukkan perbaikan. Walaupun baru terjadi satu bulan, namun hal ini cukup positif dan menunjukkan sinyal mulai terjadinya stabilisasi. Ke depannya kita masih harus melihat konsistensi dari data tersebut. Di tahun ini ketidakpastian konflik dagang serta ketakutan akan perlambatan ekonomi global membebani kinerja sektor manufaktur. Disertai dengan dampak positif dari stimulus fiskal dan kebijakan moneter akomodatif bank sentral global, diharapkan setelah melalui periode ‘penyesuaian’ laju pertumbuhan sektor manufaktur dan ekonomi dunia dapat mulai pulih kembali.
Selama dua tahun ini kinerja pasar saham Asia kalah unggul dibandingkan dengan kinerja pasar saham negara maju. Bagaimana peluang pasar saham Asia di tahun 2020?
Secara umum investor yang datang berinvestasi di pasar saham Asia memang bisa dikategorikan sebagai ‘growth tourists’, artinya investor yang mencari pertumbuhan earnings yang lebih premium sebagai justifikasi dari investasi yang dilakukan. Alasan mengapa selama dua tahun terakhir ini pasar saham Asia kalah unggul dibandingkan dengan negara maju adalah karena pertumbuhan earnings yang juga lemah.
Untuk tahun 2020, kami memiliki pandangan yang lebih positif terhadap pasar saham Asia, di mana earnings Asia diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju–konsensus memperkirakan earnings Asia tumbuh 14 persen vs negara maju 9 persen–didukung oleh stimulus fiskal, kebijakan suku bunga rendah, stabilitas nilai tukar domestik, low base effect pertumbuhan earnings tahun lalu dan harapan pemulihan pertumbuhan ekonomi global seiring dengan meredanya ketegangan perdagangan. Pasar saham Asia yang dinilai sebagai high beta akan diuntungkan dari arah perubahan sentimen global yang menjadi lebih positif.
Beralih ke domestik, bagaimana kinerja pasar keuangan Indonesia tahun ini?
Didukung oleh kebijakan akomodatif bank sentral global dan imbal hasil riil yang tinggi, nilai tukar rupiah dan pasar obligasi membukukan kinerja yang cukup baik di tahun ini. Sampai dengan akhir bulan November 2019 pasar obligasi BINDO mencatatkan kenaikan 13,6 persen. Sementara rata–rata pergerakan nilai tukar rupiah cukup stabil di kisaran 14,153 per dolar AS. ‘Tantangan’ datang dari pasar saham, di mana pasar saham Indonesia yakni IHSG sampai dengan November 2019 mencatatkan penurunan 2,95 persen.
Kinerja pasar saham Indonesia kalah unggul jika dibandingkan dengan negara kawasan Asia disebabkan oleh lemahnya pertumbuhan earnings tahun ini. Selain faktor lemahnya kinerja laporan keuangan tersebut, pelemahan IHSG juga dipicu oleh beberapa berita/sentimen negatif yang kebetulan menerpa sektor-sektor berkapitalisasi besar di indeks. Kenaikan cukai rokok 23 persen membuat sektor ini underperformed selama tahun 2019. Selain itu, berita-berita negatif seputar industri perbankan ikut memberikan kontribusi negatif terhadap kinerja sektor perbankan di IHSG.
Bagaimana outlook ekonomi Indonesia di tahun 2020?
Kami memperkirakan pemulihan ekonomi Indonesia akan berjalan secara gradual. Pemulihan ekonomi Indonesia diharapkan terjadi seiring dengan meredanya ketegangan perdagangan Amerika Serikat – China. Pemulihan ekonomi diperkirakan akan terjadi secara bertahap karena pelonggaran fiskal yang tidak bisa terlalu agresif, di mana defisit fiskal dibatasi < 3 persen sehingga dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi juga relatif terbatas. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibutuhkan peningkatan daya saing khususnya pada area nonkomoditas guna mengurangi ketergantungan ekonomi akan sumber daya alam. Untuk itu, maka percepatan reformasi kebijakan pada area pengembangan SDM, penyederhanaan regulasi dan birokrasi menjadi sangat penting.
Apa yang menjadi faktor risiko atau tantangan bagi ekonomi Indonesia?
Faktor risiko untuk ekonomi Indonesia bisa dibagi menjadi dua, yaitu risiko eksternal dan internal :
- Risiko eksternal meliputi ketidakpastian kesepakatan dagang Amerika Serikat – China, perlambatan ekonomi China dan risiko geopolitik dari beberapa kawasan.
- Risiko internal masih seputar defisit pada neraca berjalan, khususnya saat ini ketika penanaman modal asing belum dapat membiayai defisit neraca berjalan. Basic balance (FDI + CAD) Indonesia sampai kuartal ketiga 2019 masih tercatat defisit 1 persen terhadap PDB. Besaran pada defisit neraca berjalan dapat mempengaruhi kemampuan bank sentral untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut. Di samping itu kecepatan dari eksekusi janji reformasi kebijakan juga menjadi faktor risiko yang perlu dicermati dari dalam negeri.
Apa katalis untuk pasar saham Indonesia di tahun depan?
Kami mengharapkan earnings growth yang lebih baik di tahun 2020–setelah di tahun ini banyak disrupsi ekonomi terkait dengan tahun pemilu di mana ada gap yang cukup lama antara Pemilu sampai pemerintah baru resmi terbentuk–didukung oleh kuatnya indikator makro ekonomi, reformasi kebijakan dan stabilitas politik. Efek low base harga komoditas dan harapan perkembangan positif konflik dagang dan dampaknya terhadap harga komoditas berpotensi mendorong earnings perusahaan komoditas tahun depan. Kecepatan eksekusi kebijakan reformis seperti omnibus law, revisi Undang-Undang Tenaga Kerja, pemotongan pajak dan penghapusan daftar negatif investasi juga diharapkan mampu menjadi katalis positif pasar pada tahun 2020.
***
Ingin berinvestasi di reksadana?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.