Bareksa.com - Berikut adalah perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Selasa, 7 Juli 2020 :
Surat Berharga Negara (SBN)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menaikkan target mingguan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Tujuannya, untuk membiayai belanja manfaat non-publik dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
"Peningkatan target mingguan penerbitan SBN ini untuk mengantisipasi pembiayaan sampai akhir tahun," kata Sri Mulyani dalam konferensi video, Senin (6/7) dilansir Katadata.
Perinciannya, target penerbitan Surat Utang Negara (SUN) akan ditingkatkan dari Rp30 triliun menjadi Rp40 triliun. Sedangkan target penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) akan diperbesar dari Rp10 triliun menjadi Rp15 triliun.
Menkeu menjelaskan, jika pasar tidak bisa menyerap penerbitan SBN sesuai target, bank sentral akan menyerap kekurangan target tersebut. Artinya, Bank Indonesia (BI) akan menjadi pembeli siaga atau stand by buyer bagi SBN yang akan diterbitkan untuk belanja manfaat non-publik.
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan biaya untuk menangani dampak pandemi virus corona Rp903,46 triliun. Adapun pembiayaan akan dilakukan melalui penerbitan SBN.
Untuk pembiayaan belanja bagi manfaat publik Rp397,56 triliun, pemerintah menerbitkan SBN khusus, yang nantinya dibeli BI. Sementara untuk pembiyaaan belanja manfaat non-publik, SBN diterbitkan melalui mekanisme pasar.
Harga Emas
Harga emas kembali mendekati level US$1.800 per troy ounce setelah dalam beberapa sesi sempat tertahan dan gagal menggapai level psikologis. Berdasarkan data Bloomberg, yang dilansir Bisnis.com, harga emas berjangka Comex untuk kontrak Agustus 2020 naik 0,08 persen menjadi US$1.795 per troy ounce hingga Senin (6/7/2020) pukul 20.38 Waktu New York atau Selasa (7/7/2020) pukul 07.38 Waktu Jakarta.
Sementara itu, harga emas di pasar spot juga terpantau naik 0,07 persen menjadi US$1.785,88 per troy ounce. Monex Investindo Futures dalam laporannya menyebut pelaku pasar masih menaruh perhatian pada perkembangan kasus Covid-19 baru di Amerika Serikat, terutama di sejumlah negara bagian dilanda gelombang kedua penyebarna virus.
Monex memperkirakan harga emas akan melaju bila menembus level resisten US$1.790. Saat ini level resisten sudah tembus untuk harga emas berjangka. Di saat yang sama, jumlah kasus infeksi virus Corona (Covid-19) terpantau merangkak menjadi lebih dari 11,7 juta orang di seluruh dunia. Wali Kota Atlanta ditemukan positif terinfeksi virus ini.
Dikutip dari www.worldometers.info, jumlah kasus Covid-19 global mencapai total 11.717.549 hingga Senin (6/7/2020) malam waktu GMT atau Selasa (7/7/2020) pagi pukul 6.34 WIB. Sebanyak 6.622.189 orang di antaranya berhasil sembuh, 539.836 pasien meninggal dunia, dan 4.555.524 pasien masih terinfeksi.
Kontribusi terbesar banyaknya kasus infeksi tetap dipegang AS yang mencatat 3.029.704 atau mengalami penambahan 46.776 kasus baru pada Senin. Sebanyak 132.852 di antara total jumlah kasus tercatat meninggal dunia dan 1.309.795 sembuh.
Bank Indonesia - Kemenkeu
Kementerian Keuangan menyatakan dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, pemerintah meluncurkan stimulus yang mencakup bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan bagi dunia usaha. Guna memenuhi kebutuhan pembiayaan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional tersebut, pemerintah telah memperlebar defisit APBN 2020, dari semula 1,76 persen PDB menjadi 5,07 persen (Perpres 54 Tahun 2020) dan 6,34 persen (Perpres 72 Tahun 2020).
"Presiden selalu menekankan bahwa penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional merupakan tanggung jawab bersama. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kembali bersinergi untuk berbagi beban (burden sharing) dalam melaksanakan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Kedua antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan dan Deputi Gubernur BI," demikian keterangan tertulis Kemenkeu (6/7/2020).
Burden sharing antara pemerintah dengan BI ini, kata Kemenkeu, dilakukan dengan prudent, penerapan tata kelola yang baik (good governance), serta transparan dan akuntabel. Skema burden sharing juga berpegang pada beberapa prinsip utama yaitu menjaga fiscal space dan sustainability dalam jangka menengah, menjaga kualitas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan untuk belanja yang produktif dan mendukung penurunan defisit APBN secara bertahap menjadi di bawah 3 persen mulai tahun 2023.
"Selain itu, implementasi burden sharing juga dilakukan dengan menjaga stabilitas nilai tukar, suku bunga, dan inflasi agar tetap terkendali serta memperhatikan kredibilitas dan integritas pengelolaan ekonomi, fiskal, dan moneter sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang sustainable," ungkap Kemenkeu.
Pengaturan skema burden sharing dalam SKB Kedua ini berlaku untuk pembiayaan APBN tahun 2020, sedangkan untuk pembiayaan tahun-tahun berikutnya akan disusun sesuai dengan kebutuhan pembiayaan APBN tahun bersangkutan.
Skema burden sharing didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit. Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemda. Sedangkan pembiayaan untuk non-public goods yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha, terdiri dari pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), korporasi non-UMKM, dan non-public goods lainnya.
"Untuk pembiayaan public goods, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dengan mekanisme private placement dengan tingkat kupon BI reverse repo rate, di mana BI akan mengembalikan bunga/imbalan yang diterima kepada pemerintah secara penuh," ujar Kemenkeu.
Sementara itu, pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, akan ditanggung oleh pemerintah melalui penjualan SBN kepada market dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1 persen. Sementara itu, untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh pemerintah sebesar market rate.
"Dengan demikian, pembiayaan non-public-goods tetap dilakukan melalui mekanisme pasar (market mechanism) dan BI bertindak sebagai standby buyer/last resort sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Pertama tanggal 16 April 2020," Kemenkeu menjelaskan.
Sebagai ilustrasi, untuk kelompok public goods, pemerintah menerbitkan SBN kepada BI dengan suku bunga acuan BI reverse repo rate. Sesuai tanggal jatuh tempo SBN, Pemerintah membayar bunga/imbalan kepada BI. Selanjutnya, pada hari yang sama BI akan mengembalikan bunga/imbalan kepada Pemerintah sebagai kontribusi BI sesuai skema burden sharing.
Penerapan skema burden sharing bukan hal baru dan tidak hanya dilakukan Indonesia. Skema ini juga dilakukan oleh beberapa negara lain, seperti Inggris, Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Thailand. Negara-negara tersebut terbukti dapat tetap menjaga tingkat inflasi dan nilai tukar meskipun menggunakan skema burden sharing ini. Selain itu berdasarkan laporan Bank of International Settlement (BIS) yang dipublikasikan tanggal 2 Juni 2020 disebutkan bahwa bank sentral di beberapa negara berkembang juga berperan sebagai last resort, seperti Mexico, Hungaria, Filipina dan Turki.
Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pemeriksaan teknis kepada 32 emiten (perusahaan publik) di Bursa Efek Indonesia (BEI) selain juga melakukan pemeriksaan kepatuhan tahun ini terhadap sebanyak 40 perusahaan efek (sekuritas) dan 40 perusahaan manajer investasi (MI) serta produk pengelolaan investasinya.
Langkah itu dilakukan sebagai upaya otoritas dalam menerbitkan pelanggaran kepatuhan emiten, sekuritas (broker), manajer investasi (MI), sekaligus menjaga industri investasi dan pasar modal di Tanah Air agar tetap aman dan bertumbuh secara berkelanjutan.
"Pemeriksaan kepatuhan di 2020, dilakukan terhadap 32 emiten," tulis keterangan yang disampaikan OJK dalam dokumen bertajuk Reformasi Sektor Jasa Keuangan Bidang Pasar Modal OJK, Senin (6/7/2020) dilansir CNBC Indonesia.
Sepanjang tahun 2019, OJK melakukan supervisory action yakni pemantauan emiten yang belum melaksanakan RUPS yakni sebanyak 26 emiten. Selain itu dilakukan supervisi terhadap semua emiten atas pemenuhan kewajiban pemilikan web emiten.
Tahun lalu, otoritas yang didirikan berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2011 ini juga melakukan aksi pengawasan di antaranya tindakan tertentu berupa penghentian kegiatan usaha tertentu terhadap 10 perusahaan efek (broker), teguran tertulis terhadap 3 perusahaan efek, dan pembekuan izin 1 WPPE (wakil perantara pedagang efek). Dari sisi MI, OJK juga melakukan perintah untuk melakukan tindakan tertentu kepada 36 perusahaan MI.
Pada 9 Oktober tahun lalu, OJK juga membubarkan 6 produk reksadana fixed return, alias produk reksadana yang diterbitkan MI tetapi memberikan janji keuntungan pasti, milik PT Minna Padi Aset Manajemen. Saat itu OJK menemukan dua reksadana yang dikelola Minna Padi dijual dengan janji return pasti (fixed return) masing-masing 11 persen antara waktu 6 bulan-12 bulan. Padahal, kedua reksadana tersebut, yaitu RD Minna Padi Pasopati Saham dan RD Minna Padi Pringgondani Saham adalah reksa dana saham yang sifatnya terbuka.
Tak hanya itu, pada 2019, OJK juga melakukan pembekuan izin 1 wakil manajer investasi (WMI) dan pemeriksaan investigatif (penyidikan) terhadap 1 manajer investasi. Dalam dokumen tersebut, OJK juga menjelaskan ragam tipologi pelanggaran kepatuhan perusahaan emiten yang selama ini terjadi. Setidaknya ada lima ragam pelanggaran, yakni :
1. Keterbukaan informasi pemegang saham tertentu
2. Situs web emiten
3. Penyelenggaraan RUPS/RUPSLB
4. Tata kelola emiten/perusahaan publik
5. Kesalahan penyajian laporan keuangan emiten/perusahaan publik.
Gaji ke-13 PNS
Kementerian Keuangan menyatakan pemerintah masih belum bisa memastikan waktu pencairan gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil (PNS) serta anggota TNI dan Polri. Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, pemerintah hingga saat ini belum melakukan pembahasan mengenai pencairan gaji ke-13. Sebab, pemerintah masih fokus dalam penanganan pandemi Covid-19 serta dampak yang mengikutinya.
"Masih fokus menangani Covid-19 dan dampaknya yang urgent dan mendesak," ujar dia dilansir Kompas.com, Senin (6/7/2020).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo. Pihaknya mengaku belum bisa menjawab mengenai pencairan gaji ke-13. Pasalnya, pemerintah masih fokus dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
(*)