Bareksa.com - Berikut adalah intisari perkembangan penting di pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Kamis, 17 Oktober 2019 :
Jiwasraya
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang perdana gugatan enam nasabah ke PT Asuransi Jiwasraya. Hanya, dalam sidang ini, tak ada satupun perwakilan Jiwasraya datang, baik manajemen maupun kuasa hukum. Sidang pun harus ditunda karena menunggu perwakilan dari Jiwasraya datang ke PN Jakarta Pusat.
Dikutip Kontan, Kuasa Hukum nasabah, Bintang Wosbon Jhon Rinaldi Butartar menyebut, pengadilan akan kembali memanggil pihak tergugat yakni Jiwasraya. Nilai gugatan enam nasabah itu Rp40,35 miliar.
Awal mula kasus ini, saat enam nasabah membayar sejumlah premi ke Jiwasraya untuk jangka waktu 12 bulan pada produk Jiwasraya Plan. Ini produk asuransi jiwa yang memberi manfaat proteksi dan investasi sebesar nilai pokok dan hasil investasi yang dijamin.
Tapi, sampai waktu yang dijanjikan, Jiwasraya tak memenuhi nilai pokok dan nilai tunai jatuh tempo periode investasi keseluruhan. Tak kunjung dibayar, nasabah memberikan surat teguran hukum alias somasi ke Jiwasraya tiga kali selama Agustus 2019.
“Tergugat belum membayar kewajiban klien kami. Atas dasar itu, kami melakukan gugatan wanprestasi,” kata Bintang.
Pertumbuhan Ekonomi
Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan laju pertumbuhan ekonomi dunia semakin berat. Meski masih tumbuh jauh lebih baik, kelompok emerging markets dan negara berkembang di Asia tak lepas dari bayang-bayang perlambatan ekonomi akibat melesunya ekonomi China.
Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) October 2019 yang dikutip Kontan, IMF memprediksikan pertumbuhan ekonomi negara kelompok emerging markets dan negara berkembang hanya 3,9 persen pada akhir tahun ini.
Tekanan terhadap ekonomi kelompok emerging markets itu merupakan imbas dari proyeksi pelambatan ekonomi global menjadi 3 persen dari proyeksi sebelumnya 3,3 persen pada tahun ini.
Untuk kelompok emerging markets dan negara berkembang di kawasan Asia, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,9 persen dan naik tipis menjadi 6 persen pada tahun 2020.
Khusus ekonomi Indonesia, IMF memproyeksikan bisa tumbuh 5 persen tahun 2019. Proyeksi ini tidak berubah dari proyeksi sebelumnya pada Juli 2019 dan juga sejalan dengan proyeksi World Bank belum lama ini.
Kredit Perbankan
Survei Perbankan Bank Indonesia mengindikasikan pertumbuhan triwulanan kredit baru melambat pada triwulan III 2019 dan diprakirakan kembali meningkat pada triwulan IV 2019.
Perkembangan tersebut tercermin dari saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan kredit baru pada triwulan III 2019 sebesar 68,3 persen, lebih rendah dibandingkan 78,3 persen pada triwulan sebelumnya. Berdasarkan jenis penggunaan, perlambatan tersebut terutama bersumber dari kredit investasi dan kredit konsumsi.
Sementara itu, pada triwulan IV 2019 pertumbuhan kredit baru diprakirakan meningkat, didorong oleh optimisme terhadap kondisi moneter dan ekonomi yang menguat dan juga risiko penyaluran kredit yang relatif terjaga.
Sejalan dengan prakiraan meningkatnya pertumbuhan kredit baru, kebijakan penyaluran kredit pada triwulan IV 2019 diprakirakan lebih longgar, terindikasi dari Indeks Lending Standard (ILS) 11,8 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan 12 persen pada triwulan sebelumnya.
Uang Elektronik
Sejumlah Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV tengah menanti izin bekerja sama dengan penerbit uang elektronik asing seperti Alipay, dan WeChat Pay ke Bank Indonesia (BI).
Dikutip Kontan, Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Ida Nuryanti menjelaskan, pengajuan izin tersebut terkait kerjasama operasi dengan penyelenggara dompet elektronik asing di dalam negeri.
Dalam aturan BI terkait uang elektronik, proses penyelesaian (settlement) transaksi uang elektronik penyelenggara dompet elektronik asing harus di dalam negeri.
Selain itu, penerbit asing untuk menyimpan dana mengambang minimal 30 persen di BUKU IV. Sementara maksimal 70 persen ditempatkan di Surat Berharga Negara (SBN) atau instrumen keuangan lain yang diterbitkan pemerintah.
“Saat ini kita sedang proses. Karena izin operasi Alipay atau WeChat Pay akan kami berikan ke bank yang bekerjasama dengannya, bukan ke mereka,” katanya.
Proses settlement yang bekerjasama dengan BUKU UV juga berlaku untuk fintech pembayaran di dalam negeri. Tujuannya agar tidak menjadi shadow banking. Targetnya akhir tahun ini izin kepada bank-bank tersebut sudah bisa keluar.
Fintech Ilegal
Satgas Waspda Investasi telah memblokir situs maupun aplikasi dari 1.477 financial technology (fintech) ilegal. Jumlah tersebut terhitung sejak tahun 2018 sampai Oktober 2019.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengatakan banyak platform ilegal yang telah diblokir dan beroperasi kembali dengan nama berbeda. Saat ini, pihaknya masih kesulitan memberantas fintech ilegal.
“Sama seperti perbuatan jahat, kami tidak bisa mendeteksi begitu saja. Bahkan kami sudah memanggil Google untuk menutup aplikasi fintech ilegal, tetapi mereka tidak bisa karena dalam sehari ada satu juta aplikasi yang masuk ke Google,” kata Tongam.
Terlebih, masih banyak masyarakat menggunakan fintech ilegal. Biasanya, mereka menggunakan layanan ini untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Bahkan, Satgas Waspada Investasi sampai menemukan peminjam yang mengakses 141 fintech dengan total utang sampai Rp200 juta.
“Akibat itu, seorang ibu hampir bunuh diri karena tidak bisa membayar utang. Saya menerima informasi, dia sampai ditelepon 250 kali dalam sehari oleh penagih utang,” ungkapnya.
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI)
Hingga kuartal III 2019, perseroan mampu menjaga momentum pertumbuhan dengan juga mengelola kualitas aset. Penyaluran kredit BNI masih mencatat pertumbuhan yang sangat baik di kisaran 14 persen.
Dikutip investor.id, Direktur Tresuri dan Internasional BNI Bob Tyasika Ananta mengatakan, meskipun sedikit mengalami perlambatan dibandingkan periode semester I 2018, pencapaian tersebut masih di atas angka pertumbuhan kredit secara industri.
"Pertumbuhan tersebut masih sesuai dengan proyeksi pertumbuhan kredit perusahaan sebelumnya, ditengah situasi yang terpengaruh oleh kondisi global yang masih belum pasti," kata Bob.
Bob menjelaskan kinerja tersebut terutama masih didorong oleh pertumbuhan kredit di segmen korporasi dan segmen kecil. Hal itu juga berkaitan dengan permintaan yang masih bagus di kedua segmen tersebut yang disertai dengan kualitas kredit yang terjaga berkat penerapan strategi ekspansi yang selektif diiringi oleh penerapan prinsip manajemen risiko yang prudent.
"Kualitas kredit tersebut dapat dijaga dan ditunjukkan dengan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) sebesar 1,8 persen dan credit cost sebesar 1,3 persen," ujar dia.
(*)