Bareksa.com - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai, tahun ini, pasar saham dan obligasi akan berkembang positif. Hal ini sejalan dengan iklim investasi yang lebih kondusif dan kemungkinan adanya pemotongan suku bunga acuan dari Bank Indonesia.
Chief Economist and Investment Strategist MAMI Katarina Setiawan menjelaskan, dari sisi global ekonomi, baik bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) maupun Amerika Serikat (The Fed) memainkan kebijakan yang akomodatif. "The Fed mengeluarkan pernyataan kalau tidak akan ada kenaikan suku bunga acuan dan ECB mengungkapkan akan mempertahankan suku bunga di level saat ini," ujar Katarina di Jakarta, Kamis (2 Mei 2019).
Selanjutnya, kendati dari sisi pertumbuhan ekonomi global terjadi koreksi, apabila melihat kondisi ekonomi AS secara umum sebenarnya baik-baik saja. "Dari tingkat inflasi, pengangguran dan keyakinan konsumen masih positif," jelas dia.
Bahkan, risiko yield inversion – atau kurva obligasi yang menampilkan yield obligasi jangka pendek lebih tinggi daripada yield obligasi jangka panjang – yang sempat berlangsung selama 7 hari di AS dinilai tidak akan menimbulkan resesi. Pasalnya, yield inversion yang terjadi sebelumnya lebih lama bisa mencapai 11 bulan. "Setelah terjadi yield inversion pun, kinerja S&P 500 masih naik sekitar 19 persen," papar dia.
Dari sisi Asia, perekonomian di kawasan Asia mulai naik tercermin dari perbaikan kondisi finansial dan mata uang. Negara seperti China bahkan melakukan stimulus fiskal maupun moneter yang cukup membantu pertumbuhan PMI Manufacturing.
Di Indonesia, meskipun defisit neraca berjalan masih cenderung lebar, yakni di kisaran 3 persen, sudah mulai ada perbaikan untuk mempersempit hal tersebut. Lagipula, dengan kecenderungan ekonomi Indonesia yang tidak terlalu bergantung dengan ekspor memberikan dampak positif di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi global. "Konsumsi Indonesia mewakili 56 persen total PDB sehingga ketergantungan terhadap ekspor relatif kecil ini lumayan membantu sehingga tidak terkena dampak ekonomi global.”
Suku bunga acuan Bank Indonesia pun ada kecenderungan untuk menurun setelah sempat meningkat drastis sehingga menyebabkan suku bunga riil menjadi tinggi dibandingkan negara peers. "Jika kondisi global kondusif dan harga minyak rendah, tidak menutup kemungkinan BI bisa menurunkan suku bunganya di semester kedua tahun ini," papar dia.
Hal lain yang mendukung ekonomi Indonesia adalah stimulus fiskal dan belanja infrastruktur yang akan terus meningkat tahun ini. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang menarik sebagai tujuan investasi.
Dengan melihat hal ini, indeks harga saham gabungan (IHSG) tahun ini diperkirakan akan berada di kisaran 6.900-7.100. Sementara itu, suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate (BI 7DRRR) di kisaran 5,75-6 persen.
Namun, prediksi tersebut harus sejalan dengan kebijakan yang harus dilakukan pemerintahan baru. Katarina menggarisbawahi beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintahan baru.
Hal pertama adalah mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan ekspor dengan tidak bergantung hanya kepada komoditas. Pasalnya, pergerakan komoditas sangat siklikal di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat akibat harga komoditas yang menurun.
"Sehingga harus bisa mendiversifikasi ekspor ke non-komoditas," jelasnya.
Ada beberapa sektor unggulan yang menurut Katarina bisa dikembangkan yakni sektor otomotif, perbankan, semen, properti dan metal.
Di sisi lain, Director and CIO, Fixed Income MAMI Ezra Nazula menjelaskan, tahun lalu, BI memang sangat agresif menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga nilai tukar rupiah. Meskipun, tingkat inflasi sebenarnya masih rendah. "Dengan kondisi makro yang lebih stabil dan nilai tukar rupiah yang mulai membaik serta diikuti oleh kebijakan The Fed yang akan memangkas suku bunga, BI bisa melakukan hal yang sama," ucapnya.
Penurunan suku bunga acuan BI ini menurut Ezra akan membuat kupon obligasi Indonesia semakin menarik. Pasalnya, US Treasury Bond 10 tahun diperkirakan tidak akan melebihi 3 persen tahun ini dan kupon SBN 10 tahun diperkirakan akan berada di kisaran 7-7,5 persen. "Perbedaan spread 525 bps antara UST 10 tahun dan SBN 10 tahun masih cukup menarik bagi Indonesia," ungkapnya.
Melihat hal ini, MAMI menilai baik pasar saham maupun obligasi akan cenderung tahun ini. Namun investor asing akan cenderung banyak masuk ke saham karena kepemilikan asing di obligasi sudah cukup tinggi. (hm)
***
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.