Bareksa.com - Industri pasar modal Indonesia, baik dari sisi pasar saham maupun reksadana masih tertinggal dari negara di kawasan Asia Tenggara lainnya.
Namun hal tersebut dinilai tidak menjadi hambatan karena Indonesia masih memiliki demografi penduduk yang beragam dan potensial untuk menjadi investor saham dan reksadana.
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, hingga Juni 2019 sebanyak 633 perusahaan sudah tercatat di bursa saham Indonesia. Sementara perusahaan yang baru tercatat sejak awal Januari hingga Juni 2019 mencapai 16 perusahaan dengan fund raising Rp2,4 triliun. Sedangkan pada 2018, sebanyak 57 emiten baru yang sudah tercatat di bursa saham dengan fund raising Rp15,7 triliun.
Direktur Utama BEI Inarno Djajadi menjelaskan apabila dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, jumlah perusahaan tercatat tersebut masih jauh lebih rendah.
Pada April 2019, Malaysia menjadi negara dengan emiten terbanyak, yakni 914 perusahaaan. Disusul Singapura sebanyak 740 perusahaan dan Thailand 708 perusahaan.
Dari segi kapitalisasi pasar, Indonesia masih tertinggal dari Singapura yang sudah membukukan US$733,27 miliar dan Thailand yang mencapai US$543,74 miliar.
"Namun kapitalisasi pasar Indonesia yang mencapai US$516,57 miliar pada April 2019 masih lebih unggul dari Malaysia yang mencapai US$408,51 miliar dan Filipina US$282,51 miliar." ujar dia di Jakarta belum lama ini.
Kendati tertinggal dibandingkan Malaysia, Singapura dan Thailand dari jumlah perusahaan tercatat, namun pertumbuhan jumlah perusahaan tercatat di Indonesia tertinggi peningkatannya.
Sejak tahun 2014 hingga April 2019, jumlah perusahaan tercatat di Indonesia meningkat 24,3 persen. Sementara di Malaysia, jumlah perusahaan tercatat dalam kurun waktu 5 tahun hanya meningkat 1 persen, Singapura malah menurun 4,5 persen dan Thailand meningkat 15,5 persen.
Menurut Inarno, BEI akan melakukan beberapa strategi untuk mengembangkan pasar modal Indonesia. Bentuk strategi tersebut adalah dengan mengembangkan produk derivatif, membentuk platform perdagangan surat utang di Bursa Efek, membuat papan akselerasi agar perusahaan kecil dan menengah bisa menggalang dana dari pasar modal, membuat sistem electronic IPO dan inisiatif lainnya.
Industri Reksadana
Selain tertinggal dari sisi industri pasar modal, asset under management (AUM) atau dana kelolaan industri reksadana Indonesia juga lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Rendahnya nilai AUM tersebut dinilai menjadi sebuah potensi besar untuk mengembangkan industri reksadana di masa mendatang.
Executive Vice President, Head of Wealth Management and Client Growth PT Bank Commonwealth, Ivan Jaya, menyatakan berdasarkan data OJK, pada Oktober 2018, industri reksadana Indonesia memiliki dana kelolaan US$37 miliar.
"Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang sudah mencatatkan AUM reksadana masing-masing US$106 miliar dan US$156 miliar," ujar dia.
Bahkan apabila dibandingkan dengan negara seperti Singapura dan Amerika Serikat (AS), AUM reksadana Indonesia jauh terbelakang. Kedua negara tersebut membukukan AUM masing-masing US$2,4 triliun dan US$22,5 triliun.
Apabila melihat persentase nilai AUM reksadana terhadap produk domestik bruto (PDB) negara-negara tersebut, Singapura dan AS sudah melampaui 100 persen. Yakni 664,64 persen untuk Singapura dan 104,68 persen untuk Amerika Serikat. Angka itu jauh di atas Indonesia yang baru 3,61 persen terhadap PDB.
Begitu juga dengan pemegang unit reksadana dibandingkan populasi penduduk. Di Singapura sudah mencapai 69,16 persen, Malaysia 61,19 persen, dan AS 17,1 persen. Sedangkan Indonesia baru 0,24 persen.
Sama seperti industri pasar modal, Ivan mengungkapkan Indonesia masih memiliki potensi tinggi untuk berkembang pesat. "Kesempatan Indonesia untuk bisa bertumbuh lebih banyak, karena Singapura kelihatan sudah mentok," kata dia.
Namun memang ada sejumlah hambatan, di antaranya kurangnya literasi masyarakat Indonesia terhadap industri reksadana. Selain itu, belum banyak juga edukasi yang membantu untuk meningkatkan literasi tersebut.
Ivan mengungkapkan masyarakat Indonesia saat ini masih menganggap investasi yang lebih menguntungkan adalah di tanah atau emas. Hal ini membuat kepemilikan unit reksadana di Indonesia relatif kecil sehingga banyak didominasi kepemilikan asing.
Digitalisasi dan peran pemerintah menurut Ivan bisa membantu meningkatkan literasi masyarakat terhadap investasi. Seperti misalnya dalam inisiatif penjualan surat berharga negara ritel secara online. Hal ini membuat instrumen investasi tidak hanya bisa diakses oleh masyarakat menengah ke atas, namun juga masyarakat menengah ke bawah.
Reksadana adalah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi, atau deposito.
Reksadana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka.
(AM)
***
Ingin berinvestasi di reksadana?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.