Bareksa.com - Mengawali perdagangan pekan ketiga Juni 2022, bursa saham Indonesia langsung mengalami guncangan cukup hebat hingga harus terlempar dari level psikologis 7.000. Pada perdagangan Senin (13/6/2022), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup anjlok 1,29 persen ke level 6.995,44.
Bahkan secara intraday, kemarin IHSG sempat menyentuh titik terendah di level 6.924,95 yang mencerminkan depresiasi 2,28 persen. Artinya menjelang penutupan perdagangan, IHSG sebenarnya mampu memangkas koreksinya untuk tidak terlalu dalam.
Meski melemah, investor asing tampak masih lebih dominan melakukan pembelian yang tercermin dari aksi beli bersih (net buy) yang senilai Rp299,85 miliar di pasar reguler.
Kinerja yang dialami bursa saham Tanah Air memang searah dengan kondisi bursa regional, di mana bursa Asia-Pasifik juga terpantau ambles. Indeks Nikkei Jepang ambruk 3,01 persen, Hang Seng Hong Kong anjlok 3,39 persen, Shanghai Composite China merosot 0,89 persen, Straits Times Singapura ambrol 1,3 persen, dan KOSPI Korea Selatan longsor 3,52 persen.
Sementara itu dari bursa Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat pekan lalu, ketiga indeks utama juga kembali jatuh lebih dari 2 persen bahkan lebih dari 3 persen.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambruk 2,73 persen, S&P 500 ambles 2,91 persen, dan Nasdaq Composite anjlok 3,52 persen.
Tekanan jual yang dihadapi IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan kemarin dipicu oleh sentimen pelaku pasar yang sedang memburuk pasca rilis data inflasi AS pada Jumat pekan lalu. Hal ini membuat bursa saham global berjatuhan karena kekhawatiran bahwa inflasi ternyata belum mencapai puncaknya.
Data terbaru menunjukkan inflasi dari sisi konsumen AS yakni consumer price index (CPI) pada Mei 2022 melesat 8,6 persen secara tahunan (year on year/yoy). Inflasi tersebut naik dari bulan sebelumnya 8,3 persen (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981.
Kemudian inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan naik 6 persen (yoy). Secara bulanan (month on month/mom) inflasi naik 1 persen dan inflasi inti 0,6 persen (mom). Harga energi berkontribusi besar terhadap kenaikan inflasi.
Sepanjang Mei harga energi naik 3,9 persen dari bulan sebelumnya. Sementara dibandingkan Mei 2021, harga energi melonjak hingga lebih dari 34 persen. Dengan harga minyak mentah yang masih tinggi saat ini, ada kekhawatiran inflasi masih akan terus meninggi.
Data inflasi terbaru membuat pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara agresif.
Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bp) menjadi 1,25-1,5 persen adalah 76,8 persen. Bahkan, kenaikan 75 bp ke 1,5-1,75 persen juga masuk perhitungan dengan kemungkinan 23,2 persen.
Kondisi pasar saham yang terlihat mulai mengkhawatirkan, membuat para investor harus “putar otak” untuk mencari aset investasi yang aman (safe haven instrument) untuk melidungi kekayaannya dari penurunan nilai akibat risiko gejolak tersebut.
Tidak sedikit instrumen safe haven yang dapat diincar dan menjadi sarana diversifikasi serta lindung nilai (hedging) ketika harus menghadapi risiko yang membesar.
Lantas, apa saja aset safe haven yang dapat dijadikan pertimbangan oleh investor?
Berdasarkan sejarahnya, emas memang merupakan alat hedging paling tradisional di dunia. Setiap kali ada risiko yang meningkat, keunggulan utama emas yaitu dari likuiditas akibat ketergantungan historis dan penerimaan publik yang luas pada produk tersebut.
Nilai aset tersebut juga diharapkan beriringan dengan inflasi untuk jangka waktu yang lama serta dipercaya sebagai alat penyimpan nilai atau "store of value". Selain itu, nilai emas juga tidak dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga yang ditetapkan pemerintah.
Meski begitu, ada sejumlah risiko terhadap investasi emas fisik batangan, seperti risiko kehilangan dan pencurian. Karena itu, investasi emas dalam jumlah besar memerlukan biaya lebih bila ingin aman, seperti menyewa brankas di bank atau di pegadaian.
Obligasi pemerintah, salah satunya Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.
Sesuai Undang-Undang No. 24 Tahun 2002, SUN terdiri dari Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan Obligasi Negara (termasuk Obligasi Negara Retail/ORI).
a. Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah SUN yang berjangka waktu maksimal 12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
b. Obligasi Negara
Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan dengan kupon atau pembayaran bunga secara diskonto.
c. Obligasi Ritel Indonesia (ORI)
Obligasi Negara yang diperdagangakan secara ritel. Tujuan diterbitkannya ORI adalah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat atau investor individual untuk secara langsung memiliki dan memperdagangkan secara aktif dalam perdagangan Obligasi Negara.
SBR merupakan turunan dari ORI, yang memiliki sifat mirip dengan tabungan (saving) atau deposito bank untuk masyarakat ritel sehingga dinamakan seperti produk perbankan itu. Biasanya, tenor dari SBR tidak terlalu panjang, seperti SBR011 memiliki tenor 2 tahun saja.
SUN dianggap sebagai safe haven karena memiliki risiko gagal bayar (default) yang sangat kecil atau hampir tidak mungkin, mengingat Pemerintah menjamin pokok dan kupon SUN dalam APBN.
Instrumen lain yang bisa sebagai alternatif safe haven bagi investor adalah reksadana pasar uang. Perlu diketahui, reksadana adalah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi atau deposito.
Reksadana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka.
Sementara itu, reksadana pasar uang adalah jenis reksadana yang melakukan investasi pada jenis instrumen investasi pasar uang dangan masa jatuh tempo kurang dari satu tahun.
Bentuk instrumen investasinya dapat berupa time deposit (deposito berjangka), certificate of deposit (sertifikat deposito), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) dan berbagai jenis instrumen investasi pasar uang lainnya.
Tujuannya untuk menjaga likuiditas dan pemeliharaan modal. Risikonya relatif paling rendah dibandingkan reksadana jenis lainnya.
Jenis reksadana ini memiliki risiko yang minim dan cocok bagi kamu yang merupakan investor pemula. Keuntungannya pun bisa setara bahkan lebih dari deposito dan dapat dicairkan kapan saja serta tanpa potongan pajak.
(KA01/Arief Budiman/AM)
***
Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.