Aset Orang Indonesia yang "Tersembunyi" di Negara Suaka Pajak Mencapai 44% PDB

Bareksa • 06 Apr 2016

an image
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro berbicara pada Seminar Kebijakan Fiskal dan Perkembangan Ekonomi Terkini di Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kalbar di Pontianak, Senin (25/5). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang

Jika saja dana tersebut berada di dalam negeri, PDB Indonesia bisa mencapai $1.219 miliar

Bareksa.com – Bocornya dokumen keuangan dan pajak 'The Panama Papers' menyeret beberapa nama pengusaha besar Indonesia. Nama-nama tersebut ditengarai memiliki aset dalam jumlah cukup besar di negara suaka pajak (Tax Haven). Terbongkarnya data keuangan ini makin mendorong pemerintah untuk menarik penerimaan dari wajib pajak yang "menyembunyikan" harta di luar negeri.

Hal ini diamini Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro saat menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, (5 April 2016). "Ini sebagai pintu masuk agar mereka mau membawa uangnya ke Indonesia. Kami fokus ke program pengampunan pajak. Setelah itu baru penegakan hukum," kata Bambang seperti dikutip dari harian Kompas Rabu 6 April 2016.

Memiliki perusahaan offshore dengan tujuan meminimalkan pajak memang tidak serta-merta digolongkan sebagai praktik ilegal. Dalam perpajakan, praktik ini disebut tax avoidance atau upaya penghindaran pajak untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan celah (loophole) dan rendahnya tarif perpajakan yang ditawarkan suatu negara. Banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut sepenuhnya legal dan tidak melanggar ketentuan perpajakan apa pun.

Tapi jika ditotal, dana milik orang Indonesia di luar negeri jumlahnya cukup besar dan berpotensi mendongkrak nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Menurut data Tax Justice Network pada 2010, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara di dunia yang memiliki aset keuangan terbesar di negara tax haven. Indonesia menempati posisi kesembilan dan merupakan satu-satunya negara dari Asia Tenggara di daftar top-10 ini. Jumlah aset dari Indonesia tercatat sebesar US$331 miliar atau setara Rp4,400 triliun dengan asumsi Rp13.300 per dolar AS.

Nilai tersebut ternyata setara 37 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2015 yang tercatat sebesar US$888 miliar. Jika saja dana tersebut berada di dalam negeri, maka PDB atau nilai semua barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia bisa mencapai $1.219 miliar atau mendekati nilai PDB empat negara ASEAN terbesar, yakni Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia yang totalnya sebesar US$1.333 miliar.

Grafik: PDB Indonesia & Negara Terbesar ASEAN

sumber: Worldbank, diolah Bareksa

Besarnya dana Indonesia di luar negeri inilah yang melandasi rencana pemerintah merilis kebijakan Tax Amnesty. Pemerintah memang tidak bisa memaksa aset keuangan tersebut untuk masuk seluruhnya ke dalam negeri. Tapi melalui tax amnesty, pemerintah mendorong wajib pajak Indonesia untuk bisa mendeklarasikan harta kekayaannya yang selama ini "disembunyikan" di luar negeri.

Menurut ahli pajak Yustinus Prastowo, dengan tax amnesty wajib pajak yang selama ini menyembunyikan harta di luar negeri bisa melaporkan harta kekayaannya tanpa perlu membayar sanksi administrasi perpajakan. Dalam rancangan undang-undang pengampunan nasional, jika wajib pajak berniat melaporkan harta tersembunyi itu, maka mereka hanya perlu membayar uang tebusan minimal 2 persen dari nilai harta yang dilaporkan.

Artinya, jika seluruh aset keuangan yang tersimpan di negara tax haven itu dilaporkan kepada pemerintah, maka potensi penerimaan negara dari wajib pajak yang melaporkan hartanya di negara tax haven berpotensi menyentuh Rp88 triliun. Nilai tersebut akan membantu pemerintah untuk mendongkrak penerimaan pajak yang ditargetkan mencapai Rp1.360 triliun.