Bareksa.com - Berbagai kelas aset investasi memiliki karakteristik yang berbeda dan kinerja yang berbeda pula, bergantung pada kondisi ekonomi. Tidak ada satu kelas aset yang selalu konsisten mengalahkan kinerja aset lainnya. Bagaimana dengan kinerja investasi tahun ini?
Menurut Riset Syailendra Capital, yang mencatat kinerja berbagai kelas aset dalam 10 tahun terakhir, obligasi korporasi mencatat rata-rata kinerja tertinggi yaitu 9,7 persen per tahun. Kinerja obligasi korporasi ini mengalahkan kinerja obligasi pemerintah (SBN) yang rata-rata 5,9 persen per tahun dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya 5,4 persen per tahun.
Adapun sepanjang tahun ini hingga 4 Juli 2022 (year to date), obligasi korporasi mencatatkan kinerja 3,1 persen, hanya dikalahkan oleh penguatan dolar AS sebesar 9,4 persen. Sementara itu, kinerja indeks saham IHSG hanya naik 0,9 persen year to date.
Grafik Kinerja Berbagai Kelas Aset Investasi 10 Tahun
Berbagai sentimen dari global telah mendorong dinamika di pasar keuangan, mulai dari invasi Ukraina oleh Rusia di awal tahun, lalu kebijakan Bank Sentral AS The Fed untuk secara agresif menaikkan suku bunga, hingga risiko hiperinflasi global.
Pelaku pasar saat ini mengkhawatirkan resesi global, sehingga para investor asing membawa aliran dana kembali ke dolar AS. Namun, dampaknya ke investasi di Indonesia tidak terlalu besar.
Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan Indonesia aman dari resesi. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan kondisi fundamental Indonesia masih baik, dengan pertumbuhan ekonomi yang solid pada kuartal I-2022 dan juga kondisi inflasi yang cenderung lebih rendah daripada negara-negara lain.
“Indonesia kami perkirakan akan menyelesaikan tahun 2022 dengan sehat dan bahkan bisa mencatat pertumbuhan positif. Pun dengan tahun 2023,” ujar Georgieva seperti dikutip Kontan (17/7/2022).
Baca juga Bareksa Insight : IMF Nilai Indonesia Aman dari Resesi, Potensi Cuan Reksadana Ini
Lantas, seperti apa kondisi produk investasi Indonesia? Dengan suku bunga yang naik, beberapa aset, seperti obligasi negara dan saham-saham di negara berkembang bisa terkena dampaknya. Makanya, yield (imbal hasil) obligasi negara Indonesia juga ikut naik, yang mengindikasikan harganya turun.
Namun, kondisi berbeda dengan obligasi korporasi yang lebih stabil dan tidak berfluktuasi tinggi seperti halnya obligasi negara. Karena itu, reksadana yang portofolionya berisikan obligasi korporasi dapat bertahan memberikan imbal hasil (return) yang stabil di tengah kondisi sekarang.
Satu reksadana yang bisa dipilih oleh smart investor adalah Syailendra Pendapatan Tetap Premium (SPTP) yang dikelola oleh Syailendra Capital. Reksadana pendapatan tetap ini mayoritas portofolionya berinvestasi pada obligasi korporasi.
Head of Wholesale Distribution Syailendra Capital Aldies Sageri menjelaskan bahwa mayoritas aset dalam portofolio reksadana SPTP adalah obligasi korporasi berperingkat. Selain itu, reksadana pendapatan tetap ini memiliki sedikit porsi di saham, sebagai pendorong kinerja.
Secara lebih rinci, alokasi aset Syailendra Pendapatan Tetap Premium adalah 80-100 persen di aset pendapatan tetap atau obligasi, 0-15 persen di saham dan 0-20 persen di pasar uang.
"Karena isinya corporate bond durasi pendek, sangat aman dengan alokasi konservatif di obligasi dengan single A, double A dan SUN. Uniknya, produk ini memiliki sekitar 1-15 persen di saham sebagai booster pendorong kinerja," jelas Aldies.
Pemilihan obligasi korporasi dengan durasi pendek ini risikonya terbilang rendah tetapi bisa memberikan return yang cukup stabil. Selain itu, tambah Aldies, dengan dana kelolaan (asset under management/AUM) SPTP yang sekitar Rp600 miliar terbilang cukup lincah untuk melakukan alokasi aset.
Berkaitan dengan porsi saham dalam portofolio reksadana pendapatan tetap ini, Syailendra memilih emiten dengan sangat selektif untuk mengejar kinerja, seperti perusahaan yang melakukan corporate action. Contohnya, SPTP saat ini memiliki saham PT Link Net Tbk (LINK) dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) yang baru saja melakukan tender offer, sehingga harga sahamnya konsisten naik dan ada target harganya.
Produk reksadana ini menjadi rekomendasi, sebab kinerjanya dapat mengalahkan acuan (benchmark). Dalam lima tahun terakhir (24 Maret 2017-24 Mei 2022) SPTP tumbuh 56,7 persen, mengalahkan acuannya yang hanya 24,2 persen. Sepanjang tahun berjalan hingga 18 Juli 2022, Syailendra Pendapatan Tetap Premium sudah mencatat imbal hasil 4,78 persen dan setahun terakhir sudah naik 6,08 persen.
Grafik Kinerja SPTP Vs Benchmark Sejak Peluncuran 24 Maret 2017 - 24 Mei 2022
Sumber: Syailendra Capital
Aldies mengatakan, dengan kondisi saat ini, reksadana pendapatan tetap memang menjadi pilihan tepat untuk mendapat keuntungan. Ke depan, dengan tren suku bunga yang naik, SPTP juga diuntungkan karena bisa menikmati suku bunga obligasi korporasi yang lebih tinggi lagi.
"Untuk saat ini, lebih baik di reksadana pendapatan tetap yang memiliki obligasi short duration. Bahkan saat harga obligasi turun, bisa menjadi kesempatan untuk memiliki aset di harga diskon. Sehingga, makin yakin kinerja SPTP akan lebih baik lagi," kata Aldies.
Smart investor yang memiliki tujuan keuangan jangka menengah dan profil risiko moderat bisa mempertimbangkan untuk memilih reksadana pendapatan tetap ini.
Baca juga Syailendra Pendapatan Tetap Premium Kalahkan Benchmark dan Reksadana Sejenis, Apa Rahasianya?
(ADV)
* * *
Ingin berinvestasi aman di reksadana online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.