Bareksa.com - Sepekan kemarin, pergerakan pasar saham Tanah Air terlihat mengalami tekanan hingga harus tercatat melemah secara mingguan. Dalam periode 8 hingga 12April 2019, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat anjlok 1,05 persen point to point ditutup di level 6.405,87.
Secara sektoral, seluruhnya kompak berakhir di zona merah pada pekan kemarin, dengan tiga sektor yang mencatatkan penurunan terdalam yaitu industri dasar (-2,56 persen), infrastruktur (-2,41 persen), dan pertanian (-2,32 persen).
Di sisi lain,investor asing terpantau masih cukup banyak masuk ke saham domestik dengan mencatatkan pembelian bersih (net buy) di seluruh pasar sepanjang pekan lalu senilai Rp1,28 triliun.
Alhasil jika sejak awal tahun 2019 hingga saat ini, investor asing masih mencatatkan pembelian bersih (net buy) senilai Rp14,7 triliun.
Saham-saham yang terbanyak diburu investor asing dalam sepekan kemarin :
1. Saham BRPT(Rp176,1 miliar)
2. Saham SMGR (Rp169,9 miliar)
3. Saham BBRI (Rp158,3 miliar)
4. Saham ASII (Rp132,6 miliar)
5. Saham BTPS (Rp69,7miliar)
Berbagai Sentimen Pekan Lalu
Bursa saham utama kawasan Asia bergerak variatif, di mana yang senasib dengan IHSG adalah Nikkei 225 (-0,21 persen), Hang Seng (-0,1 persen), dan Shanghai Composite (-1,8). Sedangkan Kospi melesat 1,08 persen dan Straits Times naik 0,28 persen.
Sepekan kemarin, sentimen yang mewarnai pasar keuangan Asia terbilang cukup bervariatif.
Pada awal pekan lalu, investor sempat dibuat khawatir dengan proyeksi ekonomi terbaru keluaran Dana Moneter Internasional (IMF). Christine Lagarde dan koleganya memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 3,3 persen pada 2019, melambat dibandingkan proyeksi Januari yaitu 3,5 persen. Proyeksi ini membuat pelaku pasar memilih bermain aman.
Namun memasuki tengah pekan risk appetite pasar kembali membuncah. Penyebabnya adalah rilis notulensi rapat The Federal Reserve/The Fed edisi Maret.
Dalam notulensi tersebut, terpampang nyata bahwa 'suasana kebatinan' dalam rapat komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) begitu murung. Hawa kalem alias dovish pun kian terlihat.
"Mayoritas peserta rapat memperkirakan proyeksi ekonomi dan risiko ke depan kemungkinan menyebabkan suku bunga acuan tidak berubah sampai akhir tahun. Para peserta rapat juga menyadari berbagai ketidakpastian, termasuk yang menyangkut ekonomi dan pasar keuangan global," sebut risalah itu.
Pintu kenaikan suku bunga acuan yang semakin tertutup membuat dolar AS terpojok. Sebab tanpa dukungan kenaikan suku bunga, berinvestasi di mata uang ini menjadi kurang menarik.
Hasrat pelaku pasar bertambah besar kala ada perkembangan positif dari negosiasi Brexit. Uni Eropa sepakat untuk memberikan perpanjangan waktu pelaksanaan Brexit dari 12 April menjadi akhir Oktober. Dengan begitu, pemerintah Inggris akan punya cukup waktu untuk bernegosiasi dengan parlemen agar No-Deal Brexit bisa dihindari.
Lalu di Jumat siang, ekspor China per Maret 2019 melesat 14,2 persen secara tahunan, jauh di atas konsensus yang dihimpun Reuters 7,3 persen.
Namun, impor tercatat anjlok hingga 7,6 persen secara tahunan, jauh lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang memperkirakan koreksi 1,3 persen saja.
Mengingat posisi China yang penting sebagai pasar utama ekspor Indonesia, anjloknya impor ini memicu kekhawatiran bahwa permintaan Negeri Tirai Bambu itu bakal melemah.
Terutama, pemerintah China telah memangkas target pertumbuhan ekonomi 2019 ke kisaran 6-6,5 persen, atau di bawah target sebelumnya 6,5 persen. Sebagai catatan, pertumbuhan ekonomi China 2018 yang sebesar 6,6 persen.
Namun di Amerika Serikat (AS), kabar buruk di China tak banyak memengaruhi sentimen pelaku pasar di Wall Street. Indeks S&P 500 berhasil menembus level psikologis 2.900 pada perdagangan Jumat waktu setempat, dan semakin dekat dengan rekor level tertingginya 1 persen.
Kenaikan tersebut terjadi menyusul kinerja positif beberapa perusahaan raksasa seperti JP Morgan Chase dan Wells Fargo. Dow Jones, indeks acuan untuk saham unggulan di Amerika Serikat (AS) menguat 269,25 poin, terutama didorong sektor keuangan. Sementara itu, Nasdaq tumbuh 0,46 persen.
JP Morgan melaporkan capaian kinerja yang lebih baik dari perkiraan, berkat pendapatan dari jasa transaksi aset pendapatan tetap (fixed income) seperti obligasi. Merespons hal itu, saham emiten keuangan ini melonjak 4,7 persen.
"Kinerja kuartal I 2019 yang solid seharusnya menjadi kabar bagus untuk saham JP Morgan maupun perusahaan sejenisnya," tutur analis Sandler O'Neill & Partners Jeffery Harte, dikutip CNBC International.
Analisis Teknikal IHSG
Sumber: Bareksa
Menurut analisis Bareksa, secara teknikal pergerakan IHSG sepanjang pekan lalu terlihat cenderung tertekan di mana munculnya bearish candle dengan body besar menandakan adanya sinyal negatif pada IHSG.
Selain itu, pola pergerakan IHSG saat ini terlihat mulai keluar dari garis lower bollinger band yang menandakan adanya indikasi pelemahan dalam jangka pendek.
Di sisi lain, indikator relative strength index (RSI) juga terpantau bergerak datar cenderung melemah mengindikasikan sinyal pelemahan cukup kuat.
Kemudian posisi IHSG juga mulai mendekati level psikologis 6.400, yang apabila level tersebut tertembus ada potensi IHSG akan melemah dalam jangka pendek.
(KA01/AM)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.