Bareksa.com - Tahun 2020 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi pasar modal domestik yang diakibatkan oleh munculnya pandemi Covid-19 di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Bagaimana tidak, pada tahun ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merupakan acuan pasar saham Tanah Air sempat menyentuh level terendahnya yakni 3.937,63 pada 24 Maret 2020 yang mencerminkan penurunan hingga 37,49 persen year to date (YtD) pada saat itu.
Sumber: Pasardana
Selain itu, pasar obligasi yang digambarkan dengan Indonesia Composite Bond Index (ICBI) juga sempat menyentuh titik terendahnya yakni 263,84pada 24 Maret 2020, turun 3,87 persen YtD. Kemudian yield obligasi pemerintah juga sempat menyentuh level tertinggi di 8,43 persen pada tanggal yang sama, menandakan harga obligasi sedang tertekan kala itu.
Sumber: Pasardana
Namun seiring berjalannya waktu hingga menjelang akhir tahun ini, semuanya perlahan telah membaik. Per 23 Desember 2020, IHSG sudah berada di level 6.008,71, menyisakan koreksi sejak awal tahun yang hanya tinggal 4,31 persen YtD.
Begitu pun dengan pasar obligasi, ICBI justru sudah berbalik positif dengan penguatan yang mencapai 14,58 persen YtD, kemudian yield obligasi pemerintah juga sudah turun hingga menyentuh level 6,15 persen.
Dengan kondisi seperti itu, dapat dikatakan pasar keuangan Indonesia perlahan mulai pulih dari titik keterpurukannya. Menjelang berakhirnya tahun 2020 dan hadirnya tahun 2021, Bareksa menilai reksadana berbasis saham bisa menjadi pilihan yang menarik di tengah ekspektasi pemulihan ekonomi.
Hal tersebut dikarenakan kinerja pasar saham yang akan paling diuntungkan ketika ekonomi pulih, dikarenakan sifatnya yang merupakan leading indicator dalam perekonomian. Alhasil ketika pasar saham naik, otomatis kinerja reksadana saham secara umum akan ikut terdorong dikarenakan 80 persen dana kelolaan reksadana jenis ini berisikan aset ekuitas.
Adapun beberapa faktor yang bisa menjadi pendorong kebangkitan ekonomi pada tahun depan antara lain:
1. Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) stimulus fiskal Amerika Serikat (AS) jilid II senilai US$900 miliar yang bisa mendorong tingkat konsumsi dan likuiditas di pasar.
2. Tercapainya kesepakatan masa depan perdagangan Inggris dan Uni Eropa. Kata sepakat dari London dan Brussels mengakhiri drama Brexit yang terjadi bertahun-tahun. Satu ketidakpastian besar kini bisa dicoret dari daftar, tentu sebuah perkembangan yang melegakan.
3. Adanya kebijakan moneter ekspansif seperti pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebanyak lima kali pada tahun ini ke level terendahnya yakni 3,75 persen, yang diharapkan bisa memacu ekspansi perusahaan dan mendorong perekonomian.
4. Implementasi omnibus law yang mendorong investor asing untuk berinvestasi di Indonesia melalui Sovereign Wealth Fund (SWF).
Di sisi lain, faktor penghambat yang mungkin perlu menjadi perhatian adalah perkembangan vaksin Covid-19 di Indonesia. Beberapa faktor seperti pembuktian efektivitas, masalah penyaluran (distribusi) kepada masyarakat, hingga efek samping yang ditimbulkan juga menjadi hal yang mesti diperhatikan.
Perlu diketahui, reksadana adalah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi, atau deposito.
Reksadana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka.
(KA01/Arief Budiman/AM)
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini adalah kinerja masa lalu dan tidak menjamin kinerja di masa mendatang. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.