Berita Hari Ini : Risiko Kredit Bank BUMN Berat, Yield Obligasi Asia Tertinggi
Anggota baru saham Indonesia di FTSE, uang beredar capai Rp5.937,5 triliun, OJK bentuk LAPS fintech
Anggota baru saham Indonesia di FTSE, uang beredar capai Rp5.937,5 triliun, OJK bentuk LAPS fintech
Bareksa.com - Berikut ini adalah intisari perkembangan penting di pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Senin, 2 September 2019 :
Bank BUMN
Headline Kontan hari ini membahas mengenai beban keuangan bank-bank BUMN di tengah drama pergantian direksi. Kontan menulis, kondisi ekonomi lesu menyebabkan banyak perusahaan atau kreditur kesulitan likuiditas.
Promo Terbaru di Bareksa
Ancaman kredit macet juga datang dari perusahaan afiliasi BUMN sendiri. Ambil contoh perusahaan baja negara, PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang harus merestrukturisasi utang-utangnya karena kesulitan likuiditas.
Dari laporan keuangan per Juni 2019, KRAS memiliki utang US$1,33 miliar kepada bank BUMN dan lembaga keuangan pemerintah. Beban lain yang tak kalah besar datang dari Duniatex Group Total utang grup tekstil ini Rp18,6 triliun dan US$1,3 miliar.
Ketiga bank BUMN termasuk anak usaha syariahnya tersangkut di situ. Totalnya Rp4,3 triliun dan US$305 juta. Duniatex juga tengah merancang rencana restrukturisasi utang akibat kesulitan likuiditas.
Belum lagi kasus perusahaan asuransi BUMN yakni PT Jiwasraya yang gagal membayar polis jatuh tempo produk JS Saving Plan karena likuiditas. Kementerian BUMN sudah memerintahkan perusahaan jasa keuangan pelat merah membantu penyelamatan Jiwasraya.
Direktur Manajemen Risiko BNI Bob Tyasika Ananta, yang baru saja jadi Direktur Tresuri dan Internasional mengakui, kondisi saat ini berat bagi bank, karena ekonomi sedang bergeser. Namun, penyaluran kredit ke perusahaan BUMN tidak sampai membebani.
Imbal Hasil Obligasi
Pasar obligasi dengan imbal hasil tertinggi di Asia memberikan return yang buruk pada Agustus. Obligasi Indonesia dan India berada pada peringkat terendah di regional Asia dengan return hampir mencapai nol meskipun imbal hasil riil berada pada kisaran setidaknya 3 persen.
Jika dibandingkan, obligasi Thailand dengan hanya imbal hasil riil 0,6 persen memberikan hasil yang luar biasa. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan meningkatnya ketegangan perang dagang sehingga menurunkan minat investor untuk membeli obligasi di negara dengan peringkat kredit yang kurang menarik.
Akibatnya, harga obligasi pun tertekan dan menimbulkan kerugian bagi investor pemilik surat utang tersebut. Menurut Stuart Ritson yang dikutip Bisnis.com, manajer portofolio untuk obligasi emerging market di Aviva Investors, Singapura, jika proyeksi pertumbuhan terus mengalami penurunan dan secara negatif berdampak pada risk appetite, akibatnya akan menekan mata uang serta pasar obligasi di emerging market yang berkaitan dengan mata uang.
"Negara dengan yield tinggi seperti Indonesia salah satunya. Kami sangat selektif dalam memposisikan diri di pasar dengan imbal hasil yang tinggi," ujarnya.
FTSE
FTSE kembali melakukan review atas anggota FTSE Global Equity Index. Komposisi saham asal Indonesia juga berubah. Ada saham-saham baru yang dari Indonesia yang masuk indeks tersebut.
Saham-saham tersebut adalah PNBN, BTPS, TOPS, JPFA, TARA, SRIL, SOCI, ISSP dan FREN. Susunan indeks baru ini akan efektif per tanggal 23 September 2019 mendatang. Tapi analis menilai tidak semua saham tersebut menarik dikoleksi. Hanya beberapa saham yang masih cukup menarik untuk dilirik pelaku pasar saat ini.
Seperti dikutip Kontan, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan, dari sembilan saham yang jadi anggota baru indeks FTSE tersebut, saham SRIL dan JPFA cukup menarik untuk diperhatikan. "Sejauh ini baru dua itu saja menurut pantauan saya," kata Hans.
Hans menilai prospek SRIL masih menarik di tengah fluktuasi nilai tukar rupiah. Begitu juga di tengah masuknya barang China akibat sentimen perang dagang antara AS dengan China.
Uang Beredar
Bank Indonesia merilis laporan likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas. Disebutkan bahwa uang beredar tumbuh meningkat pada Juli 2019 sebesar 6,9 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Bank Indonesia menyatakan likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas atau posisi M2 pada Juli 2019 tercatat Rp5.937,5 triliun.
Peredaran ini meningkat 7,8 persen (YoY), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya 6,9 persen. Adapun akselerasi M2 bersumber dari pertumbuhan komponen uang beredar dalam arti sempit (M1) serta uang kuasi.
"M1 tumbuh meningkat, dari 4,9 persen (YoY) pada Juni 2019 menjadi 7,4 persen (YoY) pada Juli 2019, baik dari komponen uang kartal maupun giro rupiah," tulis Bank Indonesia dalam laporan yang dikutip Bisnis.com.
Fintech
Yang dinanti-nanti akhirnya bakal segera terwujud. Dalam waktu dekat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mempersiapkan lembaga penyelesaian sengketa di industri financial technology (fintech). Salah satu yang dipersiapkan adalah para ahli yang kompeten mengurusi masalah fintech.
“Yang penting orangnya saja dulu yang mengerti sengketa fintech. Jangan sampai orang dari multifinance mengurusi ini karena setiap orang punya kapasitas yang berbeda-beda,” kata Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sarjito seperti dikutip Kontan.
Ke depan lembaga ini akan dilebur dengan enam lembaga penyelesaian sengketa dari sektor jasa keuangan lain. Di bawah naungan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS), regulator menargetkan penyatuan lembaga tersebut rampung pada 2020.
Enam lembaga tersebut adalah Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Mediasi dan Arbitrases Asuransi Indonesia (BMAI), serta Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP). Ada juga Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI), serta Badan Mediasi Pembiayaan dan Pergadaian Indonesia (BMPPI).
(AM)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,65 | 0,56% | 4,26% | 7,54% | 8,69% | 19,21% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.093,4 | 0,43% | 4,43% | 6,99% | 7,44% | 2,54% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,4 | 0,60% | 3,98% | 7,06% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,45 | 0,53% | 3,89% | 6,66% | 7,38% | 17,02% | 40,39% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.270,42 | 0,81% | 3,88% | 6,54% | 7,20% | 20,19% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.