Bareksa.com - Berikut adalah intisari perkembangan penting di pasar modal dan aksi korporasi yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Kamis, 13 Juni 2019 :
Pajak Digital
Dengan dalih kebutuhan dana untuk pembangunan, pemerintah memutuskan mengambil langkah unilateral dalam memajaki perusahaan multinasional khususnya yang bergerak di sektor digital.
Langkah ini diambil di tengah klaim The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang menyebutkan ada perkembangan baru terkait konsensus pemajakan ekonomi digital yang ditargetkan selesai 2020 mendatang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan tanpa adanya regulasi baru seperti yang telah dibuat oleh Inggris misalnya dengan skema diverted profit tax atau equlisation levy dari India, pemerintah telah memiliki basis yang kuat untuk memajaki sektor tersebut.
Terlebih, beberapa waktu lalu, pemerintah juga telah menerbitkan beleid yang mempertegas status bentuk usaha tetap (BUT) dalam rezim perpajakan di Indonesia.
Obligasi
Bulan ini, ada cukup banyak obligasi perusahaan lokal yang bakal jatuh tempo. Seperti dikutip Kontan, nilainya mencapai Rp14,54 triliun. Beberapa di antaranya merupakan utang dari emiten berkapitalisasi pasar besar.
Salah satunya PT Indofood SUkses Makmur Tbk (INDF) yang obligasi jatuh temponya mencapai Rp2 triliun. Lalu PT Indosat Tbk (ISAT) dengan obligasi jatuh tempo Rp1,2 triliun.
PT Intiland Development Tbk (DILD) juga punya utang jatuh tempo Rp428 miliar. Intiland berencana membayar utang dari penerbitan obligasi II tahun 2016 seri A tersebut.
Sekretaris perusahaan DILD Theresia Rustandi mengatakan pihaknya sudah memiliki dana dari pinjaman sindikasi Bank BNI dan Bank BCA dengan nilai Rp2,8 triliun.
“Pinjaman sindikasi ini sudah masuk dalam rencana untuk membayar obligasi yang jatuh tempo,” ujar dia seperti dikutip Kontan.
Asuransi Jiwa
Penempatan investasi pada instrumen jangka panjang dinilai dapat mendorong kinerja hasil investasi industri asuransi jiwa pada 2019, setelah sempat mencatatkan kinerja yang loyo pada tahun lalu.
Seperti dikutip Bisnis Indonesia, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menjelaskan, kinerja investasi dari produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI atau unit-linked) mencatatkan kinerja yang kurang baik pada 2018, seiring kondisi pasar modal yang menantang.
Hal tersebut membuat hasil investasi industri asuransi jiwa secara keseluruhan pada 2018 menurun hingga 88 persen, dari Rp50,19 triliun pada 2017 menjadi Rp7,83 triliun pada 2018.
Meskipun begitu, menurut Togar, kinerja tersebut masih tertolong oleh hasil investasi dari produk non unit-linked. Untuk itu, lanjut Togar, pada tahun ini industri asuransi jiwa disarankan untuk menggenjot investasi produk non unit-linked. Langkah tersebut menurutnya perlu diterapkan dengan memperhatikan instrumen investasi yang akan dipilih.
Fintech
Pemberi pinjaman ke perusahan teknologi finansial atau fintech terus bertambah. Hingga April 2019 sebanyak 456.452 orang atau lembaga yang menaruh duit di fintech. Jumlah itu naik dibandingkan bulan Maret yang tercatat 272.458 yang menarik pemberi pinjaman atau biasa disebut lender itu tidak cuma dari dalam negeri.
Seperti dikutip Kontan, Otoritas Jasa Keuangan mencatat, bulan April 2019 ada 2.769 lender dari luar negeri yang menaruh duit di fintech lokal.
Para pemain fintech juga terus mengincar kehadiran lender dari luar negeri ini. Misalnya PT Digital Alpha Indonesia atau UangTeman.
“Sesuai komposisinya, kontribusi penyedia dana pinjaman dari luar negeri lebih besar dari lokal. Tapi saya tidak punya angkanya,” ujar SVP Corporate Affairs UangTeman Adrian Dosiwoda seperti dikutip Kontan.
Investasi Indonesia
Sasaran pertumbuhan investasi pemerintah pada tahun depan akan ditentukan oleh kondisi permintaan dalam negeri dan pertumbuhan ekonomi global. Seperti diketahui, pemerintah mengharapkan pertumbuhan investasi dapat mencapai 7 persen pada 2020 agar target pertumbuhan ekonomi dapat dijaga di kisaran 5,3 - 5,6 persen.
Seperti dikutip Bisnis Indonesia, Ekonom ADB Institute Eric Sugandi menuturkan faktor Pilpres terhadap investasi sudah tidak membuat investor wait and see karena sudah ada kepastian hasil. "Yang lebih berpengaruh ke depan adalah kondisi ekonomi global," kata Eric.
Pada tahun ini, pertumbuhan ekonomi global melambat sehingga ini membuat investasi Indonesia terpengaruh. Jika pertumbuhan ekonomi global pada tahun depan bisa membaik, Eric melihat kesempatan investasi tumbuh lebih cepat bisa terjadi, terutama bagi investasi yang berorientasi ekspor.
PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA)
Emiten konsumer yang tengah didera persoalan tagihan utang, TPS Food akhirnya menyelesaikan persidangan terkait dengan kasus penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Dalam perkembangan terbaru, majelis hakim telah mengesahkan persetujuan antara debitur dan kreditor konkuren untuk mengakhiri kepailitan atau homologasi atas TPS Food dan entitas anak usaha, PT Putra Taro Paloma (PTP) yang memproduksi merek makanan ringan Taro.
"Disahkan perdamaiannya oleh majelis hakim, jadi status PKPU Taro sudah berakhir," ungkap Sekretaris Perusahaan TPS Food Michael Hadylaya, dalam pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan hingga akhir Desember 2017 lalu, jumlah kewajiban PTP tercatat senilai Rp261,588 miliar. PKPU diajukan oleh kreditor konkruen dan separatis yang mengajukan gugatan lantaran perusahaan tak membayarkan kewajibannya. Kewajiban yang dimaksud adalah berupa utang obligasi dan sukuk ijarah serta beberapa kewajiban lainnya.
(AM)