Bareksa.com - Perdagangan pasar modal Indonesia semester I 2021 telah resmi berakhir pada rabu (30/6/2021). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai indeks acuan pasar saham Tanah Air harus rela ditutup di bawah level psikologis 6.000, terpatnya berada di level 5.985,49.
Dengan level tersebut, IHSG tercatat hanya naik tipis 0,11 persen secara year to date (YtD) atau sepanjang tahun berjalan jika dibandingkan dengan penutupan akhir 2020 di level 5.979,07.
Sumber: BEI
Di antara bursa-bursa di kawasan Asia Tenggara, performa indeks saham Tanah Air menempati posisi ketiga terburuk. Kemudian di Kawasan Asia Pasifik, kinerja pasar saham Tanah Air juga menjadi urutan ketiga dengan pertumbuhan paling rendah.
Sementara, di antara bursa-bursa di seluruh negara, IHSG menempati posisi 32 dari total 36 bursa yang ada.
Sepanjang semester I 2021, pasar modal di seluruh negara masih dibayangi oleh sentimen negatif berupa penyebaran virus Covid-19, termasuk Indonesia.
Pada awal tahun ini, sebenarnya IHSG sempat bergerak positif dengan kenaikan yang atraktif. Tepatnya, pada perdagangan 13 Januari 2021 saat hari pertama vaksinasi Covid-19, di mana IHSG ditutup pada level 6.435,21 (7,63 persen YtD) dan menjadi yang tertinggi sepanjang semester I-2021.
Namun, pergerakan IHSG lambat laun mulai turun hingga pada 19 Mei 2021 berada di level 5.760,58 (-3,65 persen YtD). Level tersebut merupakan yang terendah sepanjang enam bulan pertama perdagangan saham tahun ini.
Seiring gejolak pasar di semester I, bagaimana proyeksi kinerja pasar modal di semester II? Berikut pandangan Caroline Rusli CFA , Senior Portfolio Manager, Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia dalam ulasan pasar Seeking Alpha Edisi Juli 2021 :
Memasuki paruh kedua di tahun 2021, apakah arah perekonomian global yang diekspektasikan sejak paruh pertama lalu masih valid?
Sebelumnya saya akan menjelaskan bahwa ada beberapa tema global yang telah kami utarakan di awal tahun yang diperkirakan masih akan berlanjut di paruh kedua ini, seperti efek lonjakan inflasi Amerika Serikat yang bersifat transitory, dan berlanjutnya siklus pemulihan ekonomi global menuju level pra-pandemi.
Namun memasuki paruh kedua tahun ini ada dua tema global yang agak berubah, yaitu rencana normalisasi kebijakan Fed (Bank Sentral Amerika Serikat), ekspektasi kenaikan Fed Rate yang lebih cepat, beserta wacana tapering yang semakin mengemuka, dan kekhawatiran baru terkait penyebaran Covid-19 varian Delta di berbagai belahan dunia.
Yang menarik, reaksi pasar terlihat cenderung netral dan stabil menghadapi sikap Fed yang lebih ‘ketat’, di mana kondisi ini menunjukkan bahwa pasar sudah mengantisipasi kebijakan pengetatan bank sentral yang lebih cepat dibandingkan perkiraan. Langkah pengetatan yang sudah diantispasi ini juga turut menurunkan ekspekasi inflasi AS seperti yang ditunjukkan oleh turunnya US Breakeven Rate yang dapat berkontribusi pada membaiknya sentimen di pasar keuangan.
Sementara itu langkah vaksinasi yang digenjot di berbagai negara diharapkan dapat memutus rantai penyebaran dan mutasi virus.
Bisa dijelaskan lebih lanjut soal lonjakan inflasi lebih bersifat transitory?
Pertumbuhan inflasi AS di bulan Mei mencapai level tertinggi sejak tahun 2008 sebesar 5 persen secara tahunan (YoY). Meskipun secara angka terlihat fantastis, namun jika ditelaah lebih lanjut lonjakan tersebut lebih disebabkan oleh kenaikan harga komponen inflasi yang bersifat sementara yang didorong faktor pembukaan kembali ekonomi, seperti rental mobil, harga mobil bekas dan tiket pesawat.
Sementara komponen inflasi yang kenaikan harganya lebih sticky seperti perumahan malah relatif terjaga. Ke depannya setelah low base effect dari kenaikan harga komponen yang bersifat sementara tadi terlewati, lonjakan inflasi diperkirakan dapat turun.
Di tengah berbagai sentimen tersebut seperti rencana normalisasi kebijakan Fed dan penyebaran varian delta, bagaimana kondisi dan ekspektasi terhadap Asia sekarang?
Sama halnya dengan negara maju, prospek ekonomi Asia juga turut bergantung pada perkembangan penanganan pademi, dimana setiap negara menghadapi tantangan yang berbeda. Namun berita baiknya adalah sektor manufaktur di kawasan Asia masih bertumbuh dengan baik didukung oleh kuatnya permintaan ekspor.
Sebagai bagian dari rantai pasokan dunia, pemulihan global menguntungkan kawasan Asia. Harga komoditas yang kuat juga turut mengangkat sentimen. Kami menilai bahwa aset finansial di Asia masih menarik didukung oleh kebijakan moneter yang akomodatif dan Asia berada pada posisi yang lebih baik dibandingkan dengan periode Fed Taper di 2013.
Ketergantungan yang lebih rendah pada pendanaan eksternal, ketahanan ekonomi yang lebih baik dan tren global yang suportif dapat meminimalisir volatilitas pasar. Ke depannya, kecepatan peluncuran vaksinasi menjadi faktor penting yang menentukan seberapa cepat permintaan domestik dapat pulih.
Bagaimana kondisi kesehatan ekonomi domestik memasuki paruh kedua di tahun ini?
Khususnya di kuartal kedua lalu, sebetulnya arah perekonomian domestik semakin membaik. Hal ini tercermin dari beberapa indikator seperti manufaktur, ekspor, mobilitas, yang bahkan sudah melampaui level sebelum terjadinya pandemi di tahun lalu. Namun sayangnya memasuki kuartal ketiga ini momentum pemulihannya terhambat oleh peningkatan tajam kasus Covid-19 yang membuat diberlakukannya PPKM Darurat.
Seberapa besar dampaknya terhadap perekonomian akan bergantung pada periode berlangsungnya PPKM Darurat, karena pulau Jawa dan Bali berkontribusi sebesar 60 persen dari total perekonomian Indonesia. Kementerian Keuangan sempat berkomentar bahwa jika penyebaran virus dapat terkendali di bulan Juli dan aktivitas ekonomi dapat kembali normal di bulan Agustus maka pertumbuhan PDB di kuartal ketiga berpotensi mencapai 5 persen vs proyeksi sebelumnya 6,5 persen.
Ke depannya pemerintah akan mengerahkan berbagai upaya untuk menggenjot vaksinasi guna memutus rantai penyebaran dan mutasi virus. Pemerintah menargetkan 100 persen vaksinasi pada populasi sasaran vaksin pada Maret 2022.
Banyaknya populasi masyarakat negara maju yang telah mendapatkan satu dosis vaksin – misalnya 65 persen dari total populasi di Inggris dan 53 persen dari total populasi di AS – diharapkan dapat meredakan kekhawatiran kekurangan pasokan vaksin global. Apabila semua yang direncanakan pemerintah dapat berjalan dengan baik maka pemulihan ekonomi Indonesia diharapkan dapat terus berlanjut ke depannya.
Sekarang ini perhatian pasar tertuju kepada kenaikan angka kasus COVID-19 yang naik signifikan, bagaimana pandangan Anda terhadap outlook pasar saham Indonesia?
Sejauh ini pasar finansial Indonesia menunjukkan kinerja yang cukup terjaga, tercermin dari pergerakan IHSG yang cukup stabil. Koreksi yang terjadi pada saham big caps – seperti ditunjukkan pada kinerja LQ45 – diimbangi oleh kenaikan beberapa saham mid small cap yang didorong oleh tema spesifik. Pada level saat ini, ekspektasi negatif di beberapa saham sepertinya mulai priced-in, sehingga kami melihat koreksi ini tampaknya tidak akan berlanjut terlalu panjang.
Berkaca pada pengalaman negara yang mengalami gelombang kenaikan kasus harian, disrupsi terhadap ekonomi dan pasar finansial cenderung lebih terbatas dikarenakan penyesuaian aktivitas masyarakat selama pandemi dan kecenderungan pelaku pasar yang ‘forward looking’ terhadap pemulihan ekonomi, didorong optimisme laju vaksinasi yang semakin cepat.
Kondisi makro ekonomi yang lebih suportif seperti masuknya investasi portofolio asing, kinerja ekspor yang tinggi, CAD yang rendah dan cadangan devisa yang tinggi juga membantu menjaga stabilitas pada nilai tukar rupiah.
Apa risiko yang Anda cermati saat ini?
Defisit anggaran pemerintah menjadi salah satu risiko yang kami cermati, sebagai akibat dari penerapan PPKM Darurat akan mengharuskan pengucuran stimulus kembali untuk mendorong perekonomian untuk masyarakat kalangan bawah sehingga ada risiko realokasi anggaran belanja pemerintah dari sektor yang dianggap lebih rendah prioritasnya.
Apa strategi investasi yang diterapkan guna menghasilkan kinerja yang baik pada portofolio dan apa sektor andalan Anda saat ini?
Kami menilai ke depannya sektor new economy atau perusahaan yang bisa berkolaborasi dengan new economy akan lebih unggul karena dapat beradaptasi dengan ‘cara baru’ melakukan usaha yang akan semakin dominan kedepannya.
Beberapa bank besar pun turut beradaptasi dengan trend saat ini; dengan meluncurkan aplikasi digital dan memanfaatkan ekosistem yang telah mereka miliki saat ini yang skalanya juga sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan beberapa bank digital baru yang baru muncul belakangan.
Di samping itu kami juga melihat ada opportunity pada beberapa saham big caps yang telah terkoreksi cukup dalam untuk dapat kembali unggul begitu situasi pandemi membaik dalam beberapa bulan mendatang.
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.