Bareksa.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi minus lebih dalam akibat tekanan pandemi virus corona (Covid-19). Meskipun ekonomi Indonesia mengalami resesi, masih ada harapan untuk bangkit kembali dengan belanja pemerintah dan kekuatan daya beli domestik.
Kementerian Keuangan merevisi perkiraan angka pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen, atau terkontraksi lebih dalam dibandingkan perkiraan sebelumnya minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen.
"Ini artinya negative teritory terjadi pada kuartal III dan kemungkinan masih berlangsung pada kuartal IV yang kita berusaha mendekati nol atau positif," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual APBN KITA, Selasa (22/9/2020).
Secara teknikal, sebenarnya Indonesia sudah mengalami resesi (technical recession) karena terjadi dua kontraksi beruntun secara kuartal ke kuartal (QtQ). Pada kuartal I 2020 secara QtQ PDB Indonesia minus 2,41 persen dan kuartal II minus 4,19 persen.
Meskipun demikian, hal ini sudah diprediksi oleh para analis dan pelaku pasar. Syailendra Capital dalam Monthly Bulletin September 2020 menilai ekonomi Indonesia pada kuartal III tahun ini mulai pulih.
"Beberapa indikator aktivitas perekonomian Indonesia kembali melanjutkan perbaikan pada Agustus 2020, setelah membaik pada Juni dan Juli pasca dimulainya PSBB transisi di sebagian besar wilayah Indonesia," tulis riset Syailendra Capital yang telah dibagikan kepada nasabah.
Grafik Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Sementara itu, Investment Director Schroders Indonesia Irwanti menilai bahwa meski pasar saham sudah tidak banyak bereaksi terhadap pertumbuhan kasus virus corona Covid-19, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Menurutnya, kunci utama pemulihan ekonomi tergantung belanja negara.
"Indonesia sangat bergantung pada konsumsi domestik, maka langkah pemerintah penting untuk mendorong daya beli masyarakat," ujar Irwanti dalam virtual conference dengan klien Schroders.
Selain itu, hal yang juga penting berkaitan dengan pemulihan ekonomi adalah ketersediaan vaksin. Sebab, masalah utama dari tekanan ekonomi adalah pandemi yang menurunkan aktivitas masyarakat.
Perkembangan omnibus law, yang disebut juga sebagai undang-undang sapujagat, di Indonesia juga menjadi salah satu penentu bagi pemulihan ekonomi karena bisa menarik aliran dana asing yang ingin berinvestasi langsung (foreign direct investment/FDI) di Indonesia. Pengesahan omnibus law oleh DPR bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus, terutama berkaitan dengan ekonomi yang bisa mendorong investor asing masuk ke Indonesia.
Leo Rinaldy, Ekonom Mandiri Sekuritas, menilai bahwa ekonomi Indonesia sejauh ini masih ditopang oleh sektor informal, yang mendominasi sekitar 60 persen PDB. Para pekerja sektor informal mendapatkan penghasilan yang tidak pasti, apalagi di masa pandemi saat ini.
"Kita perlu meningkatkan sektor informal menjadi formal, sehingga konsumsi bisa naik. FDI bisa mengakomodasi hal itu. Jika omnibus law bisa disahkan, Indonesia bisa menikmati struktur PDB yang lebih kuat dengan peningkatan sektor formal dari informal," ujar Leo dalam virtual conference dengan Schroders.
***
Ingin berinvestasi yang aman di reksadana dan diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.