IHSG Anjlok ke Level 8 Tahun Lalu, Bagaimana Data Ekonominya?
Pelemahan IHSG secara YTD hingga 23 Maret 2020 seiring dengan depresiasi rupiah terhadap dolar AS
Pelemahan IHSG secara YTD hingga 23 Maret 2020 seiring dengan depresiasi rupiah terhadap dolar AS
Bareksa.com - Pasar modal Tanah Air masih dalam tren penurunan, tertekan sentimen penyebaran virus corona Covid-19 yang diprediksi menghantam pertumbuhan ekonomi global.
Sejak awal tahun hingga 23 Maret 2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang jadi acuan pasar modal sudah turun 36,67 persen, dengan ditutup di level 3.989. Angka tersebut merupakan yang terendah sejak 8 tahun terakhir.
Menurut data Bursa Efek Indonesia yang diolah Bareksa, level penutupan IHSG kemarin (23/03/2020) sudah menyamai level di Mei 2012. Pada saat itu, IHSG juga sedang berfluktuasi hingga turun 12,7 persen dalam sebulan karena krisis utang Eropa dan perlambatan ekonomi China.
Promo Terbaru di Bareksa
Dari segi ekonomi secara makro, bagaimana kondisi saat ini? Benarkah lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pada 2012? Berikut kompilasi data yang diolah Bareksa.
Pelemahan IHSG secara year to date (per 23 Maret 2020), seiring dengan depresiasi yang dialami oleh mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Menurut data Bareksa, rupiah terdepresiasi hingga 15 persen secara YTD sehingga, nilai dolar menguat ke Rp16.600 per dolar AS pada 23 Maret 2020.
Grafik Pergerakan IHSG dan Nilai Tukar Rupiah/Dolar AS
Sumber: Bareksa.com
Sementara itu, pada 2012, IHSG tertekan sekitar 10 persen dalam waktu sebulan. Namun, nilai tukar rupiah tidak terdepresiasi terlalu dalam, sekitar 4,5 persen sejak awal tahun hingga Mei 2012.
Kemudian, proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh Bank Indonesia telah direvisi menjadi di kisaran 4,2-4,6 persen, lebih rendah dibandingkan sebelum isu virus corona menyebar di kisaran 5,2-5,6 persen. Pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia aktual masih di 6 persen, meski lebih rendah dari tahun sebelumnya tetapi jauh lebih tinggi daripada proyeksi di 2020.
Tabel Perbandingan Data Ekonomi 2012 Vs 2020
Sumber: Kompilasi Bareksa
Berkaitan dengan peningkatan harga, inflasi pada 2020 terbilang masih rendah. Per Februari 2020, inflasi tahunan hanya 2,98 persen. Sementara itu, pada 2012, inflasi tahunan mencapai 4,45 persen.
Bank Indonesia, menanggapi potensi perlambatan global juga menggunakan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga menjadi 4,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur BI Maret 2020. Sementara itu, pada Mei 2012, suku bunga acuan sebesar 5,75 persen.
Dari sisi cadangan devisa, per Februari 2020 Indonesia masih memiliki cadangan devisa US$130,4 miliar sedangkan pada Mei 2012 cadangan devisa sebesar US$111,5 miliar.
Yang perlu diperhatikan adalah rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terbilang meningkat menjadi 30,21 persen. Padahal di 2012, rasio ini masih di kisaran 26,90 persen.
Kemudian, kredit macet yang tercermin dalam rasio non-performing loan gross per Februari 2020 mencapai 2,70 persen. Angka ini tidak jauh berbeda dengan NPL gross pada 2012 di 2,3 persen, masih di terjaga di bawah level 5 persen yang dibatasi regulator.
Kebijakan Stimulus
Berkaitan dengan kondisi saat ini, Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan mulai memberikan kebijakan stimulus untuk mendorong ekonomi. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kebijakan dalam tiga bidang, yaitu bidang moneter, bidang fiskal, dan bidang perbankan.
Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (7 DRRR) 25 basis poin menjadi 4,5 persen. Bahkan, BI telah melakukan injeksi likuiditas hingga Rp192 triliun untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah wabah virus corona (Covid-19).
Pada 19 Maret 2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai menerapkan kebijakan pemberian stimulus bagi perekonomian melalui penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid 19).
Secara spesifik, pada 20 Maret 2020 OJK menerbitkan surat yang memberikan relaksasi dan stimulus untuk industri reksadana. Ada lima poin penting dalam kebijakan tersebut yang diharapkan dapat memelihara keberlangsungan industri pengelolaan investasi dari dampak kondisi perekonomian yang berfluktuasi akibat pandemi virus corona atau Covid-19
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,96 | 0,58% | 4,31% | 7,57% | 8,73% | 19,20% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.094,08 | 0,44% | 4,48% | 7,05% | 7,51% | 2,61% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,18 | 0,60% | 3,97% | 7,04% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,13 | 0,53% | 3,89% | 6,64% | 7,38% | 16,99% | 40,43% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.269,81 | 0,81% | 3,87% | 6,51% | 7,19% | 20,23% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.