Bareksa.com – Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat pada 31 Januari 2019, seiring dengan sentimen positif dari Negeri Paman Sam. Penguatan rupiah merupakan yang terbesar dibandingkan dengan mata uang lain di Asia.
Akhir bulan Januari 2019 menjadi salah satu periode yang sangat manis bagi rupiah. Bagaimana tidak? Pada perdagangan Kamis (31 Januari 2019), nilai tukar rupiah berakhir pada level Rp13.972 per dolar AS di perdagangan pasar spot, seperti mengutip dari Bloomberg.
Rupiah tercatat menguat 1,12 persen dibandingkan dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya yang berada di level Rp14.131 per USD.
Grafik Penguatan Rupiah Terhadap Dolar AS
Sumber: Bloomberg
Mata uang Garuda pun menyentuh posisi terkuatnya sejak 20 Juni 2018. Sementara penguatan 1,12 persen menjadi yang tertajam sejak 7 Januari 2019. Adapun secara year to date, rupiah tercatat telah menguat 2,90 persen terhadap mata uang Negeri Adidaya.
Tidak hanya rupiah, hampir seluruh mata uang utama Asia mampu menguat terhadap greenback. Hanya dolar Hong Kong, won Korea Selatan, dolar Taiwan, dan peso Filipina yang masih tertinggal di zona merah.
Namun rupiah tetap istimewa. Di tengah para tetangganya yang perkasa, rupiah menjadi yang paling perkasa. Tidak ada mata uang Benua Kuning yang menguat lebih tajam dibandingkan dengan rupiah.
Tidak hanya itu, penguatan rupiah yang mencapai 1,1 persen berjarak cukup jauh dengan mata uang di bawahnya yaitu ringgit Malaysia yang hanya menguat di kisaran 0,3 persen. Sangat jomplang.
Rupiah berhasil memanfaatkan dolar AS yang sedang dalam posisi bertahan. Hingga siang ini, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,1 persen. Selama sepekan terakhir, indeks tersebut telah melemah 1,4 persen.
Faktor Penguatan
Pelemahan dolar AS disebabkan oleh respon pasar terhadap hasil rapat perdana bank sentral AS (The Fed) di tahun 2019. Sesuai perkiraan, Jerome Powell dkk mempertahankan suku bunga acuan di level 2,25-2,5 persen atau median 2,375 persen.
Tidak selesai sampai di situ, The Fed lagi-lagi mengeluarkan pernyataan bernada “selow” alias dovish. The Fed akan lebih bersabar dalam mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan.
"Dalam situasi ekonomi global dan pasar keuangan saat ini, serta tekanan inflasi yang minim, Komite akan bersabar dalam menentukan kenaikan suku bunga acuan berikutnya," tulis pernyataan The Fed.
Situasi tersebut menjadi tidak menguntungkan bagi dolar AS. Tanpa kenaikan suku bunga, berinvestasi di dolar AS akan menjadi kurang menarik. Selain itu, ekspektasi inflasi juga bisa terangkat sehingga menggerus nilai mata uang ini.
Di sisi lain, pelaku pasar juga optimistis dengan dialog dagang AS dengan China yang berlangsung di Washington. Delegasi China dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara delegasi AS dikomandoi oleh Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.
Guna memperbaiki hubungan dengan dengan AS, China pun siap melakukan reformasi. Seperti diberitakan kantor berita Xinhua, mengutip Reuters, parlemen China akan membahas aturan yang melarang pemaksaan transfer teknologi dan intervensi pemerintah yang ilegal terhadap investasi dari luar negeri.
Sementara dari dalam negeri, rupiah juga terdorong oleh ikhlasnya Bank Indonesia (BI). Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, menegaskan bahwa bank sentral membiarkan rupiah menguat sampai ke bawah Rp14.000 per dolar AS.
Pernyataan tersebut membuat pelaku pasar senang. BI dinilai tidak membatasi penguatan rupiah agar tidak terlalu mempengaruhi kinerja ekspor. Maklum, jika rupiah terus menguat, kinerja ekspor bisa turun karena harga produk-produk Indonesia akan lebih mahal di pasar global.
Penguatan rupiah juga ikut menular ke pasar saham domestik, di mana pada perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat melesat 1,06 persen dengan berada di atas level psikologis 6.500, atau tepatnya berada di level 6.532,969.
(KA01/hm)