Bareksa.com – Laju pasar saham tahun ini cenderung lebih lambat dan kalah oleh pergerakan obligasi, khususnya obligasi negara. Selain karena faktor suku bunga, daya tarik terhadap aset surat utang negara mendapat dukungan dari berkurangnya supply risk, mengingat pemerintah telah menuntaskan 40 persen target penerbitan selama tahun 2019.
Strategic Briefing rilisan PT Bahana TCW Investment Management yang diterima Bareksa, mengulas lebih dalam mengenai hal itu. Kepala Ekonom Bahana TCW IM Budi Hikmat memaparkan, Bank Indonesia akan merespon pelonggaran the Fed dengan turut melonggarkan likuiditas setelah 2018 lalu pre-emptive menaikkan suku bunga hinga 175 bps yang memperlebar spread terhadap inflasi.
“Kemungkinan pelonggaran itu dilakukan melalui kebijakan macro prudential seperti penurunan giro wajib minimum dan aturan loan to value ratio. BI bisa jadi menghindari optical policy melalui penurunan suku bunga mengingat rupiah masih berisiko melemah selama triwulan kedua terkait faktor musiman pembayaran dividen,” tulis Budi.
Selain faktor suku bunga, daya tarik aset surat utang negara juga ditopang oleh berkurangnya supply risk mengingat pemerintah telah menuntaskan sekitar 40 persen target penerbitan selama tahun 2019. Budi menyampaikan, patut diingat bahwa dinamika pasar surat utang negara selama tahun 2018 lebih diwarnai oleh currency risk bukan credit risk.
Menurut Budi, currency risk dapat dicermati melalui spread antara yield SBN rupiah dan dollar yang cenderung melebar. Sementara credit risk, selain melalui angka credit default swap, juga melalui spread antara yield SBN dollar dan T-bond dollar yang cenderung menurun.
Currency Risk Menjadi Penyebab Tingginya Yield Saat Ini
Sumber: Bahana TCW IM
“Kami menyarankan obligasi negara berjangka panjang (long-duration). Selain mengantisipasi potensi penurunan suku bunga BI, kami duga pemerintah bakal berhemat “jual mahal” dengan menawarkan yield yang lebih rendah termasuk pada tenor jangka panjang,” imbuhnya.
Di sisi lain, dengan menggunakan nilai input 8 April 2019 model Bahana TCW IM menaksir yield sebesar 7,32 persen, lebih rendah dibanding yield aktual 7,57 persen. Untuk proyeksi akhir tahun 2019, model kami mengindikasikan yield obligasi pemerintah 10 tahun berada pada rentang 6,79 persen hingga 7,79 persen.
Saham Butuh Penguatan Daya Beli
Rumus baku valuasi saham mengingatkan kita bahwa valuasi saham dapat meningkat dengan kombinasi penurunan discount factor yang terkait penurunan yield SBN dan pertumbuhan free cash flow. Free cash flow ini bersumber dari penguatan daya beli masyarakat.
Bahana TCW IM menilai kebijakan populis selama dua tahun terakhir baru menjadi faktor penyeimbang atas penurunan harga komoditas primer. Secara fundamental, penguatan daya beli membutuhkan upaya agar Indonesia lebih mendapat lebih banyak manfaat dari perdagangan internasional.
“Itu sebabnya mutlak bagi Indonesia untuk memacu re-industrialisasi dan turisme,” papar Budi.
Sementara itu, penguatan saham akan terbatas. Hal ini mengacu pada pertumbuhan uang beredar M1 riil yang mencerminkan daya beli efektif hanya tumbuh sebesar 0,08 persen pada Februari 2019.
Arus Inflow 2019 Ytd Melebihi Total 2018
Sumber: Bahan TCW IM
Kondisi ini melandasi model Bahana TCW IM yang memproyeksikan IHSG pada akhir 2019 berada pada rentang 6.506 – 7.081. Proyeksi ini sejalan dengan pertumbuhan laba konservatif sekitar 10 persen yang tidak jauh berbeda dari pertumbuhan GDP nominal.
“Kami melihat kinerja investasi saham lebih ditentukan pemilihan emiten (stock picking) yang disesuaikan dengan tantangan lingkungan eksternal dan internal,” jelas Budi. (hm)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.