Investor Asing Keluar dari Pasar Saham dan Obligasi, Perlukah Ikut Panik?
Net foreign sell di pasar saham mencapai Rp8,55 triliun sepanjang tahun ini
Net foreign sell di pasar saham mencapai Rp8,55 triliun sepanjang tahun ini
Bareksa.com – Pandemi virus corona (COVID-19) benar-benar menjadi momok menakutkan bagi pasar saham dunia di tahun ini, termasuk Indonesia. Namun, hal ini bisa menjadi kesempatan bagi investor dengan pandangan jangka panjang untuk membeli aset berisiko.
Sejak awal tahun hingga Selasa (17/03/2020), kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah ambles 29,25 persen year to date (YtD). COVID-19 yang terus mewabah di seluruh dunia telah menebar ketakutan bagi investor. Ada ancaman krisis global yang dibayangkan oleh para pemilik modal dampak dari kebijakan isolasi yang memutus mata rantai ekonomi dunia.
Kepanikan investor setidaknya terlihat dari keluarnya investor asing dari bursa saham Tanah Air. Mengutip data Bursa Efek Indonesia, investor asing tercatat sudah membukukan aksi jual bersih (net sell) Rp8,55 triliun sepanjang tahun ini (per Selasa, 17/03/2020).
Promo Terbaru di Bareksa
Sumber: IDX, diolah Bareksa
Ketakutan terhadap penyebaran COVID-19 ini tampaknya belum berhenti. IHSG masih berpotensi terkoreksi, meski sebagian pelaku pasar menilai saat ini secara teknikal IHSG sudah berada pada level bottom dan valuasi saham-saham sudah sangat murah.
Namun asumsi fundamental dan teknikal terasa diabaikan dalam situasi yang panik seperti saat ini. Apalagi virus corona belum ditemukan obatnya, meskipun tingkat penyebarannya sudah bisa terkendalikan, khususnya di China.
Virus corona sudah membuat ketidakpastian dalam ekonomi global. Namun demikian, berharap para investor lebih rasional dalam melihat peluang investasi di pasar saham.
Investor Asing Juga Keluar dari Pasar Obligasi
Selain meninggalkan bursa saham Tanah Air, investor asing juga tampak “kabur” dari pasar obligasi domestik.
Mengutip data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu), kepemilikan investor asing di SBN pada akhir Desember 2019 mencapai Rp 1.061,86 triliun. Namun, per 13 Maret 2020, nilainya terpangkas menjadi Rp 1.005,41 triliun atau berkurang Rp56,44 triliun.
Sumber: DJPPR, diolah Bareksa
Menurut data DJPPR Kemenkeu, sejalan dengan menurunnya nilai kepemilikan asing, persentase kepemilikan asing di SBN juga berkurang dari 38,57 persen menjadi 35,49 persen. Hal itu mengindikasikan bahwa berkurangnya kepemilikan asing di SBN bukan semata karena turunnya harga atau nilai SBN, tapi juga karena mereka melepas portofolio tersebut.
Kenaikan premi credit default swap (CDS) secara signifikan sepanjang Maret 2020 membuat dana asing mengalir ke luar dari instrumen surat utang Indonesia.
Sumber: http://www.worldgovernmentbonds.com/
Premi credit default swap (CDS) bertenor 5 tahun sejak awal tahun sudah naik 148,476 poin ke level 210,711 pada, Selasa (17/03/2020). Posisi itu terus merangkak naik dan menjadi posisi tertinggi sejak awal tahun.
Credit Default Swap (CDS) merupakan kontrak antara penjual dan pembeli CDS dengan membayar biaya (fixed premium) pada periode tertentu (maturity) dan kompensasi tertentu apabila terjadi credit event. Dengan kata lain, CDS adalah sejenis perlindungan/proteksi atas risiko kredit (credit event).
Semakin tinggi nilai CDS, maka dapat mencerminkan risiko gagal bayar (default) sebuah instrumen sedang tinggi, sehingga untuk membeli “asuransi: gagal bayar itu menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan ketika risikonya rendah.
Di sisi lain, data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan, nilai aset investor asing di pasar modal Indonesia turun sekitar Rp23,29 triliun, yaitu dari Rp1.977,59 triliun pada Desember 2019, menjadi Rp1.744,64 triliun pada Februari 2020.
Harapan Kebangkitan Ekonomi
Pada akhirnya, virus corona akan mereda. Setelah panik bisa diatasi, ekonomi diproyeksi akan kembali tidak hanya mengikuti jejak jangka panjangnya, tetapi bisa lebih baik daripada sebelumnya karena akan didukung kebijakan pemerintah dan bangkitnya permintaan.
Pranay Gupta, CFA, profesor di Nanyang Technological University, Singapura menilai pasar pun akan mengikuti ekonomi, meski gampang goyah karena sentimen sesaat. "Meski lingkungan terlihat membingungkan, ini mungkin waktu terbaik untuk membeli aset berisiko," ujar Gupta seperti dikutip Strait Times (17/03/2020).
Mesipun demikian, tidak ada yang tahu kapan pasar akan turun hingga menyentuh dasarnya (bottom) sebelum kembali naik. Namun, kita bisa mulai membuat daftar aset untuk dibeli.
"Buat investor saham, pilihlah saham blue chip, jangan saham spekulatif. Dan bila Anda investor reksadana jangka panjang, pastikan Anda berinvestasi dengan manajer investasi besar dengan berbagai jenis portofolio," pesan Gupta.
Menurutnya, manajer investasi besar yang memiliki sumber daya cukup bisa menyediakan produk reksadana tradisional yang dikelola aktif, tetapi juga yang pasif, kuantitatif dan strategi alternatif. Sehingga, manajer investasi semacam ini cocok untuk mengelola dana investor di tengah turbulensi ekonomi saat ini.
Chief Research and Business Development Officer Bareksa, Ni Putu Kurniasari menilai kondisi pasar yang sedang turun saat ini bisa menjadi kesempatan untuk membeli reksadana di harga murah. "IHSG sudah murah sekali, ibarat toko sedang sale (diskon). Kapan lagi bisa membeli saham-saham bluechip dengan harga murah?" ujarnya.
Dengan kondisi saat ini, reksadana indeks saham yang dikelola secara pasif patut dilirik oleh investor agresif dengan horison investasi jangka panjang. Sebab, menimbang kondisi sebelumnya, investasi di produk berbasis saham dalam 6 bulan setelah krisis bisa mencatat return tinggi. Simak produk reksadana favorit hasil seleksi tim analis Bareksa di sini.
Reksadana adalah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi, atau deposito.
Reksadana saham berisikan mayoritas saham yang memiliki risiko berfluktuasi tinggi dalam jangka pendek tetapi berpotensi memberi imbal hasil tinggi dalam jangka panjang. Karenanya, reksadana saham disarankan untuk investor agresif dengan profil risiko tinggi dan jangka waktu panjang.
(KA01/hm)
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.384,88 | 0,21% | 4,05% | 7,72% | 8,08% | 19,46% | 38,34% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.095,38 | 0,14% | 4,09% | 7,18% | 7,47% | 3,23% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.084,98 | 0,55% | 4,00% | 7,61% | 7,79% | - | - |
Capital Fixed Income Fund autodebet | 1.853,59 | 0,53% | 3,86% | 7,19% | 7,36% | 17,82% | 41,07% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.287,69 | 0,82% | 4,11% | 7,35% | 7,53% | 19,98% | 35,83% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.