Bareksa.com – Pemerintah harus memutar otak dalam merealisasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasalnya, harga minyak Indonesia alias Indonesian Crude Price (ICP) yang merupakan salah satu asumsi dasar ekonomi makro sedang dalam posisi naik.
Saat ini, ICP ada pada level US$50 per barel atau sedikit lebih tinggi dari asumsi dasar ekonomi makro US$48 per barel. Realitas ini tentu saja akan sedikit banyak berpengaruh kepada pelaksanaan APBN tahun 2018. (Baca : Harga Minyak Dunia Melaju ke Titik Tertinggi, IHSG Kembali Sentuh 6.400)
Kenaikan itu seiring kenaikan harga minyak dunia. Pada Kamis, 11 Januari 2018 kemarin, harga minyak mentah global menyentuh level US$70 per barel untuk pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir menyusul penurunan cadangan minyak AS dan optimisme pada kesepakatan OPEC.
Minyak Brent untuk pengiriman Maret mengakhiri sesi dengan penguatan 0,09 persen atau 0,06 poin di US$69,26 per barel di bursa ICE Futures Europe yang berbasis di London dan sempat menyentuh level US$70,02 per barel. Tidak berbeda, minyak West Texas Intermediate untuk pengiriman Februari bergerak ke level US$63,53 per barel di New York Mercantile Exchange, level tertinggi sejak Desember 2014. (Lihat : Naik Tipis 1,01 Persen Seiring Kenaikan Harga Minyak, Ini Prospek Saham ELSA)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, kenaikan harga minyak akan berdampak pada pos pengeluaran negara. “Khususnya subsidi bahan bakar minyak (BBM), liquefied petroleum gas (LPG) volume 3 kg dan listrik,” tutur Sri Mulyani, seperti dikutip dari www.cnnindonesia.com.
Akibatnya, Sri Mulyani tidak menampik jika pagu APBN 2018 subsidi energi akan bertambah dari Rp94,5 triliun. Meski begitu, kenaikan hargan minyak dinilai Sri Mulyani bisa meningkatkan penerimaan negara Rp1,1 triliun per kenaikan ICP sebesar US$1 per barel. (Baca : Pertama Kali Terapkan PPN, Pendapatan Arab Saudi dalam Keadaan Bahaya?)
Para ekonom punya pendapat masing-masing mengenai realita ini. Salah satunya Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara. Bhima menuturkan dampak kenaikan harga minyak ada dua sisi positif dan negatif.
“Naiknya harga minyak akan meningkatkan ekspor migas yang ujungnya berkontribusi pada penerimaan negara dari migas,” kata Bhima kepada Bareksa, Kamis, 11 Januari 2018. (Lihat : Ini Rincian Realisasi APBNP 2017 yang Dipaparkan Sri Mulyani)
Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN 2018
Sumber: Kemenkeu
Hingga akhir 2017 realisasi penerimaan PPh migas tercatat 120,4 persen terhadap target APBNP atau tumbuh cukup signifikan yakni 39,4 persen dibanding realisasi tahun 2016. Sementara PNBP realisasinya menembus 118,5 persen dari target. (Baca : Membuka Tahun 2018, Harga Minyak Tembus US$60 per Barel)
Menurut Bhima, kalau tren kenaikan harga minyak terus berlanjut bahkan diprediksi tembus US$80 per barel untuk ICP, maka target penerimaan dari migas akan tercapai di 2018.
Tapi, kata Bhima, sisi negatifnya lebih besar. “Indonesia kini sebagai negara net importir minyak. Makin tinggi harga minyak dunia makin besar impor migas. Kondisi ini membuat beban subsidi energi makin berat. Asumsi ICP pemerintah cuma US$48 per barel. Jika realisasi belanja subsidi energi membengkak otomatis defisit anggaran bisa melebar,” tambahnya. (Lihat : Harga Minyak Merangkak Naik, Ini Dampaknya ke Inflasi Indonesia)
Gambar: Anggaran Subsidi Dalam APBN 2018
Sumber: Kemenkeu
Tambah Anggaran Subsidi Energi
Opsi untuk menyesuaikan harga bbm bersubsidi dan tarif listrik juga tidak populis di tahun politik. Penyesuaian harga bbm akan berimplikasi pada tingginya inflasi yang menghajar daya beli kelas bawah. Kenaikan Rp500 per liter akan langsung dipolitisasi oleh lawan politik pemerintah. Elektabilitas bisa turun. (Baca : Tren Kenaikan Harga Minyak : Antara Pemerintah Untung dan Pertamina Buntung?)
“Solusi yang paling realistis adalah menambah alokasi belanja subsidi energi. Harus ada yang dikorbankan yaitu belanja infrastruktur misalnya dipotong Rp20 triliun atau 4,8 persen dari total anggaran Rp410 triliun. Sehingga alokasi subsidi energi secara riil naik 20 persen dari Rp 94,5 triliun menjadi Rp114,5 triliun.
Bhima berpendapat, penambahan alokasi subsidi energi tidak perlu menunggu APBN Perubahan karena terlalu lama. “Cukup keluarkan instruksi presiden (inpres). Bisa dilakukan maksimal bulan Mei,” katanya. (Lihat : Ekspor Indonesia : Dominasi Komoditas dan Harapan Membaiknya Kinerja Manufaktur)
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, kalau ICP sampai ke level US$70 per barel, kemungkinan harga BBM subsidi premium dan solar akan naik. “Kalau ada kenaikan (BBM), sebaiknya setelah lebaran saja. Memang kenaikan ini bukan kebijakan yang populer di tengah tahun politik,” imbuh Lana.
Revisi Harga Asumsi ICP
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyarakankan agar asumsi harga ICP sebaiknya direvisi jadi US$50-55 per barel mengingat realisasi harga ICP pada 2017 yakni sebesar US$50 per barel, lebih tinggi dari asumsi pemerintah di level US$48 per barel. (Baca : 2018, Tahun Penuh Tantangan Untuk Pasar Obligasi)
Harga ICP sangat penting peranannya dan berpengaruh pada postur pendapatan dan penerimaan dalam APBN Tahun 2018 terutama pada anggaran yang menggunakan harga minyak mentah sebagai komponen penghitungan. "Pada sisi penerimaan, perubahan harga minyak mentah akan berdampak terhadap penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas," kata Josua kepada Bareksa.
Sementara di sisi belanja negara, perubahan harga ICP akan berpengaruh pada belanja subsidi energi, dana bagi hasil migas ke daerah serta anggaran pendidikan dan kesehatan. (Lihat : Harga Minyak Brent Tembus US$65 per Barel, Level Tertinggi Sejak 2015)
"Jika harga ICP diadjust oleh pemerintah, maka akan berdampak pada kenaikan pos subsidi energi yang pada akhirnya akan mendorong pelebaran defisit APBN 2018 dari target awalnya sekitar 2,2 persen terhadap PDB menjadi sekitar 2,4-2,5 persen terhadap PDB," ungkapnya. (AM)