Bareksa.com - Pasca menyentuh level tertinggi sepanjang masa pada sebulan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus melemah bahkan menghapus peningkatan sepanjang 2018. Meskipun demikian, pelemahan yang terjadi akibat sejumlah sentimen negatif dari pasar global dan domestik ternyata tidak hanya menimpa pasar saham Indonesia.
Dalam satu bulan terakhir, (19 Februari-19 Maret 2018) IHSG anjlok hingga 6 persen dari titik tertingginya sepanjang zaman pada di level 6.689,29 ke level 6.289,57. Sedangkan bila dilihat dari awal tahun atau secara year to date (YTD) hingga penutupan 19 Maret 2018, IHSG hanya terkoreksi 1,04 persen.
Grafik: Pergerakan IHSG Year to Date
Sumber: Bareksa.com
Namun, menurut data Bursa Efek Indonesia, penurunan pasar saham tidak hanya terjadi di Indonesia. Di kawasan ASEAN, kinerja pasar modal Indonesia secara YTD berada di urutan ke 5 dari 6 negara yang dipantau, alias masih ada yang memiliki performa lebih buruk.
Adapun yang turun paling dalam di ASEAN adalah indeks saham di Bursa Filipina dengan penurunan sebesar 3,77 persen.
Jika dibandingkan dengan bursa kawasan Asia Pasifik, Indonesia berada di urutan ke sembilan dari 13 negara. Negara yang berkinerja terburuk di kawasan Asia Pasifik adalah Jepang dengan return minus 5,64 persen
Lalu, jika dibandingkan dari 36 lainnya di seluruh dunia, Indonesia masih berada di urutan ke 18 atau di pertengahan daftar jika dilihat sejak awal tahun (YTD). Negara yang mengalami penurunan indeks paling dalam adalah Inggris (UK) yang secara YTD turun 7,73 persen, sementara posisi selanjutnya adalah Switzerland yang turun 5,82 persen.
Negara lainnya yang mengalami pelemahan pasar saham paling dalam sejak awal tahun adalah Polandia sebesar 5,8 persen, Jepang turun 5,64 persen dan Arab Saudi sebesar 5,29 persen.
Sumber: Bursa Efek Indonesia
Pergerakan IHSG sendiri tertekan berbagai sentimen mulai dari dalam dan luar negeri yang masih cenderung kurang kondusif.
Isu perang dagang yang dipicu oleh Amerika Serikat (AS) masih menjadi topik yang cukup hangat diperbincangkan pelaku pasar. Mereka menyoroti dampak yang kemungkinan timbul atas genderang perang yang ditabuh oleh Donald Trump terhadap mitra utama perdagangan mereka yakni China.
AS kembali menerapkan kebijakan yang menyudutkan China. AS bersiap mengenakan tarif bea masuk impor produk lain dari China setelah sebelumnya memberlakukan penetapan tarif impor baja dan aluminium.
Presiden AS, Donald Trump membidik China langsung sebagai negara yang selama ini dianggap menjalankan perdagangan berat sebelah dengan AS. Pasalnya, defisit neraca dagang AS dengan China terus melebar setiap tahun. Defisit dagang AS dengan China sepanjang 2017 semisal, tercatat sebesar US$375,22 miliar atau naik 8,12 persen dari tahun 2016 yang sebesar US$347,01 miliar.
Sementara itu ekspor AS ke China di 2017 hanya US$130,36 miliar, namun impor AS dari China sebesar US$505,59 miliar. Menurut Trump, mengurangi defisit dagang ini menjadi langkah paling efektif untuk mengurangi gempuran impor.
The Fed juga telah memperkirakan kenaikan suku bunga sebanyak tiga kali pada tahun ini. Banyak ekonom memperkirakan bank sentral AS akan menaikkan proyeksi kenaikan menjadi empat kali pada tahun ini karena kondisi pasar tenaga kerja dan inflasi yang menguat.
Para ekonom percaya bahwa pasar tenaga kerja yang kuat, pelemahan dolar dan stimulus fiskal dalam bentuk pemotongan pajak serta peningkatan belanja pemerintah akan mendorong inflasi ke level yang ditetapkan The Fed tahun ini yakni 2 persen.
Ukuran inflasi yang disukai Fed, yaitu indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi, yang mengecualikan komponen makanan dan energi, telah melampaui targetnya sejak Mei 2012.
Di samping itu, AS berhasil menambahkan 313.000 pekerjaan di bulan Februari 2018, yang memberikan kepercayaan analis bahwa penjualan ritel bisa rebound segera pada April.
Sentimen dari dalam negeri adalah defisit neraca perdagangan untuk tiga bulan berturut-turut pada Februari 2018. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat memperlebar defisit transaksi berjalan. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memprediksi bahwa defisit transaksi berjalan akan mencapai 2,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya 1,7 persen. (hm)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.