Rapat KSSK II 2020: Indikator Ekonomi Masih Baik, Namun Ada Risiko Sangat Tinggi
Dalam periode Januari–Maret 2020 saja, arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp145,28 triliun
Dalam periode Januari–Maret 2020 saja, arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp145,28 triliun
Bareksa.com - Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) telah mengadakan rapat berkala II tahun 2020 pada Kamis (30/04) melalui konferensi video. Rapat dihadiri oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Rapat membahas agenda utama, yaitu asesmen kondisi stabilitas sistem keuangan triwulan I 2020.
Hasil rapat tersebut menyimpulkan sejumlah indikator ekonomi masih relatif baik, meskipun risiko dampak COVID-19 terhadap perekonomian tetap perlu diwaspadai. Indikator makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga, di tengah meningkatnya tekanan akibat penyebaran COVID-19. Kondisi ketidakpastian itu memerlukan penguatan langkah antisipasi dalam memitigasi risiko terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Bauran kebijakan makroekonomi dan berbagai langkah kebijakan di bidang kesehatan diyakini akan dapat mengurangi risiko terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan secara keseluruhan, dan secara bertahap mendorong pemulihan ekonomi.
"Asesmen atas berbagai indikator masih menunjukkan adanya risiko yang sangat tinggi mengingat penyebaran COVID-19 masih eskalatif baik di global maupun domestik. Keberhasilan langkah penganganan masalah COVID-19 ini sangat mempengaruhi berbagai risiko rambatan dampaknya ke perekonomian dan sektor keuangan," demikian disampaikan keterangan tertulis KSSK (11/5/2020).
Promo Terbaru di Bareksa
Menurut KSSK, momentum perbaikan perekonomian yang mulai terlihat pada awal tahun 2020 berubah arah karena pandemi global corona virus disease (COVID-19). COVID-19 menyebar sangat cepat ke seluruh dunia, mengakibatkan gangguan kesehatan dan ancaman kematian. Wabah yang dimulai di Wuhan, Tiongkok pada akhir tahun 2019, kini telah mengakibatkan 4,1 juta orang positif terinfeksi dan 281 ribu orang di antaranya meninggal dunia. Episentrum penyebaran telah bergeser ke Eropa dan Amerika Serikat. Saat ini penyebaran masih eskalatif di berbagai negara termasuk di Indonesia. Kondisi ini menciptakan ketidakpastian yang tinggi. Tidak ada satu negara pun yang dapat memprediksi kapan pandemi akan berakhir.
Untuk mencegah penyebaran COVID-19, kata KSSK, maka dilakukan langkah-langkah ekstrim membatasi interaksi antarmanusia. Pembatasan sosial (social distancing) dilakukan dalam bentuk pelarangan perjalanan (travel ban), penutupan perbatasan antarnegara (closed borders), penutupan sekolah, kantor, dan tempat ibadah bahkan isolasi suatu wilayah tertentu (lockdown).
Berbagai langkah ini menyebabkan aktivitas ekonomi menurun drastis. Aktivitas ekonomi terganggu dari dua sisi sekaligus, baik dari sisi permintaan (demand) maupun dari sisi penawaran (supply). Tingkat konsumsi tertekan. Tingkat produksi terkendala. Rantai pasokan global terganggu. Semua ini berujung pada penurunan output global yang sangat besar. Ketika kondisi ini berlanjut, maka rambatan dampaknya juga berpotensi mengakibatkan gangguan stabilitas sistem keuangan.
Pandemi COVID-19 juga menyebabkan kepanikan di pasar keuangan global. Pada pertengahan Maret, indeks volatilitas (VIX) menunjukkan tingkat kecemasan investor di pasar saham menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah. Akibatnya kinerja pasar saham di negara maju dan berkembang melemah tajam.
Indeks kepercayaan konsumen dan bisnis global juga turun tajam, melebihi tingkat penurunan saat krisis keuangan global 2008. Negara-negara berkembang mengalami arus modal keluar yang sangat besar karena investor mencari aset yang aman (safe-haven assets).
Dalam periode Januari–Maret 2020 saja, arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp145,28 triliun. Angka arus modal keluar tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan periode krisis keuangan global tahun 2008 dan taper tantrum 2013, di mana pasar keuangan Indonesia masih mencatat arus masuk positif masing-masing Rp69,9 triliun dan Rp36 triliun.
Nilai tukar rupiah mengalami eskalasi tekanan yang tinggi. Pada akhir Februari 2020, nilai tukar masih berada di level Rp14.318 per dolar AS. Memasuki pekan kedua Maret 2020, melemah ke level Rp14.778 per dolar AS dan berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 23 Maret 2020 di level Rp16.575 per dolar AS atau melemah 15,8 persen dibandingkan akhir bulan sebelumnya.
"Dalam kondisi berbagai indikator ekonomi dan keuangan yang terus bergejolak dan mengalami pemburukan, maka pemerintah memerlukan langkah-langkah cepat dan luar biasa," kata KSSK.
Pada 31 Maret 2020, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Perppu 1/2020). Perppu 1/2020 sebagai dasar hukum untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa dengan langkah-langkah antisipatif dan luar biasa.
"Dengan Perppu 1/2020, pemerintah memiliki fleksibilitas mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN untuk mengatasi dampak COVID-19, dengan tiga prioritas yaitu untuk penanganan masalah kesehatan, menjaga konsumsi masyarakat miskin dan rentan, dan memberikan dukungan terhadap dunia usaha terutama UMKM agar terhindar dari kebangkrutan massal," ungkap KSSK.
Perppu 1/2020 juga mengatur penyesuaian batasan defisit APBN untuk bisa lebih tinggi dari 3 persen, mengatur mengenai insentif dan fasilitas perpajakan guna mendukung dunia usaha, serta mengatur penggunaan sumber pendanaan alternatif anggaran.
Di sisi sektor keuangan, Perppu 1/2020 memberikan perluasan kewenangan KSSK untuk dapat merespons kondisi yang dinamis ini, memperkuat kewenangan BI, termasuk agar BI dapat membeli SBN jangka panjang di pasar perdana untuk mendukung penanganan COVID-19, memperkuat kewenangan OJK dan LPS untuk mencegah risiko yang membahayakan stabilitas sistem keuangan serta perlindungan nasabah perbankan. Perppu 1/2020 juga memperkuat kewenangan pemerintah dalam menangani permasalahan perbankan dan stabilitas sistem keuangan akibat dampak COVID-19.
Merespons kondisi yang dinamis di kuartal I tersebut, menurut KSSK, berbagai bauran kebijakan baik melalui kebijakan moneter, stimulus fiskal, maupun relaksasi di sektor jasa keuangan telah dikeluarkan oleh lembaga anggota KSSK untuk memoderasi perlambatan ekonomi dan menjaga stabilitas sistem keuangan sembari berusaha memitigasi berbagai risiko yang dapat timbul, karena waktu dan kedalaman perlambatan ekonomi ini tidak dapat diestimasi secara tepat karena sangat bergantung pada penyebaran wabah COVID-19 itu sendiri.
Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah memberikan dukungan penanganan COVID-19 dan dampaknya melalui tambahan belanja, refocusing kegiatan dan realokasi anggaran kementerian negara/kembaga termasuk transfer ke daerah dan dana desa. Setelah Perppu 1/2020, pemerintah melakukan eskalasi belanja bidang kesehatan, peningkatan belanja dan cakupan jaring pengaman sosial (social safety net), dukungan terhadap dunia usaha termasuk melalui relaksasi aturan perpajakan, serta pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Langkah ini dilakukan untuk melengkapi dan menyempurnakan stimulus tahap pertama dan tahap kedua yang telah dilakukan sebelumnya.
Langkah BI
Di sisi moneter, BI menempuh kebijakan yang akomodatif dan konsisten dengan prakiraan inflasi yang terkendali dalam kisaran sasaran 3,0±1 persen dan sebagai langkah pre-emptive untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. BI menurunkan BI7DRR, Deposit Facility dan Lending Facility pada Februari dan Maret 2020 masing-masing 25 bps, memperkuat intensitas triple intervention, untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental dan mekanisme pasar, baik secara spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.
BI juga memperpanjang tenor repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari untuk memperkuat pelonggaran likuiditas serta menambah frekuensi lelang FX swap dari 3 (tiga) kali seminggu menjadi setiap hari guna memastikan kecukupan likuiditas. Langkah pelonggaran likuiditas ini juga diperkuat dengan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah bagi bank-bank yang melakukan kegiatan pembiayaan ekspor-impor, pembiayaan kepada UMKM dan/atau sektor-sektor prioritas lain.
Selain itu BI juga melakukan penguatan instrumen term deposit valuta asing dan penurunan GWM valas serta perluasan jenis underlying transaksi dalam transaksi DNDF bagi investor asing. Kebijakan moneter yang akomodatif tersebut juga didukung oleh pelonggaran kebijakan makroprudensial melalui penyesuaian perhitungan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan kebijakan Sistem Pembayaran untuk mendukung upaya mitigasi penyebaran COVID-19 antara lain melalui penurunan biaya SKNBI dan akselerasi elektronifikasi bansos
Langkah OJK.
Selain itu, untuk melengkapi bauran kebijakan fiskal dan moneter, OJK telah mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk meredam volatilitas di pasar modal dan juga dimaksudkan untuk memberikan relaksasi ketentuan guna mendukung pelaksanaan physical distancing. OJK mengeluarkan serangkaian kebijakan yang bersifat pre-emptive untuk memitigasi potensi peningkatan risiko kredit dan memberikan kemudahan kepada pelaku usaha dan masyarakat agar dapat melanjutkan kegiatan usahanya di tengah bencana COVID-19.
Hal tersebut dilakukan dengan memberikan relaksasi pengaturan penilaian kualitas aset kredit/pembiayaan yang direstrukturisasi langsung digolongkan “lancar” di perbankan dan lembaga pembiayaan dengan jangka waktu maksimum satu tahun bagi debitur yang terdampak COVID-19.
Langkah LPS
Merespons penurunan suku bunga kebijakan serta kondisi likuiditas perbankan, LPS menetapkan penurunan tingkat bunga penjaminan untuk simpanan rupiah di bank umum dan simpanan rupiah di BPR 25 bps di bulan Januari dan 25 bps di bulan Maret serta mempertahankan tingkat bunga penjaminan untuk valuta asing di Bank Umum.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan lembaga terkait diharapkan mampu meredam pelemahan ekonomi secara drastis. Beberapa peraturan pelaksanaan dari Perppu 1/2020 telah ditetapkan dan siap untuk diimplementasikan.
Asesmen kondisi perekonomian dan sistem keuangan
Volatilitas global sudah mulai mereda di bulan April 2020. Perekonomian Tiongkok mulai menunjukkan pemulihan seiring penurunan tingkat penyebaran COVID-19, setelah terkontraksi cukup dalam pada triwulan I 2020. Purchasing Managers’ Index (PMI) Tiongkok sudah mulai meningkat di bulan Maret 2020 seiring dengan mulai dibukanya kembali berbagai aktivitas ekonomi.
Volatilitas global pun mulai menurun, dibarengi dengan kebijakan penanganan yang baik, membantu perbaikan kondisi pasar finansial domestik, dengan meredanya gejolak pasar finansial di akhir April. Tekanan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, serta yield obligasi selama bulan Maret 2020 mulai mereda di bulan April 2020.
Per 30 April 2020, rupiah menguat 10,21 persen dibandingkan 23 Maret 2020 didukung oleh global bonds issuance pemerintah US$4,3 miliar pada 7 April 2020 dan perbaikan sentimen global terhadap negara berkembang.
Meskipun volatilitas sektor keuangan mulai mereda, namun ketidakpastian masih cukup tinggi mengingat hingga saat ini penyelesaian COVID-19 masih belum dapat dipastikan. Harga komoditas terutama minyak mentah masih bergejolak. Bahkan diproyeksikan masih terjadi pemburukan aktivitas ekonomi.
Berbagai lembaga memprakirakan pertumbuhan ekonomi global terkoreksi tajam masuk zona resesi. Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan perekonomian global terkontraksi hingga -2,2 persen. Sementara IMF memprakirakan ekonomi global minus 3 persen.
Lembaga rating memangkas sovereign rating sejumlah negara, antara lain Meksiko (dari BBB+ outlook negative menjadi BBB outlook negative), Malaysia (dari A- outlook stable menjadi outlook negatif), dan UK (dari AA outlook negative menjadi AA- outlook negative).
Perkembangan data makroekonomi dan moneter Indonesia menunjukkan tingkat inflasi April 2020 tercatat di level 2,67 persen (yoy). Sementara, neraca perdagangan triwulan I 2020 masih mencatatkan surplus US$2,62 miliar.
Cadangan devisa per April 2020 tercatat di level US$127,9 miliar, turun dibandingkan posisi bulan Desember 2019 di level US$129,2 miliar terutama disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah serta keperluan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Dari sisi asesmen perkembangan sektor keuangan, OJK mencermati stabilitas sektor jasa keuangan hingga April tercatat masih dalam kondisi terjaga dengan tendensi pelemahan sektor riil dan potensi pelemahan sektor keuangan melalui tunggakan pembayaran pokok dan bunga meskipun beberapa indikator intermediasi sektor jasa keuangan yang membukukan kinerja positif dan profil risiko industri jasa keuangan tetap terkendali.
Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) mengalami penurunan namun masih cukup tinggi pada Maret 2020 sebesar 21,72 persen (Desember 2019: 23,31 persen) dan risiko kredit bermasalah (non performing loan/NPL) gross sedikit meningkat namun masih terjaga di 2,77 persen (Desember 2019: 2,53 persen). Indikator kecukupan likuiditas juga menunjukkan kondisi yang cukup baik sebagaimana terlihat dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) per 22 April 2020 terjaga di 22,36 persen (Desember 2019: 20,86 persen), masih berada di atas threshold.
Sementara itu, kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan hingga Maret 2020 masih didukung ketahanan perbankan, likuiditas, dan stabilitas pasar uang. Kredit perbankan tumbuh 7,95 persen yoy (Desember 2019: 6,08 persen yoy) terutama berasal dari pertumbuhan kredit valas, diiringi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) 9,54 persen yoy (Desember 2019: 6,54 persen yoy). Piutang Perusahaan Pembiayaan sedikit termoderasi namun tumbuh 2,49 persen yoy (Desember 2019: 3,66 persen yoy). Di dalam pipeline terdapat 53 emiten yang akan melakukan penawaran umum dengan total indikasi penawaran Rp21,2 triliun.
Dari sisi fiskal, di tengah tekanan eksternal sepanjang triwulan I 2020, realisasi pendapatan di APBN mencapai 16,8 persen terhadap APBN atau tumbuh 7,7 persen. Namun penerimaan pajak telah terdampak dengan mengalami pertumbuhan negatif 2,5 persen. Penyerapan Belanja Negara mencapai 17,8 persen atau tumbuh 0,1 persen, sementara defisit APBN tercatat Rp76,4 triliun (0,45 persen terhadap PDB).
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan akan lebih lambat dari tahun sebelumnya akibat dampak COVID-19. Ekspor 2020 diprakirakan menurun akibat melambatnya permintaan dunia, terganggunya rantai penawaran global, serta rendahnya harga komoditas global. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat diprakirakan terutama terjadi pada triwulan II dan triwulan III 2020 sejalan dengan prospek kontraksi ekonomi global dan juga dampak ekonomi dari upaya pencegahan peyebaran COVID-19.
Perekonomian nasional diprakirakan kembali membaik mulai triwulan IV 2020 dan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diperkirakan dapat menuju 2,3 persen dan akan meningkat lebih tinggi pada tahun 2021. Selain dipengaruhi prospek perbaikan ekonomi global, pemulihan ekonomi nasional juga didorong berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah, Bank Indonesia, dan otoritas terkait.
"Keberhasilan langkah penganganan masalah COVID-19 menjadi faktor penentu yang sangat mempengaruhi berbagai risiko rambatan dampaknya ke perekonomian dan sektor keuangan. Konsistensi dan kerja sama seluruh komponen bangsa menjadi faktor penting keberhasilan penanganan krisis kesehatan ini," ungkap KSSK.
KSSK akan terus melakukan koordinasi dan langkah-langkah yang ekstensif dan sinergis di bidang ekonomi dan sektor keuangan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta dalam upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19.
KSSK juga tetap mewaspadai potensi risiko yang berasal dari dinamika perekonomian dan pasar keuangan global serta penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian domestik dengan meningkatkan koordinasi kebijakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan pemulihan ekonomi nasional. KSSK akan menyelenggarakan rapat berkala kembali pada bulan Juli 2020.
(*)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.