Bareksa.com - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China serta cuitan Presiden AS Donald Trump di akun Twitter-nya yang dinilai banyak kalangan termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani turut mempengaruhi ekonomi global, menjadi bagian dari tekanan eksternal yang membayangi pertumbuhan ekonomi dan prospek investasi di Indonesia.
Meski begitu, banyak kalangan menilai, Indonesia merupakan salah satu negara emerging market yang masih memiliki fundamental ekonomi kuat, serta masih memberikan return dan risiko yang menarik untuk tujuan investasi para investor.
Rencana penerbitan payung hukum Omnibus Law yang draftnya saat ini masih disiapkan pemerintah dan akan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), juga dinilai menjadi tambahan sentimen positif bagi dunia investasi.
Lantas bagaimana prospek investasi reksadana di Indonesia selama tahun ini dan potensinya pada tahun depan? Berikut petikan wawancara khusus Bareksa dengan Direktur Utama PT Danareksa Investment Management, Marsangap P. Tamba pada medio Desember 2019, berikut petikan wawancaranya :
Apakah faktor eksternal masih membayangi dunia investasi di Indonesia?
Saya pernah katakan, ngapain sih kita ngurusin Trump (Presiden AS, Donald Trump-red) tapi lucunya hampir semua kita follow Twitter-nya Trump. (cuitannya) itu jadi part of world drive gitu.
Jadi nyaru gitu tweet-an sebagai aktivitas media sosial yang sudah menjadi bagian dari kehidupan kita atau memang, cuitan Trump bagian dari pekerjaan kita. Biasanya kan kalau kita melihat media sosial kan untuk hiburan, nah sekarang monitor tweet-nya Trump adalah bagian dari pekerjaan.
Bagaimana update kondisi market saat ini dan proyeksi tahun depan?
Kalau kita bicara market lebih dahulu, pada tahun ini kita masih tetap dihadapkan oleh ketidakpastian yang cukup tinggi termasuk uncertainty dari perolehan laba emiten.
Dalam perkembangan quarter by quarter, kita melihat bahwa laba emiten memang mulai tertahan. Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, efeknya ke emiten korporasi sudah kelihatan.
Ini suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri. Kita ketahui sebagian pergerakan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) mungkin di zona negatif, kadang-kadang ada harapan naik sedikit tapi on average itu flat plus minus sedikit.
Biasanya pada posisi-posisi (akhir tahun) ini ada window dresssing biar tidak lemas-lemas amat di akhir tahun. Kalau kita bicara target IHSG sampai akhir tahun, mungkin kita tidak bisa berharap banyak pada angka yang surprising.
Saya rasa sebagian besar return di bulan Desember IHSG positif. Mungkin dalam 10 tahun terakhir, pada Desember IHSG hijau sebagian besar. Kalau kita mengacu pada historical trend, itu memang wajar orang berharap kalau Desember ada recovery.
Tetapi magnitude average-nya hanya 3 persen. Kemarin sudah 3 persen juga naik 3 persen bulan ini.
Makanya kalau mau menembak-nebak IHSG di akhir tahun, di posisi tanggal 13 Desember, memang murni akan tebakan jadi base case-nya di 62-63-an (6.200 - 6.300 an). Kalau ada surprise naik 2-3 persen, ya bisa 64 (6.400-an).
Mungkin ini secara umum merefleksikan gambaran kenaikan laba perusahaan juga pada tahun ini yang single digit, 6-7 persen kali ya secara konsesus.
Saya pikir IHSG itu juga sudah merefleksikan termasuk merefleksikan tentang pertumbuhan ekonomi apakah ekonomi dunia akan lanjut, apakah trade war akan lanjut, jadi saya katakan IHSG pada tahun ini flat atau small positive return.
Saya juga ingin mengajak refleksi bahwa pemerintah merespons sistuasi saat ini. Termasuk yang duluan itu kebijakan moneter menurunkan suku bunga. Hanya memang, dari sisi portofolio atau investasi efeknya ke obligasi cukup baik.
Kalau kita investasi di awal tahun, mungkin kita masih bisa dapatkan (return) 12-15 persen. Dari sisi investasi kalau dari awal kita promoting fixed income dan kita juga dari awal sudah mempromosikan fixed income, itu sebenarnya investor fixed income harusnya sudah cukup happy karena ditopang oleh kebijakan moneter dari Bank Sentral.
Bagaimana prospek pada tahun depan?
Bank Sentral sudah menurunkan tingkat suku bunga atau melonggarkan kebijakan moneter, lalu diikuti dengan kebijakan-kebijakan fiskal sebenarnya kan untuk merespons situasi slow down tadi.
Nah masalahnya efek dari kebijakan itu ke sektor riil ekonomi butuh waktu. Karena butuh waktu, maka kami pikir kalau slow down-nya bisa distop mungkin pada Q2 atau Q3 akan kelihatan. Kalau kita bicara saham, mungkin fluktuasi masih akan berlanjut di Q1 dan Q2 2020.
Kita sih berharapnya, salah satu kebijakan yang sangat diantisipasi itu terutama di perpajakan apalagi kalau nanti ada omnibus law perpajakan. Omnibus law efeknya akan besar karena teorinya kan bisa meng-overlap beberapa aturan langsung direvisi dan mengacu pada aturan baru ini karena lebih tinggi posisinya.
Jadi dari sisi itu, menurut saya respons pemerintah sudah tepat waktu. Kita berharap efektivitasnya dapat kita lihat paling tidak di Q2 2020.
Nah di sisi lain untuk fixed income, semua negara sedang slow down jadi hampir semua Bank Sentral sudah siap-siap menurunkan suku bunga. Dari sisi itu, sebenarnya investasi ke fixed income masih ada room untuk kembali lebih perform dari equty atau saham, karena kan penurunan suku bunga itu berbanding terbalik dengan kenaikan harga obligasi.
Saya pikir dengan valuasi yang lebih baik ini, kalau memang ada kebijakan-kebijakan pemerintah termasuk pajak yang efeknya bisa meningkatkan earning growth emiten-emiten, ya kita melihat ini ada opportunity untuk masuk lagi ke saham dengan harga yang lebih baik.
Secara strategic asset alocation, kita tidak boleh nol-kan equity karena growth story di Indonesia masih sangat bagus. GDP (Gross Domestic Product) kita masih termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. Meski dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen saja, kita masih termasuk ekonomi yang menawarkan high growth dan dengan konsep midle income class, pembangunan infrastruktur pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia) serta kebijakan-kebijakan yang saat ini dilakukan pemerintah, seharusnya itu membuat fondasi bagi laba-laba perusahaan untuk tetap baik.
Growth story di Indonesia terutama untuk medium term dan long term itu masih sangat baik dibandingkan negara lain. Tapi secara technical memang, kita tidak bisa memungkiri fluktuasi mungkin akan tetap terjadi dan risk reward di fixed income sepertinya jadi lebih baik saat ini mengingat fluktuasi tersebut.
Merespons kondisi yang ada, bagaimana strategi Danareksa IM?
Danareksa itu secara historis memang bisa dibilang lebih fixed income house. Dari Rp33 triliun portofolio kami, kira-kira yang interest product itu sekitar 54 persen ke fixed income, termasuk money market.
Kalau dibagi sepertiganya itu di alternative product, setengah di interest product, baru sisanya di equity dan Exchange Traded Fund (ETF). Kalau dari sisi itu sebenarnya sebagian besar nasabah kita memang investor fixed income dan seharusnya mereka sudah mendapatkan benefit cukup baik ya.
Bagaimana gambaran dana kelolaan Danareksa IM tahun ini?
Sampai November ada Rp33 triliun, dari target internal Rp35 triliun tapi sebenarnya target secara umum, kita ingin di atas industri pertumbuhannya di mana pertumbuhan industri pada tahun ini sekitar 9 persen atau 10 persen di akhir tahun. Sekarang ini kami sudah tumbuh sekitar 10 persen, jadi ya sudah sama dengan industri.
Dana kelolaan tahun lalu Rp30 triliun. Untuk tahun depan, industri basecase-nya tumbuh 10 persen jadi kita berharap bisa tetap di atas industri. Secara internal, kami menargetkan ada pertumbuhan 15 persen dari Rp35 triliun.
Pertumbuhan kinerja Danareksa IM 2020 akan ditopang oleh apa saja?
Tahun depan secara komposisi kita mungkin masih sama. Dari sisi sales, mungkin tetap fokus di fixed income dan produk alternatif karena sepertiga dari AUM kita adalah produk alternatif.
Sebagai manajer investasi (MI) BUMN, kita termasuk salah satu MI yang memang market share di produk alternatif paling besar seperti RDPT (Reksadana Penyertaan Terbatas), EBA (Efek Berguna Aset), kalau dicombine kita mungkin masih nomor satu secara market share di alternative product. Tapi saat ini sudah ada beberapa MI yang sudah mulai meluncurkan produk RDPT bahkan Dinfra (Dana Investasi Infrastruktur).
Pada 2020 Danareksa IM akan nambah EBA berapa banyak?
Kami sih berharap kalau dari produk alternatif, 3 sampai 4 RDPT. Kami lagi ingin meluncurkan produk Dinfra karena itu salah satu produk yang belum kita punya.
Dinfra dianggap sebagai reksadana yang bisa mendapatkan insentif pajak untuk produk fixed income-nya, jadi saya pikir Dinfra ini secara konsep produk sangat baik. Di satu sisi dia bisa masuk ke proyek-proyek infrastruktur yang sifatnya private tetapi di sisi lain, juga bisa masuk ke public-public security juga.
Jadi flexibility-nya di antara public security dan private itu cukup besar dibandingkan misalnya dengan RDPT yang hanya satu proyek di mana dana-dana dikumpulkan terus dilaunching, sedangkan di Dinfra seperti reksadana biasanya di mana orang bisa masuk anytime dan apalagi kalau Dinfranya dilisting di Bursa Efek, jadi orang bisa seperti jual beli saham di Bursa.
Saya pikir Dinfra merupakan produk yang bisa dipantau dan saat ini sudah ada 5 MI yang mempunyai Dinfra. Danareksa sebagai salah satu player di alternative investment, perlu punya Dinfra.
Jadi pada tahun depan, salah satu produk yang akan kami terbitkan Dinfra dan Sisanya RDPT. EBA mungkin hanya sekitar 1, karena agak sulit mencari underlyingnya.
Untuk Dinfra, nanti kami maunya klien tidak hanya institusi tapi juga mau kami listingkan agar nantinya nasabah ritel juga bisa beli. Jika punya account broker, dia bisa beli di Bursa saja.
Underlyingnya Dinfra kami nanti seperti tadi saya sampaikan sebagian proyek infrastruktur dan sebagian lagi mungkin saham-saham atau obligasi. Biasanya sih kami dengan BUMN tapi tidak memungkiri juga dengan swasta karena pemerintah pada akhirnya juga akan melibatkan swasta. Seperti kemarin kan ada penjualan saham tol ke Grup Astra.
Mengapa Danareksa IM nampak punya semangat untuk menerbitkan produk alternatif?
Kami melihat pemerintah terutama sejak pemerintahan Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) pada periode pertama, fokusnya ke infrastruktur. Dari sisi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) saja, ada dana cukup besar yang dilibatkan ke infrastruktur dan BUMN banyak terlibat di infrastruktur.
Kami sebagai manajer investasi BUMN, punya akses kepada beberapa proyek dan nasabah-nasabah kami sebagian besar juga government related, some how juga perlu berinvestasi dan mendukung proyek-proyek infrastruktur. Jadi antara blessing in disguise atau juga sebagai BUMN, kami juga melihat peluang ini dengan menerbitkan produk baru.
Pemerintah pun mendukung beberapa produk baru yang bisa untuk infrastruktur seperti Dinfra dengan flexibility yang lebih baik. Di mana kami kan sebelumnya sudah punya RDPT, EBA dan lainnya.
OJK (Otoritas Jasa Keuangan) juga merespons itu sebagai pembiayaan dan kita mencoba untuk lebih dahulu saja untuk menerbitkan.
Bagaimana dengan produk-produk baru yang diterbitkan tahun ini?
Di luar proteksi, kami ada meluncurkan 1 balance fund, 3 RDPT dan 1 offshore, jadi ada sekitar 5 produk baru. Untuk yang proteksi kan kami harus meluncurkan terus.
Di luar proteksi, kami memang tidak memposisikan diri untuk terus menerus meluncurkan produk. Sampai saat ini, kami ini sudah punya 90 produk termasuk proteksi, jadi saya pikir ini saatnya new product benar-benar untuk menangkap kebutuhan nasabah. Jadi bukan sekadar kita ingin mendapatkan sales saja tapi untuk melengkapi portofolio.
Secara spektrum portofolio produk kami sudah cukup lengkap. Begitu juga dari sisi syariah.
Kemarin ( pada 28 November 2019), kami meluncurkan offshore product melalui syariah yang namanya G20 Sharia Equity Fund Dollar. Secara tema ini sangat menarik di mana kami memberikan akses kepada nasabah untuk bisa memiliki exposure saham-saham di 20 negara terbesar di dunia.
Secara diversifikasi itu bagus karena nasabah kami akan ada exposure untuk berinvestasi di saham-saham besar di negara G20 yang di dalamnya termasuk juga Indonesia.
Kenapa nampak tertarik untuk menerbitkan produk syariah?
Lebih memperkuat spektrum produk. Produk yang ada membutuhkan diversifikasi dan itu mungkin tidak cukup hanya di satu negara melainkan multinegara akan lebih baik.
Kami start di G20 sebagai awal kita berinvestasi pada investasi-investasi yang besar dulu. Jadi sense of risk management-nya juga ada, country-nya terbesar, growth story-nya tergantung global outlook yang tidak bisa dipungkiri tetapi dalam situasi di mana walaupun growth slow down tapi most of contribute oleh 20 negara.
Secara risiko saya pikir diversifikasi itu bagus. Kenapa syariah? Karena yang diizinkan OJK nyaris 100 persen syariah dan kenapa dalam bentuk dolar, karena 20 negara itu tadi dan ada beberapa negara yang mesti kami confert saham-saham dalam bentuk dolar.
Produk ini bisa jadi semacam produk alternatif buat investor untuk bisa mendiversifikasi portofolionya ke global. Saat ini ada beberapa bank sedang menunggu izin dari OJK untuk mendistribusikan. Kami juga lagi pikir-pikir akan distribusikan melalui fintech.
Bagaimana saran Bapak bagi investor pemula?
Pada dasarnya keuangan masa depan harus direncanakan, secara teori harus sedini mungkin. Banyak kebutuhan di masa depan baik kebutuhan sekolah, menikah, pensiun dan lainnya.
Kebutuhan itu tidak bisa dicapai hanya bekerja terus dapat gaji atau pengusaha dapat income. Jadi memang kita harus melengkapi, keuangan itu harus direncanakan. Saya pikir semua pihak harus melakukan itu dan sedini mungkin.
Reksadana bisa digunakan sebagai salah satu instrumen untuk merencanakan keuangan. Di reksadana itu ada konsep diversifikasi dan reksadana juga menyediakan berbagai jenis risiko, berbagai jenis return, profile dan berbagai jenis jangka waktu investasi.
Saya menyampaikan pilihlah MI yang mempunyai track record, yang punya kredibilitas dan bukan hanya menawarkan short time return karena yang diincar bukan short time return. Biasanya ukuran MI yang baik itu bisa dilihat dari dana kelolaan, kapan berdiri, dan mungkin benefit lainnya seperti Danareksa merupakan penerbit reksadana pertama.
***
Perlu diketahui, reksadana ialah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi atau deposito.
Reksadana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka.
Demi kenyamanan berinvestasi pastikan dulu tujuan keuangan dan profil risiko kamu.
(AM)
***
Ingin berinvestasi di reksadana?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.