Bareksa.com - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pergerakan yang cukup volatil sepanjang Agustus 2018.
Meski begitu, IHSG masih mampu ditutup menguat 1,38 persen di level 6.018 jika dibandingkan penutupan pada akhir bulan sebelumnya (Month on Month/MoM).
Tujuh faktor internal maupun eksternal menjadi sentimen yang cukup menjadi sorotan pelaku pasar mewarnai jalannya perdagangan IHSG sepanjang Agustus kemarin.
Di antaranya :
1. Krisis Turki
Turki sempat berada di ambang krisis ekonomi setelah mata uang lira terpuruk karena dampak dari kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menaikkan bea masuk aluminium dan baja hingga dua kali lipat masing-masing menjadi 20 dan 20 persen pada Jumat (10/8/2018).
Keputusan Trump tersebut menyebabkan nilai tukar lira anjlok hingga 18 persen terhadap dolar AS di waktu itu, sekaligus merupakan penurunan harian yang terparah sejak tahun 2001 silam.
2. Kebijakan B20
Rencana pemerintah yang ingin mengoptimalkan program B20 atau mencampurkan biodisel 20 persen ke bahan bakar minyak direspons positif oleh IHSG khususnya sektor pertanian.
Kebijakan tersebut dianggap bisa mengurangi ketergantungan impor dan mengurangi tekanan kepada rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS.Di tengah lesunya permintaan global.
Aturan tersebut akan mendorong industri sawit dalam negeri kembali bergairah. Pasalnya, produksi yang mereka hasilkan akan terserap lebih maksimal akibat adanya aturan tersebut.
3. Data Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2018 di atas ekspektasi. Sepanjang April hingga Juni 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh 5,27 persen (year on year/YoY).
Capaian tersebut mengalahkan pertumbuhan kuartal I 2018 yang tumbuh 5,06 persen YoY, serta posisi kuartal II 2017 yang tumbuh 5,01 persen YoY.
4. Cadangan Devisa Menyusut
Rilis cadangan devisa Indonesia yang mengalami penurunan US$1,5 miliar di akhir Juli 2018 menjadi sentimen negatif yang sempat membuat IHSG terkoreksi.
Stabilisasi nilai tukar menjadi faktor dominan anjloknya cadangan devisa tersebut. Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa Indonesia pada Juli 2018 sebesar US$118,3 miliar, turun dari posisi Juni 2018 yang senilai US$119,8 miliar.
Pergerakan IHSG Agustus 2018
Sumber : Bareksa
5. Neraca Perdagangan Indonesia
BPS melaporkan neraca perdagangan pada Juli 2018 mencatatkan defisit US$2,03 miliar. Kondisi tersebut disebabkan ekspor pada Juli 2018 yang hanya tumbuh 19,33 persen secara tahunan (YoY), sementara impor melaju lebih cepat hingga 31,56 persen YoY.
Defisit neraca perdagangan yang begitu lebar akan memberikan tekanan lebih lanjut bagi transaksi berjalan (current account deficit). Pada kuartal II 2018, defisit transaksi berjalan sudah menembus 3 persen dari produk domestik bruto (PDB), yakni di level 3,04 persen.
6. Kenaikan BI 7 Days Repo Rate
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG-BI) pada Agustus 2018, memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 5,5 persen.
Kenaikan tersebut cukup mengejutkan karena tidak sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar. Adapun kenaikan tersebut dilakukan untuk memancing arus modal investor asing ke dalam negeri serta mencegah pelemahan nilai tukar rupiah akibat kondisi dolar AS yang begitu perkasa.
7. Krisis Argentina
Pada 30 Agustus 2018 nilai tukar peso anjlok 11,65 persen terhadap dolar AS. Alhasil, sejak awal tahun nilai tukar peso telah rontok 103,98 persen melawan greenback, penurunan terdalam dibandingkan mata uang negara lainnya.
Dikhawatirkan situasi Argentina akan meledak seperti Turki beberapa waktu lalu. Investor menjadi memilih bermain aman dan meninggalkan negara-negara berkembang.
(AM)