Bareksa.com - Berikut adalah intisari perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Rabu, 08 April 2020 :
Asosiasi Manajer Investasi Indonesia (AMII)
Asosiasi Manajer Investasi Indonesia (AMII) meyakinkan investor untuk tidak khawatir dengan adanya pemanggilan 46 manajer investasi (MI) yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin (6/4/2020).
Sebelumnya Otoritas Jaksa Keuangan (OJK) menjelaskan, pemanggilan 46 MI terkait Jiwasraya bertujuan untuk keperluan verifikasi. Pertemuan berlangsung di Gedung Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus kemarin.
Dalam suratnya seperti dikutip Kontan, OJK meminta sejumlah MI dan bank kustodian yang disebut namanya dalam lampiran surat, untuk datang ke Kejagung. Adapun perihal surat yakni permohonan pengalihan administrasi reksadana.
Surat itu menyatakan OJK memberitahukan akan ada penandatanganan berita acara penyitaan (BA-16) dan berita acara penitipan barang bukti (BA-17) dari penyidik Kejaksaan Agung RI atas unit penyertaan reksadana pihak yang diblokir.
"Ya, memang betul kemarin ada pemanggilan 46 MI dan beberapa bank kustodian ke Kejagung sebagai lanjutan proses hukum yang sedang berjalan terkait Asuransi Jiwasraya," kata Ketua AMII Edward Lubis dilansir Kontan.co.id, Selasa (7/4/2020).
Edward mengatakan, proses itu merupakan tindak lanjut pemblokiran sub-rekening efek milik investor yang ada di reksadana yang dikelola 46 MI.
"Jadi bukan penyitaan beberapa saham yang ada di dalam portofolio reksadana yang dikelola para MI tersebut seperti dalam pemberitaan (sebelumnya)," imbuh dia.
Selanjutnya, proses penyitaan sudah dilakukan oleh Kejagung (6/4). Bank kustodian berwenang untuk mewakili para investor pemilik rekening reksadana. Selain itu, bank kustodian yang juga berfungsi sebagai administrasi unit penyertaan dan seluruh harta dan kekayaan reksadana, maka Berita Acara Penyitaan dan Berita Acara Penitipan Barang Bukti telah ditandatangani oleh bank kustodian.
MI diminta hadir untuk tanda tangan sebagai saksi atas proses Penitipan Barang Bukti tersebut. Edward berharap klarifikasi ini dapat membantu pemahaman publik khususnya investor reksadana dan mendukung proses hukum yang sedang berjalan.
"Para Investor reksadana tidak perlu khawatir, karena proses penyitaan hanya dilakukan pada rekening milik investor yang terkait dalam proses pemeriksaan tersebut," ujar Edward.
Dilansir Kontan, Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot, sebelumnya menyampaikan tujuan pemanggilan untuk keperluan verifikasi. Di mana, Kejagung meminta otoritas untuk memanggil MI dan BK guna keperluan verifikasi sebelum Kejagung melakukan penyitaan beberapa saham yang ada dalam portofolio MI.
IHSG
Pemerintah akhirnya resmi mengambil opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus penularan virus corona (Covid-19). Adapun Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 9 Tahun 2020 menjadi acuan pelaksanaan PSBB ini.
Guna meminimalisir penyebaran Covid-19, pemerintah membatasi mobilitas masyarakat, seperti meliburkan sekolah dan tempat kerja hingga pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Setelah Menteri Kesehatan (Menkes) merestui opsi PSSB ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru melemah 0,69 persen ke level 4.778,64. Pelemahan ini mematahkan reli IHSG yang telah menguat tiga hari berturut-turut sejak Kamis (2/4/2020).
Meski begitu, Senior Vice President Research Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial menilai pelemahan IHSG kemarin lebih disebabkan oleh faktor teknikal.
"IHSG turun memang sudah waktunya karena secara teknikal sudah overbought. Padahal dampak penurunan pertumbuhan earning per share (EPS) untuk kuartal II 2020 belum terukur," ujar Janson kepada Kontan.co.id, Selasa (7/4/2020).
Janson menilai justru dengan adanya pembatasan sosial skala besar (dengan hanya industri tertentu yang diterapkan) merupakan kebijakan yang tepat bagi perekonomian dan pasar modal Tanah Air. Menurut dia, kebijakan ini sudah sesuai ketimbang guyuran insentif fiskal dan kebijakan pelonggaran moneter. Sebab, sumberdaya fiskal dan moneter yang dimiliki pemerintah saat ini juga terbatas.
Menurut dia satu-satunya katalis positif untuk IHSG saat ini adalah melandainya kurva kasus baru pasien Covid-19 dan berkurangnya jumlah kasus kematian akibat virus ini di Indonesia. Sehingga Janson menilai pencegahan penyebaran Covid-19 (dengan social discipline dan limited social interaction) merupakan respons kebijakan yang sangat layak untuk diimplementasikan saat ini.
Janson menilai, selama IHSG berada di bawah level 5.300, cepat atau lambat IHSG masih rentan mengalami koreksi lanjutan ke area support 4.200-an hingga akhir semester I 2020. Itu pun dengan catatan social distancing dapat berhasil diterapkan secara ketat untuk meminimalisir dan memutus mata rantai Covid-19.
"Warga negara kita benar-benar harus mematuhi instruksi pemerintah untuk menjalankan PSBB dengan disiplin," tutup Janson.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan hampir 170.000 nasabah dari empat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengajukan restrukturisasi kredit. OJK juga mengingatkan agar debitur yang punya kemampuan bayar tidak meminta keringanan cicilan.
"Debitur yang punya uang silakan membayar dan insentif bank akan diberikan lancar, ada dua kriteria prospek dan kondisi kreditur yang bisa dihilangkan," kata Ketua Dewan Komosioner OJK, Wimboh Santoso, saat rapat virtual dengan Komisi XI DPR kemarin, Selasa (7/4/2020).
Wimboh memaparkan, ada 134.258 nasabah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang mengajukan restrukturisasi dengan total saldo pokok dari plafon pinjaman yang telah disepakati dalam perjanjian kredit (baki debet) senilai Rp14,9 triliun.
Lalu ada 6.238 nasabah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang mengajukan restrukturisasi dengan baki debet Rp6,9 triliun. Lalu 17.481 nasabah PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) mengajukan restrukturisasi dengan baki debet Rp2,8 triliun, dan 10.592 nasabah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan baki debit Rp4,1 triliun.
Total nasabah yang mengajukan keringanan kredit ke empat bank tersebut mencapai 168.569 debitur. Total baki debet mencapai Rp28,7 triliun.
Di hadapan anggota Komisi XI DPR, Wimboh menegaskan nilai kredit debitur yang diprioritaskan untuk direstrukturisasi mencapai Rp10 miliar. Bahkan ada ada yang di atas Rp10 miliar.
"Itu harus restrukturisasi, karena untuk membayar pasti berat. Masih ada ruang yang mempunyai tanggungan atau kuat. Ini kita harapkan bisa beri ruang untuk bernafas, terkait permodalannya," kata Wimboh.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Setelah perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berencana memperluas jaminan dan cakupan simpanan untuk peserta BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, Dana Pensiun, Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH), dan lembaga lain.
Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih menjelaskan pihaknya akan memperluas penjaminan dana individu yang tergabung dalam institusi besar. Misalnya saja, dana BPKH berasal dari jamaah yang kemudian disimpan menggunakan nama rekening institusi.
"Kami akan meningkatkan perluasan penjaminan dana individu yang dikelola institusi besar termasuk dana dari institusi keagamaan. Tapi koperasi tidak masuk karena bukan di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," kata Lana dilansir Kontan.co.id, Selasa (7/4).
Tujuan perluasan cakupan ini untuk mengantisipasi dampak corona (Covid-19) terhadap sektor jasa keuangan. Dengan begitu, LPS dapat menjamin kepercayaan masyarakat di sektor perbankan melalui perluasan cakupan jaminan ini.
Selama ini LPS menjaminkan simpanan dengan nilai di bawah Rp2 miliar. Namun dengan adanya perluasan ini, maka penjaminan dana masyarakat bisa di atas Rp 2 miliar karena berasal dari kelompok besar.
"Misalnya saja jemaah membayar kebutuhan haji US$4.000 dan berapa juta juga untuk beli kursi keberangkatan haji berarti nilainya di bawah Rp2 miliar, tapi jika dikumpulkan per kelompok maka jadi banyak. Jadi kemungkinan nilai penjaminan BPKH dan BPJS Ketenagakerjaan di atas Rp2 miliar," jelasnya.
Hingga saat ini, LPS masih menyiapkan rancangan perluasan jaminan ini baru kemudian akan disinkronisasikan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan pemerintah. Nantinya kewenangan LPS diperluas mengenai cakupan dan penjaminan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP).
"PP masih perlu disinkronisasi antar lembaga, karena LPS berkaitan dengan OJK, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kemungkinan ada lebih dari satu PP yang mewakili masing-masing institusi tersebut," jelasnya.
Diperkirakan payung hukum itu bisa rampung sebelum semester I 2020 karena sudah ditagih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun diusahakan bisa lebih cepat demi mengantisipasi krisis ekonomi dan finansial di Indonesia.
Perluasan jaminan ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-udang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dalam aturan itu, LPS diberi kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan bagi kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana atau peruntukkan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP).
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan LPS dalam berupa langkah–langkah penanganan masalah sistem keuangan diatur dalam PP. Sementara untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Perppu 1/2020 mengamanatkan pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana diatur Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2004 tentang LPS.
"Ketentuan mengenai lembaga penyelenggara program jaminan, pendanaan, cakupan dan besaran nilai penjaminan ditetapkan dengan PP," demikian bunyi aturan tersebut.
(AM)