Negosiasi Dagang AS-China Dikabarkan Tiada Hasil, Bagaimana Dampak ke IHSG?

Bareksa • 18 Feb 2019

an image
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump (kanan tengah) dan Presiden China Xi Jinping (paling kiri) saat makan malam bersama usai pertemuan pemimpin-pemimpin negara G-20 di Buenos Aires, Argentina (01/12/2018). (akun Twitter @WhiteHouse)

Dalam sepekan kemarin, IHSG tercatat anjlok 2,03 persen point to point ditutup di level 6.389

Bareksa.com - Sepekan kemarin, pergerakan pasar saham Tanah Air terlihat mengalami tekanan berat, bahkan hingga hampir berturut-turut berakhir di zona merah. Dalam periode 11 hingga 15 Februari 2019, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat anjlok 2,03 persen point to point ditutup di level 6.389,09.

Secara sektoral, hampir seluruhnya berakhir di zona merah pada pekan kemarin, kecuali infrastruktur dan perdagangan yang masing-masing menguat tipis 0,02 persen dan 0,01 persen.

Sementara itu, tiga sektor yang mencatatkan pelemahan terdalam yaitu aneka industri (-5,9 persen), properti (-4,64 persen), dan pertambangan (-3,06 persen).

Di sisi lain, investor asing terpantau masihcukup banyak melepas saham domestik dengan mencatatkan penjualan bersih (net sell) yang signifikan di seluruh pasar sepanjang pekan lalu senilai Rp3,33 triliun

Alhasil jika sejak awal tahun 2019 hingga saat ini, investor asing masih mengakumulasikan pembelian bersih (net buy) Rp10,97 triliun.

Saham-saham yang terbanyak dilepas investor asing dalam sepekan kemarin :

1. Saham ASII (Rp683,4 miliar)
2. Saham BBCA (Rp660,8 miliar)
3. Saham UNTR (Rp170,8 miliar)
4. Saham BMRI (Rp163,9 miliar)
5. Saham BNLI (Rp161,0miliar)

Berbagai Sentimen Pekan Lalu

Sepekan kemarin, seluruh mata tertuju kepada perkembangan negosiasi dagang Amerika Serikat (AS) dengan China yang digelar di Beijing.

Pada hari Senin hingga Rabu, negosiasi dagang tingkat wakil menteri dilangsungkan, disusul oleh negosiasi tingkat menteri pada hari Kamis dan Jumat. Negosiasi tingkat menteri tersebut melibatkan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, dan Wakil Perdana Menteri China Liu He.

Selama negosiasi tingkat wakil menteri berlangsung, kedua negara kompak mengeluarkan pernyataan bernada positif.

Bahkan pada hari Selasa, Presiden AS Donald Trump menyebut dirinya berharap bisa bertemu dengan Presiden China Xi Jinping jika kesepakatan dagang AS-China sudah hampir selesai. Trump juga menyebut periode gencatan senjata yang akan berakhir pada 1 Maret bisa diperpanjang.

Namun sayangnya, saat memasuki negosiasi tingkat menteri, hawa negatif justru mulai terasa. Pada Kamis, Bloomberg melaporkan AS dan China nyaris tidak mencapai progres apapun dalam negosiasi dagang yang digelar di Beijing.

Dalam rapat tertutup yang digelar, kedua pihak gagal untuk menipiskan ketidaksepahaman terkait reformasi struktural yang diminta AS kepada China.

Perkembangan ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan perpanjangan periode gencatan senjata. Jika Trump sampai tidak puas dengan hasil negosiasi dagang, periode gencatan senjata menjadi sangat mungkin untuk tidak diperpanjang dan bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$200 miliar akan dinaikkan jadi 25 persen (dari yang saat ini 10 persen) mulai 2 Maret.

Kemudian pada Jumat siang pasca negosiasi tingkat menteri selesai digelar, para delegasi berpisah tanpa mengumumkan apapun, seperti dilansir dari AFP.

Sementara dari dalam negeri, sentimen negatif berupa rilis data ekonomi membuat bursa saham Tanah Air menjadi bulan-bulanan investor.

Sepanjang kuartal IV 2018, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) diumumkan senilai US$9,1 miliar atau 3,57 persen dari PDB, naik dari capaian kuartal III 2018 yang sebesar 3,37 persen dari PDB. Capaian tersebut merupakan yang terparah sejak kuartal II 2014.

Alhasil, rupiah mencatatkan pelemahan yang signifikan. Sepanjang pekan lalu, mata uang Garuda melemah hingga 1,29 persen di pasar spot. Pelemahan rupiah pada akhirnya membuat investor kabur dari pasar saham domestik.

Kemudian pada hari Jumat, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan eskpor turun 4,7 persen YoY sepanjang Januari 2019, lebih dalam dari konsensus yang memperkirakan penurunan 0,61 persen YoY.

Sementara itu, impor terkoreksi 1,83 persen YoY, juga lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang memperkirakan koreksi 0,79 persen YoY.

Alhasil, defisit neraca dagang bulan Januari 2019 mencapai US$1,16 miliar, lebih dalam dari konsensus yang senilai US$925,5 juta. Defisit pada Januari membengkak jika dibandingkan dengan defisit Desember 2018 yang senilai US$1,03 miliar dan jika dibandingkan defisit Januari 2018 yang senilai US$756,02 juta.

Defisit neraca dagang periode Januari 2019 yang senilai US$ 1,16 miliar merupakan defisit bulan Januari yang terparah dalam setidaknya 12 tahun terakhir. Sebagai catatan, biasanya bulan Januari justru menghasilkan surplus.

Dalam 12 tahun terakhir, hanya 4 kali neraca dagang membukukan defisit pada Januari, sementara surplus tercatat sebanyak 8 kali.

Analisis Teknikal IHSG


Sumber: Bareksa

Menurut analisis Bareksa, secara teknikal pergerakan IHSG sepanjang pekan lalu terlihat jelas mengalami tekanan cukup signifikan dengan posisi candle yang dari hari ke hari makin lebih rendah.

Selain itu, posisi IHSG yang pekan kemarin meninggalkan level psikologis 6.400, membuat adanya potensi koreksi semakin kuat dengan support saat ini berada di level 6.355.

Kondisi garis lower bollinger band yang terlihat mulai bergerak ke bawah, menandakan adanya sinyal koreksi pada IHSG.

Indikator relative strength index (RSI) juga terpantau terus bergerak turun dan telah memasuki area netral, mengindikasikan momentum penurunan yang cukup kuat.

(KA01/AM)

DISCLAIMER

Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.