Bareksa.com - Mengawali perdagangan di pekan ketiga Februari 2020, bursa saham Tanah Air hampir tidak mengalami perubahan pada perdagangan kemarin.
Pada Senin (17/02/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membuka perdagangan dengan pelemahan 0,05 persen di level 5.863,914, pelemahan semakin dalam hingga ke level 5.854,098 atau setara dengan 0,22 persen.
Sebelum perdagangan sesi I berakhir, IHSG berbalik menguat hingga 0,2 persen ke level 5.878,464. Tetapi sayangnya posisi tersebut gagal dipertahankan, IHSG mengakhiri sesi I di level 5.868,578, menguat tipis 0,03 persen.
Memasuki sesi II, IHSG kembali masuk ke zona merah meski tidak lebih dalam dari pelemahan di sesi I. IHSG nyaris berakhir melemah, sebelum berbalik menguat tipis 0,01 persen ke level 5.867,523.
Tekanan bagi IHSG datang setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Januari 2020 mencapai US$13,41 miliar. Sedangkan impor pada periode yang sama mencapai US$14,28 miliar.
Angka itu mencerminkan ekspor yang terkoreksi 3,71 persen sedangkan impor turun 4,78 persen. Sehingga berdasarkan hitungan, maka neraca dagang pada Januari 2020 mengalami defisit US$870 juta.
Membengkaknya defisit perdagangan tersebut memberikan gambaran tantangan berat yang dihadapi perekonomian Indonesia tahun ini, apalagi dengan adanya wabah virus corona di China.
Wabah virus corona atau yang disebut Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk.
Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis dari John Hopkins CSSE, korban meninggal akibat virus corona atau yang disebut Covid-19 kini mencapai 1.775 orang dan telah menjangkit lebih dari 71.000 orang di berbagai negara.
Masih belum diketahui seberapa besar dampak virus corona ke pertumbuhan ekonomi China dan global umumnya, yang pasti akan melambat.
Hasil riset S&P memprediksi produk domestic bruto (PDB) China akan terpangkas hingga 1,2 persen. Kemudian, Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 40 ekonom yang hasilnya pertumbuhan ekonomi China kuartal I 2019 diperkirakan 4,5 persen, jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6 persen. Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020, proyeksinya adalah 5,5 persen. Angka itu jauh melambat dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 6,1 persen.
Di sisi lain, Bank Dunia mengatakan pelambatan ekonomi China 1 persen dapat membuat ekonomi Indonesia melambat 0,3 persen. Itu artinya, perekonomian Indonesia bisa melambat lebih dari 0,3 persen di kuartal I 2020, dampaknya pasar finansial dalam negeri mendapat tekanan.
Reksadana Berbasiskan Saham Dominasi Return Harian
Di sisi lain, kondisi IHSG yang hanya menguat tipis nyatanya masih mampu berdampak positif terhadap kinerja reksadana yang berbasiskan saham dalam portofolionya.
Sumber: Bareksa
Berdasarkan data reksadana yang dijual di Bareksa, 9 dari 10 besar reksadana dengan imbal hasil (return) harian tertinggi dihuni oleh produk jenis reksadana saham dan campuran, dengan return berkisar 0,62 persen hingga 2,1 persen kemarin (17 Februari 2020).
Reksadana ialah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut, nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi, atau deposito.
Reksadana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka.
Sebagaimana dikutip dari Bursa Efek Indonesia (BEI), reksadana dirancang sebagai sarana untuk menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki modal, mempunyai keinginan untuk melakukan investasi, namun hanya memiliki waktu dan pengetahuan yang terbatas. Selain itu, reksadana juga diharapkan dapat meningkatkan peran pemodal lokal untuk berinvestasi di pasar modal Indonesia.
Reksadana memberikan imbal hasil (return) dari pertumbuhan nilai aset-aset yang ada di dalam portofolionya. Imbal hasil ini potensinya lebih tinggi dibandingkan dengan deposito atau tabungan bank.
Jenis reksadana yang dipilih, bisa disesuaikan dengan karakter kita apakah seorang high-risk taker, medium-risk taker, atau low-risk taker. Jika kurang berani untuk mengambil risiko rugi, bisa memilih reksadana pasar uang.
Sementara jika cukup berani tapi masih jaga-jaga untuk tidak terlalu rugi, bisa coba fixed income (reksadana pendapatan tetap) atau balanced (reksadana campuran). Jika cukup berani ambil risiko, bisa berinvestasi di reksadana saham (equity).
Perlu diketahui soal reksadana, selain aman karena diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), reksadana juga berpotensi memberikan imbal hasil optimal, bukan objek pajak, serta sangat berpeluang bisa mengalahkan angka inflasi.
Demi kenyamanan berinvestasi pastikan dulu tujuan keuangan dan profil risiko kamu ya.
(KA01/AM)
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.