Rupiah Berpotensi Menguat Lagi Terhadap Dolar AS, Ini Alasannya
Pekan lalu, rupiah menguat 0,45 persen di pasar spot terhadap dolar AS
Pekan lalu, rupiah menguat 0,45 persen di pasar spot terhadap dolar AS
Bareksa.com - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih berpotensi untuk melanjutkan penguatan setelah kinerja positif sepanjang pekan lalu. Sejumlah sentimen dari pasar global termasuk terkait suku bunga dan kondisi perdagangan di dalam negeri menjadi penopang pergerakan rupiah ke depan.
Sepanjang pekan lalu, pergerakan nilai rukar rupiah terbilang cukup baik dan patut untuk diapresiasi. Mengutip Reuters, mata uang Garuda berhasil mencatatkan penguatan 0,45 persen di pasar spot, dari Rp14.310/dolar AS pada 8 Maret 2019 menjadi Rp14.245/dolar AS pada 15 Maret 2019.
Kinerja rupiah senada dengan mayoritas mata uang negara Asia lainnya yang juga menguat melawan greenback. Rupee India berada di posisi pertama dengan penguatan 1,55 persen, disusul dolar Singapura di urutan kedua (0,48 persen), rupiah di urutan ketiga (0,45 persen), baht Thailand di urutan keempat (0,19 persen), dan Yen Jepang di urutan kelima (0,11 persen).
Promo Terbaru di Bareksa
Grafik Pergerakan Rupiah Terhadap Dolar AS
Sumber: Reuters
Adapun jika dilihat sejak awal tahun ini, nilai tukar rupiah masih mencatatkan penguatan 0,94 persen. Tak hanya membukukan penguatan yang terbilang lumayan, prospek pergerakan rupiah ke depannya juga lebih cerah pada pekan lalu.
Suku Bunga Acuan The Fed
Sepanjang pekan lalu, pelaku pasar semakin yakin bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve akan memotong tingkat suku bunga acuan pada tahun ini. Hal itu berbeda dengan rencana awal The Fed, yakni terus melanjutkan normalisasi.
Ekspektasi pelaku pasar terhadap arah kebijakan suku bunga acuan The Fed bisa dilihat melalui pergerakan harga instrumen Fed Fund futures.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 15 Maret 2019, terdapat peluang sebesar 24,2 persen bahwa The Fed akan memotong suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini, jauh lebih tinggi dibandingkan posisi minggu lalu yang sebesar 15,9 persen saja.
Bahkan, peluang The Fed memotong suku bunga acuan sebesar 50 bps juga bertambah besar menjadi 3,3 persen, dari yang sebelumnya 0,9 persen pada minggu lalu.
Sementara itu, kemungkinan terbesar adalah The Fed menahan tingkat suku bunga acuan sepanjang tahun ini. Probabilitas suku bunga acuan tetap berada di level 2,25 persen-2,5 persen pada akhir tahun adalah sebesar 72,2 persen.
Sebagai informasi, dalam pengambilan keputusannya The Fed memperhatikan dua indikator utama, yakni inflasi dan pasar tenaga kerja. Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan personal consumption expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi adalah di level 2 persen.
Pada periode Desember 2018, PCE price index tumbuh sebesar 1,8 persen YoY atau masih berada di bawah target The Fed. Dengan melihat data ini, tentu normalisasi suku bunga acuan menjadi sulit untuk dilakukan.
Terkait dengan data tenaga kerja, pada pekan lalu penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode Februari diumumkan sebanyak 20.000 saja, sangat jauh di bawah konsensus yang sebanyak 180.000, seperti dilansir dari Forex Factory. Penciptaan lapangan kerja pada bulan lalu merupakan yang terlemah sejak September 2017.
Dengan mengacu pada data inflasi dan tenaga kerja tersebut, menjadi logis jika pelaku pasar menaruh harapan yang semakin besar bahwa The Fed akan memotong tingkat suku bunga acuan di tahun ini.
Ekspektasi atas dipangkasnya suku bunga acuan oleh The Fed bisa menjadi motor penguatan nilai tukar rupiah ke depan, apalagi jika probabilitasnya bertambah semakin besar.
Neraca Dagang Indonesia
Sementara dari dalam negeri, penguatan rupiah ke depannya berpotensi digerakkan juga oleh defisit neraca dagang yang menyempit. Jika ditotal, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$734 juta dalam dua bulan pertama tahun ini, lebih rendah dibandingkan defisit pada dua bulan pertama tahun 2018 yang mencapai US$809 juta.
Grafik Neraca Perdagangan Indonesia
Sumber: BPS, diolah Bareksa
Bahkan belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada Februari 2019 neraca dagang Indonesia membukukan surplus senilai US$330 juta, walaupun memang surplus tersebut dihasilkan oleh penurunan impor yang lebih dalam daripada penurunan ekspor. Sepanjang bulan lalu, ekspor terkontraksi 11,33 persen secara tahunan, sementara impor anjlok hingga 13,98 persen YoY.
Namun, jika berbicara terkait ruang penguatan rupiah, defisit neraca dagang yang lebih tipis pada akhirnya akan berpotensi menekan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) memang membuka ruang bagi mata uang Tanah Air untuk memukul mundur mata uang Negeri Adidaya.
Sebagai informasi, sepanjang tahun 2018 CAD tercatat sebesar 2,98 persen dari PDB, capaian yang terdalam sejak tahun 2014.
Bagi pergerakan rupiah, pos transaksi berjalan tentu merupakan hal yang sangat vital lantaran mencerminkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa).
Hal tersebut berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portofolio atau yang biasa disebut sebagai hot money. (KA01/hm)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,96 | 0,58% | 4,31% | 7,57% | 8,73% | 19,20% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.094,08 | 0,44% | 4,48% | 7,05% | 7,51% | 2,61% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,18 | 0,60% | 3,97% | 7,04% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,13 | 0,53% | 3,89% | 6,64% | 7,38% | 16,99% | 40,43% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.269,81 | 0,81% | 3,87% | 6,51% | 7,19% | 20,23% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.