Schroders: Kasus Covid-19 Masih Naik, Pasar Saham Sudah Move On
Schroders menilai IHSG masih berpotensi bangkit mengejar ketinggalan
Schroders menilai IHSG masih berpotensi bangkit mengejar ketinggalan
Bareksa.com - Pasar saham dipandang sebagai salah satu indikator untuk menilai kinerja ekonomi ke depan. Saat ini, meski kasus Covid-19 masih terus bertambah, pasar saham global, termasuk pasar saham Indonesia, terlihat bisa bertahan bahkan mulai merangkak naik.
Investment Director Schroders Indonesia Irwanti dalam paparannya mengatakan bahwa pasar saham global saat ini sudah tidak mempertimbangkan pertambahan kasus lagi karena sudah tercermin dari harga sekarang, atau istilahnya sudah priced in.
"Pasar saham global kelihatannya sudah move on dari isu peningkatan kasus Covid-19. Meskipun angka kasus terus naik, indeks saham cenderung datar atau bahkan menguat," ujar Irwanti dalam virtual conference bersama nasabah, 16 September 2020.
Promo Terbaru di Bareksa
Menurut data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 (Satgas Covid) per 17 September 2020 pukul 12:00 WIB, kasus terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 232.628, dengan pertambahan sebanyak 3.635 dalam sehari. Total yang sembuh mencapai 166.686 dan yang meninggal sebanyak 9.222 orang.
Seperti terlihat dalam grafik, jumlah kasus positif Covid-19 di dunia terus bertambah hingga mencapai 24 juta per akhir Agustus 2020. Akan tetapi, sejumlah indeks saham global seperti S&P Index (SPX) dan NASDAQ di Amerika Serikat dan Shanghai Composite Index (SHCOMP) di China, serta Indeks Harga Saham Gabungan (JCI Index) di Indonesia terpantau flat atau sedikit menguat sejak level terendahnya tahun ini di bulan Maret 2020.
Grafik Perbandingan Pergerakan Kasus Covid, IHSG dan Bursa Saham Global
Sumber: Schroders, Bloomberg, Woldometer
Menurut Irwanti, pasar saham Indonesia yang tercermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dinilai menarik. Sebab, IHSG sudah turun sangat banyak tetapi belum naik sekencang bursa saham di negara lain.
"Begitu vaksin Covid ditemukan, pasar saham yang paling terdampak positif adalah yang kinerjanya tertinggal, termasuk Indonesia," ujarnya.
Menurut data Bursa Efek Indonesia yang diolah Schroders, IHSG sudah turun 20 persen sepanjang tahun berjalan (year to date/YTD). Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi negara acuan sudah turun 7 persen YTD.
Grafik Pergerakan IHSG dan Yield Obligasi Indonesia
Sumber: Schroders, Bloomberg
Bila dibandingkan dengan sejumlah indeks saham global, kinerja IHSG termasuk tertinggal. Rasio harga terhadap laba per saham (PE ratio) IHSG di 18,92 kali juga sudah turun dan terbilang murah dibandingkan sejumlah negara seperti Thailand yang turun 19 persen dengan PE di 21,95 kali.
Tabel Kinerja dan Valuasi Bursa Saham Global
Sumber: Schroders
Irwanti mengatakan yang perlu diperhatikan saat ini berkaitan dengan kurs rupiah karena investor asing sudah banyak keluar. Kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah menembus 200.000 kasus, meski belum sebanyak kasus di India (5 juta) dan Filipina (270 ribu).
Kemudian, berita yang sedang menjadi sorotan pelaku pasar saat ini adalah soal kewenangan Bank Indonesia, yang tengah dibahas oleh Badan Legislasi DPR. Dalam pembahasannya, dalam mengambil keputusan moneter, Bank Indonesia harus berdiskusi dengan dewa moneter yang menurut pelaku pasar bisa membuat kebijakan makro menjadi kurang pruden.
Selain itu, situasi pemilu Amerika Serikat juga menjadi salah satu faktor yang penentu ekonomi global. Bila kandidat presiden AS yang nanti akan terpilih berbeda dengan yang sekarang menjabat, tentu menimbulkan perubahan kebijakan, terutama berkaitan dengan perdagangan global.
Perkembangan omnibus law di Indonesia juga menjadi salah satu penentu bagi pemulihan ekonomi. Sebab, omnibus law bisa menarik aliran dana asing yang ingin berinvestasi langsung (foreign direct investment/FDI) di Indonesia.
Sebagai informasi, IHSG adalah cerminan pasar saham Indonesia, yang menjadi acuan bagi investasi pasar modal lain seperti reksadana dan reksadana saham. Reksadana saham mayoritas portofolionya adalah saham yang bisa bergerak naik turun (fluktuatif) dalam jangka pendek sehingga memiliki risiko yang tinggi.
Investasi di reksadana saham dan investasi saham disarankan untuk investor dengan profil risiko tinggi, yang memiliki tingkat toleransi risiko tinggi atau agresif. Selain itu, investasi reksadana saham cocok untuk jangka panjang lebih dari lima tahun.
***
Ingin berinvestasi yang aman di reksadana dan diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Bareksa Community. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.