Bareksa.com - Perang dagang yang ditabuh oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan berdampak langsung bagi Indonesia. Salah satunya adalah keputusan Presiden AS Donald Trump yang akan memberlakukan tarif impor baja dan aluminium dari seluruh dunia.
Lewat kebijakan itu, AS akan menaikkan tarif impor baja menjadi 25 persen, sedangkan tarif impor aluminium naik menjadi 10 persen. "Kalau itu berjalan mau tidak mau baja asal Cina akan masuk kemana–mana termasuk ke Indonesia,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, seperti dikutip Kontan, Selasa 6 Maret 2018.
Menurut Darmin, pemerintah akan terus memperhatikan perkembangan dari rencana ini. Sebab selain dengan Cina, ada pula Jerman yang sedang melakukan tarik menarik dengan AS. Berlin menolak keputusan Trump terkait tarif impor baja dan aluminium. "Tarik menariknya dengan Cina, kemudian Jerman dengan AS. Bagaimana setelah ini, akan kami cermati,” ujar Darmin.
Sejak rencana itu diumumkan, kekhawatiran akan pembalasan dan perang dagang meningkat secara global. Sejumlah perusahaan juga sudah memperingatkan bahwa mereka akan menderita akibat kebijakan itu.
Peluang Bagi Industri Hilir
Namun menurut Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, kebijakan tarif bea impor baja dan aluminium oleh AS akan menguntungkan Indonesia, sebab hal itu akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan industri hilir baja dan aluminium. "Yang berdampak paling besar adalah Cina,” ujarnya.
Kenaikan tarif bea impor baja di AS akan menguntungkan Indonesia. Misalnya, investasi pabrik yang mengandalkan bahan baku baja AS, seperti kendaraan bermotor semakin mahal harga. Harapannya investor akan mencari negara lain untuk menanamkan modalnya.
"Makanya kami dorong investasi hilir. Sekarang harga di AS akan naik. Jadi agar kompetitif, bikin pabrik di sini,” katanya.
Sebenarnya bagi Indonesia, efek perang dagang yang ditabuh AS tidak hanya mengena industri baja dan aluminium. Sebab sebelumnya, pemerintah AS juga telah mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) yang tinggi bagi produk biodisel berbahan baku sawit asal Indonesia. Tidak hanya itu saja, AS juga berencana untuk mencoret sawit dari jenis bahan baku nabati.
Gary Cohn Mundur
Sementara itu, kabar mengejutkan datang dari Negeri Paman Sam, Gary Cohn salah satu ahli ekonomi AS yang juga menjabat sebagai Direktur Dewan Ekonomi Nasional mengundurkan diri usai usulannya agar kebijakan tarif impor baja dibatalkan, ditolak oleh Presiden Trump.
Pengunduran diri Gary Cohn ini menggambarkan bahwa tekad Presiden Trump tetap bulat pada keputusannya dan tidak berniat melakukan revisi terhadap pengenaan tarif impor baja dan aluminium dan membuat isu perang dagang kembali memanas.
Tidak adanya orang yang mampu mengubah keputusan pria berusia 71 tahun itu membuat beberapa negara langsung memberikan ancaman dan balasan terhadap kebijakan Trump tersebut.
Kanada contohnya, mereka mengancam akan mengenakan tarif yang sama untuk impor baja dan aluminium dari Amerika Serikat. Negara-negara Eropa berniat memberlakukan kenaikan tarif ekspor sebagian motor, pakaian dan dan jeans dari AS.
Ancam Jutaan Pekerja
Penerapan ancaman ini akan mempengaruhi nasib jutaan pekerja dan konsumen di dalam dan di luar AS. Itulah sebabnya sejumlah pihak berharap dan meminta Trump merevisi keputusannya sebelum perang dagang itu benar-benar terjadi.
Dari Indonesia sendiri, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan adanya potensi perang dagang apabila pemerintah AS jadi menerapkan tarif pada impor baja dan alumunium, Indonesia harus siap akan hal itu.
Seluruh dunia sedang menantikan kepastian dari rencana Negeri Abang Sam yang berencana akan mengumumkannya pada minggu ini.
Namun, selalu ada kemungkinan bahwa Trump akan mengubah keputusannya terkait kebijakan impor baja dan alumunium tersebut akibat banyaknya pihak yang mendesak dan menentangnya, bahkan dari kubu Trump itu sendiri.
Lalu, apa akibatnya bila kebijakan ini benar – benar jadi diterapkan?
Kebijakan Trump terkait impor baja dan alumunium akan membuat berbagai reaksi balasan dari berbagai negara di belahan dunia. Aksi berantai ini akan menyebabkan perang dagang yang akan berimbas dengan melemahnya hubungan perdagangan antar negara dan tarif ekspor impor yang semakin tak menentu.
Lebih jauh lagi, penerapan kebijakan tersebut akan membuat Indonesia kebanjiran produk asal Cina salah satunya baja. Sebab, Cina merupakan produsen baja terbesar di dunia dan salah satu negara pengekspor baja ke AS.
Mengutip data Asosiasi Baja Dunia (World Steel Association) produksi baja di Cina saat ini mencapai 831,7 juta metric ton. Hal ini akan meningkatkan persaingan industri baja di Indonesia, akibat persaingan harga dengan produk baja dari Cina.
Meski begitu, hal itu dianggap tidak terlalu berdampak pada Indonesia. Sebab Indonesia bukan merupakan pengekspor baja dan alumunium dalam jumlah besar ke Negeri Paman Sam, sehingga harusnya efeknya hanya akan berlangsung temporer dalam jangka pendek saja. (AM)