Bareksa.com - PT Ratu Prabu Energi Tbk (ARTI) berniat membangun proyek light rail transit (LRT) di Jakarta dan sekitarnya sepanjang 400 km. Nilai investasinya diperkirakan mencapai Rp 405 triliun. Pembangunan LRT yang terbagi ke dalam tiga fase rencananya dimulai tahun depan.
Mengutip Detik Finance, Presiden Direktur PT Ratu Prabu Energi Tbk (ARTI), B. Bur Maras, menjelaskan, rencana pembangunan LRT tersebut dimulai 2019. Saat ini, ia fokus menyelesaikan administrasi terkait pendanaan dari perbankan yang diakuinya tertarik membiayai proyek LRT itu.
"Tahun ini surat menyurat bank-bank, setahun setengah (kemudian) baru mulai konstruksi di 2019 kalau cepat. Kita usahakan setahun selesai administrasinya," katanya.
Berita ini menarik, pasalnya, hingga saat ini sejak November 2016 harga saham ARTI mentok di level Rp50 per lembar, level terendah di pasar reguler Bursa Efek Indonesia. Mengingat besarnya rencana proyek tersebut, Bareksa pun menelusuri laporan keuangan emiten minyak dan gas ini untuk melihat kekuatan pendanaannya.
Berdasarkan laporan keuangan per September 2-17, total aset ARTI hanya Rp2,5 triliun yang terdiri dari total utang Rp798,7 miliar dan total ekuitas mencapai Rp1,7 triliun. Adapun pinjaman bank jangka panjang di kuartal III 2017 sebesar Rp644 miliar atau 80 persen dari keseluruhan total utang ARTI yakni Rp798,7 miliar.
Grafik : Historikal Pertumbuhan Pinjaman Bank Jangka Panjang ARTI (Rp Miliar)
Sumber : Laporan keuangan, diolah Bareksa
Mengingat target dana dari proyek yang rencananya akan selesai dalam 5 tahun ke depan dan diperkirakan akan menelan biaya hingga Rp405 triliun, emiten yang bergerak di bidang minyak dan gas ini tentu butuh kekuatan modal. Menurut analisis Bareksa terdapat dua potensi sumber pendanaan, yakni :
1. Pinjaman
Akan sangat berat jika keseluruhan dana tersebut bersumber dari pinjaman. Hal itu dikarenakan berdampak terhadap beban perusahaan yang semakin berat nantinya.
Sekedar informasi, mengacu pada laporan keuangan perusahaan, sejak 25 September 2015 perusahaan dikenakan bunga pinjaman oleh bank sebesar 10 persen per tahun. Artinya, jika sumber pendanaan LRT Rp405 triliun hanya bersumber dari bank, maka bisa diasumsikan bahwa perusahaan harus menyiapkan berkisar Rp40,5 triliun atau 16,2 kali lebih besar dibanding total aset perusahaan saat ini hanya untuk membayar beban bunga di luar utang pokok.
2. Suntikan Modal
Cara kedua ini menurut Bareksa lebih besar kemungkinan terjadinya dibanding cara pertama. Sebab, perusahaan hanya perlu mencari investor tambahan untuk menyuntik ekuitasnya yang saat ini telah mencapai Rp1,7 triliun di akhir September 2017.
Jika tidak menemukan investor, perusahaan masih bisa menghimpun dana lewat aksi korporasi penerbitan saham baru dengan hak memesan efek (rights issue). Hal ini lebih mudah diterapkan karena tidak berdampak terhadap neraca perseroan ataupun membuat beban bunga perusahaan bertambah. (hm)